Episode 23 Perjodohan Membawa Bahagia
Kania terdiam. Ia memang tidak menginginkan harta keluarga Hermansyah, walaupun dia adalah pewaris sah dari keluarga tersebut. Tapi, hatinya merasa berat untuk menyerahkan harta warisan tersebut pada Zara. Entah mengapa, dan entah apa sebabnya. Yang pasti, ia tidak ingin menanda tangani surat pemindahan harta tersebut.
Melihat Kania tidak melakukan apa yang ia katakan, Salma langsung membentak Kania hingga ia terkaget.
“Kania!”
“Iy–iya, Ma.” Kania berucap gelagapan karena kaget.
“Cepat tanda tangan surat itu sekarang juga. Jangan membuang-buang waktu terlalu lama.”
“Ma, jangan-jangan dia sengaja lagi. Sengaja bengong untuk mengulur waktu. Sebenarnya, dia tidak ingin menandatangani surat pemindahan harta ini, Ma. Dia sayang dengan harta keluarga papa yang jelas-jelas bukan milik dia,” kata Zara menambah kekesalan Salma.
“Kania. Jangan bilang kamu tidak ingin menandatangi surat pemindahan harta ini. Bukankah sebelumnya, kamu pernah bilang pada kami, kalau kamu tidak ingin harta keluarga papa mu?”
"Aku memang tidak menginginkan harta sepeser pun dari keluarga papa. Tapi … "
“Tapi apa, hmm?”
Merasa Kania sedang berada dalam masalah besar, Johan pun berinisiatif untuk membantu Kania sekarang juga. Ia mengetuk pintu kamar mandi yang sedari tadi ia perhatikan dan ia dengarkan apa yang orang di dalam kamar mandi tersebut bicarakan.
“Nona Kania! Non … apa nona ada di dalam?”
Johan bicara sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi seolah-olah dia tidak tahu kalau Kania ada di dalam.
Mereka yang berada di dalam kamar mandi tersebut pun saling pandang satu sama lain. Salma yang takut ketahuan, akhirnya memerintah Kania berbicara.
“Katakan padanya kalau kamu ada di dalam!” ucap Salma dengan nada pelan pada Kania.
“Mama.” Zara terlihat tidak setuju dengan apa yang mamanya katakan.
“Ssttt. Diam Zara. Jangan banyak omong jika kamu ingin kita baik-baik saja dan jauh dari masalah.”
“Ih.” Zara berucap kesal sambil mengubah pandangannya dari Salma.
“Nona Kania! Jika nona ada di dalam, jawab perkataan saya nona.” Johan kembali memanggil Kania.
“Ayo Kania jawab!” Salma kembali berucap dengan suara pelan.
“Iya. Aku di dalam. Ada apa?” Kania terpaksa melakukan apa yang Salma inginkan. Lagipula, dengan begitu, ia merasa terselamatkan dari kedua ibu dan anak ini.
“Tuan muda menunggu nona di parkiran. Ia meminta saya mengatakan, kalau dia tidak ingin menunggu nona di parkiran terlalu lama. Ia meminta nona segera kembali jika sudah selesai.”
“Baiklah. Aku sudah selesai sekarang. Aku akan kembali sebentar lagi.”
“Maaf nona. Tuan muda tidak ingin menunggu lama. Ia ingin, nona kembali bersama saya jika sudah selesai.”
Kania tidak langsung menjawab. Ia melihat ke arah Salma yang ada di hadapannya untuk meminta persetujuan.
“Pergilah.” Salma berucap singkat yang di sambut dengan pelototan mata oleh Zara.
Zara sangat tidak setuju dengan apa yang telah mamanya putuskan. Sehingga tanpa sadar, ia berucap keras pada Salma. “Mama.”
Dengan cepat, Salma menutup mulut anaknya agar tidak berucap kata-kata yang lain. Sayangnya, apa yang Zara ucapkan terdengar dengan jelas oleh Johan yang berada di luar kamar mandi.
Johan yang sebenarnya sudah tahu, sekarang harus pura-pura tidak tahu. “Nona Kania. Suara siapa itu? Nona Kania dengan siapa di dalam?”
Salma memelototkan matanya pada Kania. Pelototan itu sebagai isyarat agar Kania tidak mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Kania yang mengerti dan takut pada ancaman, tentu saja memahami apa maksud dari isyarat pelototan Salma tersebut. Ia pun terpaksa berbohong pada Johan.
“Ti–tidak ada apa-apa Johan. Aku sendiri tidak ada siapa-siapa.”
“Pergi sekarang!” kata Salma memerintahkan Kania untuk keluar dari kamar mandi tersebut sekarang juga.
Kania pun melakukan apa yang Salma perintahkan. Ia memutar tubuh dengan perasaan lega. Lalu, membuka pintu kamar mandi untuk keluar.
Saat pintu terbuka seukuran tubuh, Kania langsung menutup pintu itu setelah tubuhnya keluar. Johan yang sudah tahu apa sebenarnya terjadi, pura-pura biasa saja tanpa menaruh kecurigaan sedikitpun.
“Maaf sudah merepotkan kamu, Jo. Sebenarnya, kamu tidak perlu menyusul aku ke sini. Karena aku pasti akan kembali secepat mungkin, saat urusanku sudah selesai.”
“Urusan?” tanya Johan sedikit penasaran dan pura-pura tidak mengerti.
“Mmm … maksudku, urusan … ya kamu tau sendirilah, tidak perlu aku jelaskan lagi.”
“Oh, iya-iya. Aku paham.”
“Maaf nona Kania, ini perintah tuan muda. Ia ingin aku menyusul nona karena dia tidak ingin menunggu lama.”
“Ya sudah kalo gitu. Ayo kembali sekarang juga,” ucap Kania sambil menarik senyum di bibirnya.
“Oke. Silahkan nona Kania jalan duluan.”
Merekapun meninggalkan kamar mandi tersebut. Sedangkan Salma, ia baru melepaskan tangannya dari mulut Zara setelah mendengar langkah kaki Kania dan Johan yang semakin lama semakin menjauh.
“Mama apa-apaan sih!” Zara dengan kesalnya berteriak pada Salma.
“Kamu yang apa-apaan, Zara! Kamu ingin kita ketahuan dan tamat akibat keegoisan dan ketidaksabaran kamu ini? Kamu ingin merusak rencana yang susah susah payah kita jalani selama bertahun-tahun, hah?” tanya Salma tak kalah kesalnya, membuat Zara sedikit merasa takut dengan nada bicara dari mamanya kali ini.
“Ya … ya habisnya aku kesal banget dengan apa yang mama lakukan barusan. Mama dengan gampangnya membebaskan dia padahal selangkah lagi, kita bisa menguasai harta keluarga papa.”
“Iya, selangkah lagi kita memang akan menguasai harta keluarga papamu. Tapi … apa kamu ingin, kita mendapatkan harta tapi tidak bisa menikmati harta tersebut, hmm?”
“Maksud mama?” tanya Zara dengan nada tak mengerti sekaligus tak percaya dengan apa yang mamanya katakan.
“Zara, kita tidak hanya butuh tanda tangan Kania sebagai ahli waris. Tapi, kita juga butuh tanda tangan papamu sebagai papa dari ahli waris harta ini.”
“Ya kita tinggal minta papa tanda tangan langsung saja surat ini. Gampang kan?”
“Kamu ini bodoh atau apa sih, Zara? Kenapa kok ya kayaknya, makin Kania menikah, kamu makin gak bisa mikir jernih. Jika papa mu tahu selama ini kita hanya pura-pura baik, maka kita juga akan tamat secepat kertas terbakar. Kamu jangan lupa, papamu mudah untuk di taklukan, tapi juga mudah untuk membangkang. Paham?”
Zara terdiam. Benaknya mencerna perlahan apa yang mamanya katakan. Rasa kesal dalam hati membuat ia menjadi orang yang tidak terkendali lagi barusan. Untung saja mamanya adalah perempuan licik yang paling sabar yang pernah ia temui. Jika tidak, pasti ia sudah menjadi penyebab kegagalan dari rencana yang telah susah payah mamanya susun selama bertahun-tahun.