Jumat, 18 Maret 2022

Episode 89 Perjodohan Membawa Bahagia (Eks Part3)

Episode 89 Perjodohan Membawa Bahagia (Eks Part3)

 

Perjodohan Membawa Bahagia

“Iya … iya, Johan. Papa sakit perut. Tolong ya,” ucap Brian sambil berusaha nyengir kuda tidak enak dilihat.

“Ba–baik tuan muda. Aku akan antar kan,” ucap Johan dengan perasaan tidak enak sekarang.

Johan pun meninggalkan kamar itu bersama Davidson. Sementara Brian, masih tetap berada di dalam bersama Kania.

“Brian.” Kania memanggil Brian yang sedang terdiam sambil terus melihat pintu kamar tersebut.

“Iya.” Brian menoleh ke arah Kania, karena dia saat ini sedang kaget dengan panggilan itu.

"Katakan padaku apa yang terjadi sebenarnya! Karena aku merasa, ada yang sedang kamu sembunyikan dari aku. Katakan sekarang atau aku akan terus memikirkan keberadaan mbak Ana dan mas Jio. Kamu tahukan? Apa efek yang bisa ditimbulkan jika aku … "

“Ya-ya-ya, sayang. Jangan diteruskan lagi kata-kata itu. Aku akan katakan padamu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi tolong, kuasai emosimu terlebih dahulu.”

“Apa maksud kamu?” tanya Kania semakin merasa ada yang tidak beres dengan Ana dan Jio.

“Janji dulu padaku, kalau kamu mampu menguasai dirimu.”

“Baiklah. Aku janji. Cepat katakan!”

Brian pun menceritakan apa yang terjadi dengan Ana dan Jio. Tepat malam di mana Kania di larikan ke rumah sakit, Jio di kabari oleh bu Ninik soal kabar Kania yang akan melahirkan dan sedang berada di rumah sakit.

Mendengar kabar itu, Ana bersikeras mengajak Jio pergi ke rumah sakit untuk melihat dan menemani Kania di rumah sakit tersebut. Sebagaimana yang Kania lakukan padanya waktu itu, saat ia melahirkan Dewa putranya.

Awalnya, Jio menolak. Mengingat saat itu, hujan turun deras dan suasana malam hari pula. Tapi, Ana yang merasa perihatin akan keadaan Kania, tetap memaksa untuk pergi ke rumah sakit malam itu juga. Jio pun akhirnya menuruti apa yang Ana katakan. Mereka pergi ke rumah sakit berdua, sedangkan Dewa, mereka titipkan pada bibi yang bekerja di rumah mereka.

Karena hujan yang sangat lebat, jarak pandang mereka juga terbatas. Jio yang sedang fokus mengemudi dengan melihat ke depan, tidak tahu kalau ada truk yang sedang mengangkut batu berada di samping mereka.

Truk itu oleng. Lalu menghantam mobil mereka dengan keras. Batu yang truk itu bawa, tumpah ke samping mobil Jio. Sedangkan mobil Jio sendiri, tertindih oleh badan truk hingga penyok.

Kecelakaan naas itu merenget nyawa Ana ditempat itu juga. Sedangkan Jio, ia masih sempat di larikan ke rumah sakit dan ditangani dokter malam itu. Tapi sayangnya, ia juga tidak bertahan lama. Cedera yang ia alami terlalu parah sehingga ia tak mampu untuk bertahan.

“Tidak mungkin. Tidak,” ucap Kania sambil menutup mulutnya dengan air mata yang mengalir perlahan tapi pasti melintasi pipinya.

“Sabar sayang.” Brian dengan cepat memeluk Kania. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi. Mengingat, Kania baru beberapa hari melahirkan. Jadi, kondisi Kania harus ia jaga dengan sebaik mungkin.

“Brian. Katakan padaku kalau ini tidak benar. Mbak Ana dan mas Jio pasti masih hidup, iyakan?”

“Sayang, tenang. Aku tidak ingin bohong sama kamu. Tapi tolong, sayang. Jangan menangis. Ingat kondisimu saat ini. Bukankah kamu sudah berjanji padaku, kalau kamu akan menguasai emosimu.”

Kania terap menangis dalam pelukan Brian. Rasa sedih itu tetap saja tidak bisa ia kontrol walau ia berusaha mengontrolnya dengan sekuat tenaga.

“Kania, aku juga punya kabar bahagia buat kamu. Tapi tolong, berhentilah menangis, ya sayang,” ucap Brian sambil menyeka air mata yang jatuh ke pipi Kania.

Kania tidak menjawab. Ia tidak tertarik untuk mendengarkan kabar bahagia yang ingin Brian katakan.

“Kania, ini soal anak Jio dan Ana.”

Saat mendengarkan hal itu. Kania yang lemah, berada dalam pelukan Brian. Kini segera bagun, lalu menatap Brian dengan tatan tak sabar.

"Anak? Dewa? Di mana dia? Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja? Siapa … "

“Sssttt. Sayang sabar. Dengarkan apa yang ingin aku katakan tentang anak itu.”

“Katakan sekarang juga!” Kania bicara dengan nada tak sabar lagi.

“Anak mereka ada di rumah kita saat ini. Bu Ninik yang merawat anak itu.”

“Ap–apa? Dewa ada di rumah kita?”

“Iya. Dewa ada di sana. Kamu pasti penasaran bukan? Kenapa dia bisa ada di rumah kita saat ini?”
“Untuk itu, kamu harus menghapus air matamu terlebih dahulu, Kania ku sayang,” ucap Brian sambil menghapus air mata Kania.

“Kania, sebelum Jio meninggal, ia sempat menulis surat wasiat untuk kamu. Surat itu ada di tempat penyimpanan yang aman saat ini. Tapi, aku mengkopinya sebelum surat itu aku simpan. Dan, kopiannya ada di rumah kita. Kamu bisa baca sendiri nanti setelah kamu pulang.”

“Brian, aku ingin tahu apa isi dari surat itu. Apa kamu mengingatnya?”

“Tentu saja aku mengingatnya sayang. Bahkan, aku ingat dengan sangat baik setiap kata yang Jio tulis dalam surat wasiat itu.”

“Katakan! Apa isinya.”

“Isi surat itu adalah … Jio ingin kamu merawat Dewa. Mengangkat Dewa sebagai anakmu, atau lebih tepatnya, Jio ingin kita mengadopsi Dewa sepenuhnya. Dia meminta kita menyayangi Dewa sepenuh hati, layaknya kita menyayangi anak kita sendiri. Ia percayakan Dewa padamu, karena ia yakin, kamu mampu merawat Dewa dengan baik.”

Mendengar kata-kata itu, hati Kania menjadi sedih kembali. Air mata turun perlahan ketika ia membayangkan saat-saat ketika ia bersama dengan keluarga itu. Kesedihan tidak bisa ia bendung walau ia berusaha menahannya.

“Aku akan merawatnya. Aku akan merawatnya,” ucap Kania sambil menyeka air mata yang tumpah.

“Sayang, bukankah sudah berjanji untuk tidak menangis?” tanya Brian prihatin dan berusaha menghibur Kania.
“Aku masih belum selesai mengatakan wasiat dari Jio. Kamu jangan menangis lagi, atau aku tidak akan melanjutkan apa yang ingin aku katakan padamu.”

Kania memegang tangan Brian dengan cepat.
“Tolong lanjutkan, Brian.” Kania meminta dengan tatapan memelas. Brian tidak mungkin menolak permintaan itu.

“Sayang, ini soal rencana perjodohan yang waktu itu kita bicarakan. Jio meminta kita memegang janji untuk menikahkan anak kita dengan putranya. Jika memang anak yang kamu lahir kan itu perempuan, maka dia ingin perjodohan itu tetap kita lanjutkan meski Dewa sudah kita angkat sebagai anak.”

“Katanya lagi, itu adalah keinginan terbesar Ana. Ana ingin putranya menjadi menantu kita. Jio menulis wasiat ini, agar kita tidak melupakan apa yang telah sama-sama kita sepakati hingga anak kita benar-benar bersatu kelak setelah dewasa.”

“Aku akan ingat apa yang mbak Ana dan mas Jio inginkan. Aku akan tepati janji kita untuk menikahkan Dewa dan Yola, meskipun kelak, Dewa sudah menjadi anak kita. Atau bahkan, jika salah satu dari mereka menolak perjodohan ini, aku akan tetap memaksa mereka menikah. Demi meluluskan wasiat mas Jio, dan keinginan terbesar mbak Ana. Maka aku akan melakukan cara apapun.” Kania berucap sambil menatap lurus ke depan.

Sebuah wasiat telah ia pegang sekarang. Janji antara hidup dan mati sedang berusaha ia genggam dan jaga dengan sebaik mungkin. Ia berjanji akan menepati janjinya. Menjalankan wasiat dengan sebaik mungkin.

___________________SEKIAN__________________

"Catatan. " Sampai jumpa di season dua satu minggu lagi. Season dua akan menceritakan tentang kehidupan anak-anak mereka. Tapi … tentunya judul akan aku ubah.
Judulnya *** I LOVE YOU KAKAK.
Sampai jumpa di I LOVE YOU KAKAK.
Da … muach … wkwkwkwkw …

 

Episode 88 Perjodohan Membawa Bahagia (Eks Part2)

Episode 88 Perjodohan Membawa Bahagia (Eks Part2)

 

Perjodohan Membawa Bahagia

 “Johan tunggu!”

Brian menahan niat Johan untuk mengakhiri obrolan mereka dengan cepat. Mendengar ucapan Brian barusan, Johan membatalkan niatnya untuk menutup panggilan.

“Ya tuan muda. Ada apa?”

“Sebenarnya, aku juga punya kabar bahagia yang ingin aku bagikan padamu.”

“Benarkah? Apa tuan muda?”

“Kania … Kania juga hamil sekarang.”

“Apa! Benarkah apa yang aku dengar ini, tuan muda? Nona Kania juga hamil sekarang?”

“Tentu saja, iya.”

“Wah. Ini kebetulan yang luar biasa. Apa yang dokter katakan? Sudah berapa bulan nona Kania hamil, tuan muda?” tanya Johan penuh semangat.

“Lho, kenapa jadi kamu yang begitu bersemangat sekarang, Johan? Saat kamu tahu istriku sedang hamil.”

“Tuan muda, aku ikut bahagia. Apakah itu tidak wajar?”

“Sebenarnya, itu terdengar wajar-wajar saja. Kania baru hamil lima minggu. Lalu, bagaimana dengan istrimu?”

“Saras sudah memasuki kehamilan minggu kesebelas tuan muda. Ia sebenarnya sudah lama tahu kalau dirinya sedang hamil. Hanya saja, ia merahasiakan kehamilan itu dari aku.”

“Kenapa?”

“Aku tidak tahu apa alasannya tuan muda. Mungkin, dia sengaja tidak bicara padaku, karena dia ingin aku tahu sendiri kalau dia sedang hamil. Dia itukan seorang suster.”

“Terserah padamu saja, Johan. Apa yang ingin kamu simpulkan dari apa yang telah terjadi. Tapi satu hal yang ingin aku katakan, sebaiknya, kamu perhatikan baik-baik istrimu itu. Aku tidak ingin melihat kamu yang kejam ini semakin kejam lagi jika ada apa-apa dengan calon anakmu. Aku tidak suka sikap itu.”

“Tuan muda tenang saja. Aku akan dengarkan kata-kata tuan muda dengan sangat baik. Karena tuan muda adalah sahabatku.”

“Terserah kamu. Ya sudah, aku ingin kembali ngobrol bersama istriku.”

“Tunggu tuan muda.”

“Ada apa lagi?”

“Apakah kita bisa bicara serius?”

“Apa maksud kamu? Bicara serius bagaimana?” tanya Brian dibuat bingung dengan pertanyaan yang Johan ucapkan barusan.

“Aku ingin bicara serius dengan tuan muda. Aku mohon minta waktu tuan muda sedikit saja lagi.”

“Mau bicara serius soal apa? Di mana?”

“Lewat telepon saja karena aku tidak sabar lagi untuk bicara.”

“Kamu kelihatannya semakin tidak waras saja, Johan. Cepat katakan apa yang ingin kamu katakan padaku sekarang!”

“Tuan muda, bagaimana jika anak kita nanti kita jodohkan saja setelah mereka sama-sama dewasa? Bukan … kita akan bisa semkin mempererat hubungan persahabatan kita ini?”

Brian kaget ketika mendengar pertanyaan itu. Tapi, dia tidak ingin menunjukkan rasa kaget itu pada Johan. Ia takut, Johan salah tanggap dengan reaksi yang ia tunjukkan. Seperti yang baru saja terjadi di ruang tamu vila nya tadi.

“Tuan muda.” Johan memanggil Brian saat Brian tidak menjawab apa yang ia katakan barusan.

“Ya.”

"Apa yang tuan muda pikirkan? Apa yang aku katakan itu … "

“Johan. Apa kamu yakin untuk menjodohkan anak kita? Bagaimana jika anak kita lahir nanti sama-sama perempuan atau malah sebaliknya, sama-sama laki-laki? Bagaimana kita bisa menjodohkan anak kita jika jenis kelaminnya sama?”

“Tuan muda ada benarnya juga. Baiklah, kita bicarakan nanti setelah anak kita lahir saja tuan muda.”

“Itu lebih baik,” ucap Brian dengan sedikit perasaan lega.

Panggilan pun diakhir oleh keduanya. Setelah panggilan terputus, Brian menarik napas panjang, lalu melepasnya secara perlahan.
Tawaran perjodohan itu sebenarnya membuat ia pusing. Karena apa yang mereka bicarakan, itu seharusnya tidak mereka bicarakan sekarang. Karena hal itu terlalu dini untuk di bahas.

______

Lima bulan kemudian, kabar duka sekaligus bahagia terdengar dari Johan. Istrinya harus melahirkan anak mereka dengan jalan operasi. Karena kandungan Saras bermasalah dan baru menginjak usia tujuh bulan. Anak prematur itu terpaksa harus di rawat di rumah sakit sampai waktunya tiba.

Johan merasa sedikit kecewa ketika anak itu lahir. Karena anak yang ia harapkan laki-laki, ternyata seorang perempuan. Meskipun begitu, ia tetap bahagia dan menerima kehadiran sang putri dengan lapang dada. Putri kecil itu ia beri nama Hanas.

_____

Dua setengah bulan kemudian. Kebahagiaan kembali terdengar di rumah sakit yang sama. Kali ini, kehadiran putri penguasa terkaya pula yang menggemparkan rumah sakit tersebut.
Rumah sakit itu gempar karena kedatangan orang-orang terkenal hanya untuk mengucapkan selamat pada Brian dan Kania.

Kebahagiaan Brian dan Kania kini terlihat sangat sempurna dengan kehadiran bayi kecil yang cantik jelita itu. Bayi itu tentunya mewarisi kesempurnaan fisik dari kedua orang tuanya. Bayi kecil itu Brian beri nama Yolanda, yang mereka panggil dengan nama, Yola.

Beberapa hari setelah ia melahirkan anaknya, Kania dirundung pertanyaan akan keberadaan orang paling dekat dengannya selama ini. Semua telah ia lihat dan telah memberikan selamat padanya. Tapi … Ana dan Jio, yang selama beberapa tahun terakhir sangat amat dekat, sampai saat ini belum juga ia lihat keberadaannya.

“Brian, di mana mbak Ana dan mas Jio? Kenapa mereka sama sekali belum terlihat sampai sekarang? Bukankah seharusnya, mereka sudah ada di sini untuk melihat putri kita?”

Kania menghujani Brian dengan banyak pertanyaan. Pertanyaan yang tidak tahu bagaimana Brian harus menjawabnya.

Brian terdiam, matanya melirik papanya yang ada di samping dia. Berharap sang papa bisa membantu mengalihkan pertanyaan itu walau tidak untuk selamanya.

“Brian. Kenapa kamu diam saja? Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Kania dengan tatapan tajam ke arah Brian.

“Itu … aku tidak tahu sayang. Mungkin, mereka sedang berada di luar negeri barangkali.” Brian berucap sambil membelai rambut Kania dengan lembut.

“Berada di luar negeri? Tidak mungkin.”

"Lho, kenapa tidak mungkin, Kania sayang? Bukankah … "

“Kapan mereka berangkat?” tanya Kania memotong perkataan Brian dengan cepat.

“Itu … ke–kemarin. Ya, kemarin.”

Brian terlihat sangat gugup saat menjawab pertanyaan Kania barusan. Hal itu membuat Kania yang sebelumnya tidak yakin, semakin tidak yakin lagi. Kania menatap Brian dengan tatapan tajam.

“Brian, apa yang kamu sembunyikan dari aku? Cepat katakan!”

“Augh. Perut papa sakit. Brian, bisakah papa minta kamu bantu papa belikan obat sebentar?” tanya David berusaha mengalihkan perhatian Kania.

“Iya, Pa. Aku akan belikan.”

“Tunggu! Brian, jangan pergi dulu.”

“Sayang, sebentar ya. Biar aku belikan obat papa dulu.”

"Tapi Brian …

Di saat yang sama pula, Johan tiba-tiba masuk ke kamar tersebut dengan senyum di bibirnya.
Namun sayang, senyum itu tiba-tiba lenyap ketika Brian dan Davidson memberikan tatapan tajam padanya yang baru datang.

“Tu–tuan muda, tuan David. Apa … apa yang …”

“Kebetulan kamu datang, Johan. Papa sakit perut, dia ingin obat. Kamu bisa tolong antar kan papa berobat?” tanya Kania dengan suara pelan namun terdengar kesal.

 

Episode 87 Perjodohan Membawa Bahagia (Eks Part1)

 Episode 87 Perjodohan Membawa Bahagia (Eks Part1)

Perjodohan Membawa Bahagia

Tiga bulan setelah lamaran itu, Johan langsung menikah dengan Saras. Tepatnya, satu minggu setelah kepulangan Brian dan Kania dari bulan madu ke beberapa negara yang ingin Kania kunjungi.

Pernikahan itu diadakan cukup meriah dengan nuansa pantai yang sama dengan pernikahan Brian dan Kania. Hanya saja, pernikahan Brian tergolong sangat mewah karena ia adalah orang terkaya. Johan sebagai asisten, tidak mungkin mampu menyaingi sang bos yang terkenal tajir luar biasa.

_____

Meskipun sudah menikah dan punya keluarga, Johan tetap bekerja dengan Brian. Ia masih menduduki posisi yang sama seperti sebelumnya, yaitu asisten pribadi Brian.

Tapi sekarang, bedanya adalah, Brian tidak diam di belakang Johan. Melainkan, ikut serta turun tangan sebagai ceo terkenal yang sangat disegani oleh para pembisnis kelas atas.

Sementara itu, Kania menyibukkan diri dengan mengurus toko emas yang terkenal milik suaminya dengan sebaik mungkin. Karena toko itu sekarang dia yang ambil alih, hubungannya dengan Jio dan Ana pun semakin erat lagi karena kerja sama mereka.

Kedekatan Itu terlihat ketika Ana melahirkan anak pertama mereka. Kania menemani Ana selama Ana berada di rumah sakit. Ia bersikap seolah-olah bagian keluarga dari Ana dan Jio. Kebetulan, Jio dan Ana sama-sama tidak punya keluarga. Mereka sama-sama kehilangan orang tua saat bencana alam waktu masih remaja.

Tidak hanya itu, Kania juga sering berkunjung ke rumah Ana dan Jio untuk sekedar menjenguk putra Ana. Atau malah, sering bermain dengan bayi tersebut. Bayi tampan yang diberi nama Dewa itu mampu membuat Kania selalu merasakan rasa bahagia ketika bersama.

_______

Empat tahun kemudian. Kania baru mendapatkan kabar bahagia dari dokter. Ternyata, penantiannya selama empat tahun untuk memiliki buah hati akhirnya tercapai juga.

Ya, Kania hamil. Dia baru hamil setelah penantian hampir lima tahun usia pernikahan mereka. Kehamilan Kania membuat gempar dan mendatangkan bahagia bagi semua teman terdekat, tak terkecuali Jio dan Ana. Mereka ikut merasakan kebahagiaan itu.

“Mbak Kania, jika anak yang ada dalam kandungan mbak ini perempuan, bagaimana kalau kita jodohkan saja anak mbak Kania dengan Dewa putraku?” tanya Ana tanpa berpikir panjang lagi.

Sontak, semua mata yang ada di ruangan tamu vila camar tertuju pada Ana yang berada di samping Kania. Jio mencubit tangan istrinya pelan. Ia tidak percaya kalau istrinya berani mengucapkan hal itu. Secara, kedudukan mereka sudah pasti berbeda.

Berbeda dengan Jio dan para pekerja yang ada di ruang tamu tersebut, Kania dan Brian malah tersenyum bahagia. “Wah, mbak Ana benar. Jika anak ini perempuan, mungkin kita bisa menyatukan mereka agar hubungan persahabatan kita semakin erat,” ucap Kania dengan wajah bahagia.

“Bagaimana menurut kamu sayang?” tanya Kania pada Brian yang duduk sambil memegang tangannya.

“Tentu saja, sayang. Aku setuju untuk menjodohkan anak kita dengan Dewa. Lagipula, jika aku lihat, Dewa itu anak yang pintar dan punya bakat yang agak mirip dengan papanya.”

"Tu–tuan muda. Tapi … "

“Tapi apa, Jio?” tanya Brian melirik Jio yang sedang memasang wajah tidak enak.
“Apa kamu tidak setuju?” tanya Brian lagi.

"Bukan aku tidak setuju tyan muda. Hanya saja, jika ingat status kita terlalu jauh berbeda. Tuan muda adalah … "

“Tahan Jio!” Brian mengangkat satu tangannya ke arah Jio. “Apakah pernikahan harus melihat status? Jika status yang jadi pertimbangan, maka kehidupan tidak akan bahagia, Jio.”

“Benarkah tuan muda tidak keberatan jika anak kami dijodohkan dengan anak tuan muda kelak?”

“Tentu saja tidak. Aku malahan bahagia jika suatu hari nanti, anak kita bisa bersama. Maka kita akan menjadi satu keluarga.”

Kebahagiaan kini kembali terlihat di ruangan tersebut. Bu Ninik dan pak Hadi yang sedari tadi berdiri berdekatan, tanpa terasa kini malah berpelukan. Hal itu menambah riuh suasana bahagia yang ada di ruang tamu vila camar itu.

Namun, suasana tiba-tiba terganggu saat ponsel Brian berdering. Semua perhatian teralihkan pada Brian yang sedang melihat layar ponselnya.

“Siapa, Brian?” tanya Kania.

“Johan.”

“Angkat saja. Mungkin dia ingin bicara sesuatu yang penting.”

“Baiklah. Aku akan angkat panggilan dari Johan sebentar ya. Kalian lanjutkan saja obrolannya,” ucap Brian sambil bagun dari duduknya. Kemudian, berjalan sedikit menjauh dari ruangan tersebut.

“Halo Jo. Ada apa?” tanya Brian langsung dengan nada kesal.

“Tuan muda. Aku punya kabar bahagia untuk aku bagikan dengan tuan muda. Karena tuan muda adalah teman ku satu-satunya, maka aku hanya bisa membagikan kabar bahagia ini dengan tuan muda.”

Terdengar suara paling bahagia di seberang sana. Brian yang awalnya kesal, dan berniat untuk memarahi Johan karena merusak suasana bahagia yang ia punya. Terpaksa membatalkan niat itu ketika mendengar suara bahagia dari Johan.

“Kabar bahagia apa yang ingin kamu bagikan denganku, Johan? Cepat katakan! Karena aku sedang sibuk sekarang.”

“Tuan muda. Istriku sudah hamil sekarang. Ya Tuhan … aku bahagia sekali. Itu tandanya, sebentar lagi, aku akan menjadi seorang papa, tuan muda.”

“Istrimu hamil? Benarkah?” tanya Brian seakan tak percaya.

“Tentu saja, iya tuan muda. Jika tidak, bagaimana aku bisa sebahagia ini?”

“Selamat buat kamu yang sebentar lagi akan menjadi seorang papa, Johan. Mulai sekarang, kamu tidak perlu bertengkar dan marah-marah lagi pada Saras, bukan?”

Johan tidak menjawab. Ia hanya tertawa menangapi apa yang Brian katakan padanya barusan. Ya, dia selalu menyalahkan istrinya, ketika pernikahan mereka berusia tahunan. Ia marah pada Saras yang tidak kunjung hamil padahal, pernikahan mereka sudah berjalan beberapa tahun.

Berbeda jauh dengan sikap Brian yang tak pernah menyalahkan Kania saat Kania masih belum hamil meskipun pernikahan mereka sudah berjalan bertahun-tahun lamanya. Brian malah selalu memberikan semangat buat Kania. Ia juga berusaha memberikan perasaan tenang pada Kania. Selalu membuat Kania bahagia walau mereka masih belum diberikan buah hati dalam rumah tangga.

Sebenarnya, bukan Brian tidak ingin punya anak. Hanya saja, ia berusaha tidak memperlihatkan keinginannya itu pada Kania. Karena Brian tahu, yang lebih tersiksa, sudah pasti istrinya. Karena seorang istri, tentu ingin merasakan menjadi seorang ibu dan tentunya sangat ingin memberikan kebahagiaan pada suaminya dengan melahirkan anak.

Brian yang pengertian, dan selalu berusaha menciptakan kehangatan juga keharmonisan dalam rumah tangga, akhirnya, sekarang bisa merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya tanpa harus menyakiti hati istrinya. Dan kebahagiaan itu terasa sangat manis untuk ia nikmati sekarang.

Karena Brian terdiam untuk beberapa saat lamanya. Johan pun langsung memanggil Brian. “Tuan muda. Apakah tuan muda masih berada di sana?”

“Oh, iya. Tentu saja ada.”

“Oh, aku pikir sudah tidak ada. Ya sudah, aku tutup dulu panggilannya tuan muda. Aku ingin membawa Saras pulang ke rumah sekarang.”

“Johan tunggu!”

 

Episode 86 Perjodohan Membawa Bahagia

 Episode 86 Perjodohan Membawa Bahagia

Perjodohan Membawa Bahagia

Baru saja Dafa mencapai halaman rumah setelah turun dari kendaraan umum, ia sudah mendengarkan suara keras yang berasal dari dalam rumahnya. Itu suara papanya yang sedang memarahi Zara.

Sebenarnya, itu tidak layak untuk di sebut rumah, tapi lebih pantas di sebut gudang. Karena letaknya yang sedikit terpencil, dan ukurannya yang terlihat sangat kecil bagi keluarga Dafa dan Zara. Tapi, itu juga tempat tinggal ngontrak, bukan milik mereka pribadi.

Setelah hari pernikahan Dafa dengan Zara. Kehidupan mereka semua berputar jauh ke bawah. Keluarga Dafa kehilangan semua aset kekayaan. Semua harta yang mereka miliki di sita oleh pihak bank. Rumah, kendaraan, juga perhiasan habis semua. Sampai-sampai, tidak ada harta satupun yang tersisa dari mereka.

Sementara Zara, ia didepak dari rumah oleh Burhan. Karena dia bukan anak kandung Burhan, dan karena dia, Burhan kehilangan anak kandungnya. Oleh sebab itu, ia tidak diakui lagi sebagai keluarga oleh Burhan.
Sedangkan Salma sebagai satu-satunya keluarga yang Zara miliki, tidak bisa berbuat apa-apa untuk anaknya. Karena dia sedang menunggu persidangan di balik jeruji besi.

Tidak ada pilihan lain, mereka terpaksa mencari tempat tinggal seadanya saja. Karena tidak memiliki uang yang cukup, mereka terpaksa tinggal di tempat kumuh yang lebih tepat di sebut gudang dari pada rumah.

Karena semua itu terjadi setelah Dafa menikah dengan Zara, maka Zara dianggap sebagai pembawa sial oleh kedua orang tua Dafa. Bukan hanya orang tua Dafa, Dafa juga menganggap Zara itu si pembawa sial.

Hasilnya, keberadaan Zara sama sekali tidak dianggap oleh Dafa dan keluarganya. Ia bahkan di benci oleh mereka semua.

Setiap hari, akan ada perdebatan, juga pertengkaran di rumah itu. Yang membuat semua penghuni rumah tidak merasa nyaman berada di rumah. Makanya, Dafa sering keluyuran tak jelas. Sebagian besar waktunya ia habiskan untuk melihat Kania dari jarak jauh. Jika dari jarak dekat, tentunya tidak akan pernah bisa. Karena Brian tentu akan menjadi penghalang.

Dafa berjalan dengan malas menuju pintu rumah. Hatinya yang sudah kesal, kini semakin dibuat kesal dengan ocehan papanya itu.

“Ada apa sih ini?” tanya Dafa dengan tatapan tajam ke arah Zara.

"Kak Dafa … "

“Ini, istri pembawa sial kamu ini benar-benar bikin susah saja. Di suruh bikin minum aja gak bisa,” ucap papanya dengan nada marah.

Dafa menatap Zara yang sedang duduk di kursi roda dengan tatapan marah. “Kamu itu bisa gak sih? Gak bikin susah lain sebentar saja, hah!”
“Aku tidak akan menanyakan soal kamu bisa bikin aku bahagia sedikit saja. Karena kamu memang tidak akan pernah bisa bikin orang yang berada di sekitarmu bahagia, Zara.”

“Kak Dafa. Ini bukan salah aku, kak. Jika aku masih normal, aku tidak akan merepotkan kalian,” ucap Zara dengan perasaan sangat sedih. Air mata juga tidak bisa ia bendung lagi.

Tidak terhitung jumlahnya. Entah berapa banyak air mata yang sudah ia tumpahkan sejak ia menikah dengan Dafa. Ia juga tidak tahu. Hanya satu hal yang ia ingat, sejak ia datang ke dalam keluarga ini, ia hampir setiap hari menangis karena perlakuan kasar dari keluarga ini, termasuk Dafa. Orang yang ia anggap akan memberikan bahagia buatnya.

“Selalu saja begitu! Selalu saja cacat mu yang kamu jadikan alasan untuk bermalas-malasan!” ucap Dafa membentaknya.

“Zara! Kamu tahu apa? Aku sangat menyesal menikah dengan kamu, tau! Kesalahan terbesar dalam hidupku yang tidak pernah bisa aku maafkan adalah, menikah dengan istri pembawa sial seperti kamu!”

Bentakan, cacian, ia terima setiap hari tanpa ia bisa melawan dengan ucapan, apa lagi dengan pukulan. Yang bisa ia lakukan hanyalah menerima. Menerima setiap cacian dan bentakan dengan air mata yang tidak bisa ia tahan.

Saat itulah Zara sadar. Kalau apa yang ia terima sekarang adalah hukum karma. Karma atas apa yang telah ia lakukan pada kakak tirinya waktu itu. Ia sangat menyesali hal itu. Tapi, ia tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan menikmati karma yang ia rasakan sekarang.

‘Tuhan … aku terima rasa sakit ini. Aku tahu ini karma yang telah engkau berikan padaku atas apa yang telah aku lakukan pada kakak tiri ku selama bersama dengannya. Tapi … aku mohon satu hal Tuhan. Izinkan aku bertemu dengan kak Kania untuk minta maaf. Karena setelah aku merasakan perasaan dibenci, aku menjadi merasa sangat bersalah padanya,’ ucap Zara dalam hati sambil terus menangis.

Dafa melempar jaket yang sedari tadi ia pegang ke arah Zara yang sedang tertunduk dengan air mata membasahi pipinya.
“Nangis aja bisanya kamu ini! Bikin kesal saja!” Dafa lagi-lagi membentak Zara.

Tidak ada kata lembut yang Dafa ucapkan setelah hari itu. Hari di mana ia dinikahi dan ia kehilangan kedua kakinya. Sebenarnya, kaki Zara masih ada, hanya saja, tidak bisa ia gunakan karena tulang-tulangnya remuk.

“Aku menyesal menikahi kamu perempuan pembawa sial,” ucap Dafa sebelum ia beranjak meninggalkan Zara di sana sendirian.

Penyesalan menang tidak akan datang di awal, melainkan, diakhir. Jika di awal, itu bukan penyesalan melainkan, keberuntungan. Itulah yang Zara rasakan saat ini. Ia menyesal, tapi tidak bisa merubah apa yang telah terjadi. Ingin mengulangi masa yang telah lalu, tapi sayangnya tidak bisa. Apa yang ia bisa hanyalah, meratapi semua yang telah terjadi. Hidup dalam kesedihan dan penyesalan.

Sementara itu, Kania hidup dengan kebahagiaan. Masa sedih dan masa sulit sudah ia lewati. Sekarang, ia hanya tinggal menuai kebahagiaan, buah dari kesabaran yang selama ini ia tanam dan rawat dengan baik.

Hidup itu ibarat roda. Yang kadang di atas, kadang pula di bawah. Sesuatu yang ada di atas dunia ini, tidaklah kekal. Semuanya pasti akan berubah. Hanya tinggal menunggu waktu saja.

_____________________________________________

Catatan: "Mohon maaf untuk komen yang belum sempat aku balas. Karena aku sedang berada dalam tingkat kesibukan yang terlalu sibuk. Wkwkwkwk …
Mohon pengertiannya ya teman-teman. Insyaallah, jika aku punya waktu luang nanti, aku pasti akan balas komen kalian satu-satu.
Tapi, meskipun belum sempat aku balas satu persatu sekarang, aku tetap lihat dan baca kok komen kalian. Jangan bosan untuk memberikan aku semangat ya teman-teman. Terima kasih banyak …

 

Episode 85 Perjodohan Membawa Bahagia

 Episode 85 Perjodohan Membawa Bahagia

 

Perjodohan Membawa Bahagia

Kania sudah bisa menebak kalau sang papa pasti pergi ke desa kelahiran mamanya. Seperti yang papanya katakan saat minta izin tadi siang.

Setelah mengucapkan kata terima kasih pada ibu-ibu yang sudah menjawab apa yang ia tanyakan, Kania dan Brian meninggalkan halaman rumah papanya.

________

Tiga hari kemudian, pesta pernikahan Kania pun berlangsung. Di mana pesta itu diadakan dengan sangat amat meriah di dua titik yang berbeda. Satu di pantai, dan satu lagi di hotel berbintang yang terkenal sangat elit.

“Selamat ya tuan muda. Selamat atas resepsi yang sangat meriah ini,” ucap Johan sambil tersenyum manis.

“Oh ya, bolehkah aku numpang di acara ini tuan muda?” tanya Johan dengan wajah tidak tahu malunya.

“Numpang apa? Apa yang ingin kamu lakukan di acara ku?” tanya Brian agak kesal.

“Aku ingin numpang lamaran tuan muda.”

“Lamaran?” tanya Kania dan Brian secara bersamaan.

“Ya ampun. Tuan muda, nona Kania, tolong punya perasaan sedikit. Apa kalian tidak bisa bicara dengan suara pelan, hah?”

“Bagaimana mau pelan, Jo? Kamu bikin kami kaget dengan kata-kata yang baru saja kamu ucapkan itu.”

“Ya, mau lamaran? Lamaran sama siapa kamu, hah? Pacar aja gak punya. Mana bisa lamaran.” Brian berucap kesal dengan nada mengejek.

“Wah … tuan muda meremehkan aku sepertinya. Aku tentu saja susah punya pacar tuan muda. Jika tidak, mana mau aku lamaran.”

“Tunjukkan padaku sekarang, mana pacarmu!”

“Itu … dia.” Johan mengarahkan telunjuknya pada seorang gadis yang sedang duduk di atara kursi-kursi yang berjejer di dalam hotel tersebut.

Brian dan Kania sontak langsung melihat ke arah telunjuk Johan. Saat melihat gadis yang Johan tunjuk, pikiran Brian berusaha mengingat sesuatu. Karena gadis itu terlihat tidak asing baginya.

“Dia?” tanya Brian meyakinkan kalau gadis itu yang Johan tunjuk.

“Ya, dia. Gadis yang sedang duduk dengan baju oranye itu, tuan muda.”

“Aku seperti mengenali gadis itu. Tapi … di mana aku pernah melihatnya?” tanya Brian semakin berusaha keras untuk mengingat.

“Tentu saja tuan muda pernah melihatnya. Karena dia adalah suster yang pernah menyerahkan surat dari Sintya pada tuan muda.”

Saat itulah, Brian baru mengingat kalau perempuan itu suster yang pernah menyerahkan surat wasiat yang Sintya tulis. Berkat suster itu, sebuah kebenaran pun terbongkar dari persembunyiannya.

“Kalian pacaran?” tanya Brian memastikan lagi apa yang telah terjadi. Sedangkan Kania, ia hanya diam menyimak pembicaraan Brian dan Johan saja.

“Tentu saja,” jawab Johan penuh rasa bahagia.

“Kapan?” Brian kembali bertanya dengan wajah penuh selidik.

“Belum lama sih. Sepertinya, beberapa hari sejak kejadian di rumah sakit waktu itu, aku pun langsung mengejarnya tuan muda. Aku rasa, jika aku melamarnya sekarang, tidak ada masalah, bukan?”

“Tentu saja tidak ada masalah. Tapi … jika perempuan itu setuju dan bersedia menerima lamaran mu.”

“Itu sudah pasti, tuan muda. Dia sudah pasti menerima lamaran ku. Karena dia, sudah memberikan kode-kode padaku. Aku yakin, dia sudah tidak sabar lagi menunggu aku melamarnya.”

“Ya sudah kalo gitu. Lamar saja dia secepatnya. Tapi … jangan di acara ku.”

“Tuan muda … jangan tega padaku.” Johan berucap dengan nada memelas penuh harap dan berusaha membujuk.

“Aku tidak tega. Tapi ini adalah acara bahagiaku. Masa ada kamu yang datang untuk merusak.”

“Brian. Apa-apaan sih kamu ini. Mana boleh bicara seperti itu pada Johan.” Kania angkat bicara.

“Tuh dengar tuan muda. Gak boleh.” Johan merasa bahagia karena Kania sepertinya sedang membela dia.

"Kamu … " Brian kesal pada Johan. Tapi, tidak bisa melampiaskan rasa kesalnya karena ada Kania.
“Sayang, aku hanya bercanda.”

"Johan, asisten pribadiku yang sebenarnya sangat menyebalkan. Kamu bisa melakukan apa yang ingin kamu lakukan di acara resepsi aku ini. Tapi … " Brian mendekat ke kuping Johan. “Bonus bulanan mu aku potong,” ucap Brian dengan nada penuh penekanan.

“Tidak masalah, tuan muda.” Johan berucap tanpa beban.

Brian melihat Johan dengan tatapan tak percaya. Untuk pertama kalinya, ancaman yang ia buat tak berpengaruh buat Johan.

“Aku permisi dulu tuan muda,” ucap Johan sambil tersenyum bahagia.

“Ya tuhan, apakah Johan sudah bukan Johan lagi sekarang?” tanya Brian sambil terus melihat punggung Johan yang berjalan semakin menjauh.

“Apa maksud kamu?” tanya Kania jadi bingung.

“Tidak ada. Aku rasa, dia sudah sedikit tidak waras.”

“Brian-Brian. Kamu ada-ada saja.” Kania berucap sambil menggelengkan kepalanya.

Kurang dari sepuluh menit kemudian. Johan mengambil alih pesta Brian untuk beberapa saat lamanya. Ia melamar suster Saras dengan sangat romantis.

Lamaran itu diterima oleh Saras dengan penuh kebahagiaan. Suasana bahagia pun tergambar dengan sangat jelas di wajah semuanya. Bukan hanya Johan yang telah di terima lamarannya oleh Saras. Tapi Brian dan Kania, juga semua tamu undangan yang hadir.

Setelah resepsi di hotel selesai, keesokan harinya, mereka melanjutkan resepsi di pantai dengan suasana yang tak kalah mewahnya. Ada banyak tamu yang hadir di sana. Jio dan Ana yang sedang hamil tua juga ada di sana.

Ana dan Jio mengucapkan selamat pada Brian dan Kania. Meskipun ini hanya acara resepsi saja, tapi, mereka masih bisa di bilang sebagai pengantin baru saat ini. Karena mereka sama sekali belum pernah menjadi pengantin sebelumnya. Juga … belum pernah meneguk manisnya bulan madu selama mereka menikah.

Kania begitu bahagia ketika melihat kehadiran Ana dan Jio. Mereka ngobrol sambil disertai canda tawa yang memperlihatkan kebahagiaan dengan sangat jelas. Hal itu menciptakan rasa sakit pada hati seseorang. Tamu yang tidak diundang, hadir di sana. Menyaksikan kebahagiaan Kania dengan perasaan sakit.

“Kania. Kamu terlihat begitu bahagia saat ini. Kania, harusnya aku yang ada di sampingmu, bukan dia.” Dafa berucap dengan mata yang terus menatap Kania dengan tatapan tidak rela.

‘Bodoh! Aku yang bodoh! Bisa-bisanya aku terjebak dan termakan kata-kata Zara yang licik dan jahat itu,’ kata Dafa dalam hati sambil menggenggam erat tangannya.

‘Ya, ini semua salah dia. Zara yang licik! Kamu telah merusak apa yang seharusnya aku miliki. Kamu harus menerima akibatnya nanti.’ Dafa berkata lagi dengan perasaan sangat emosi.

Tidak sanggup berada di sana lebih lama lagi, Dafa segera beranjak membawa perasaan sedih bercampur kecewanya pada Kania meninggalkan tempat tersebut. Tujuannya tidak lain adalah rumah. Tempat di mana dia akan melampiaskan rasa kecewa yang ada dalam hatinya saat ini.