Jumat, 18 Maret 2022

Episode 28 Perjodohan Membawa Bahagia

 Episode 28 Perjodohan Membawa Bahagia

 

Perjodohan Membawa Bahagia

Usai makan malam, Brian meminta Kania menemuinya di kamar. Entah apa yang ingin ia bicarakan dengan Kania, yang jelas, wajah Brian terlihat serius.

“Baik tuan muda. Saya akan ke kamar tuan muda selesai makan nanti,” ucap Kania masih melanjutkan makan malamnya. Sedangkan Brian, beranjak meninggalkan meja makan dengan bantuan pak Hadi.

Tiga menit kemudian, Kania pun selesai makan. Ia berniat membantu bu Ninik membereskan piring-piring bekas dia dan Brian makan. Tapi, bu Ninik tidak membiarkan Kania melakukan hal itu. Alasannya sangat jelas, karena dia adalah istri dari tuan muda, itu saja.

Kania tidak bisa memaksa, karena bu Ninik bersikeras tidak membiarkannya membantu. Lagipula, ia ingat dengan perkataan Brian yang memintanya datang ke kamar karena ada yang ia bicarakan. Kania langsung pamit pada bu Ninik untuk ke kamar Brian.

Sampai di depan kamar, Kania langsung mengetuk pintu kamar tersebut.

“Masuk!” Terdengar suara Brian lantang dari dalam kamar.

Kania melakukan apa yang Brian katakan. Ia pun langsung membuka pintu, lalu masuk ke dalam.

“Duduk!” ucap Brian pada Kania saat Kania berada di hadapannya yang sedang duduk di sofa.

“Duduk?” tanya Kania agak bingung.

“Iya, duduk. Apa kata ku kurang jelas barusan?”

“Tidak-tidak. Kata-kata tuan muda sudah jelas, bahkan sangat jelas.”

“Jadi, kenapa kamu harus menanyakannya lagi, jika apa yang aku katakan sudah jelas, hmm?”

Kania terdiam. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain untuk menghilangkan rasa kesal yang ada dalam hatinya.

‘Ya Allah, apakah tidak ada saat-saat menyenangkan saat berhadapan dengan laki-laki ini? Apakah hanya ada kata-kata yang membuat hati ini kesal jika aku bicara dengannya?’ tanya Kania dalam hati sambil mengedarkan pandangannya ke sembarang tempat.

“Apa kamu bicara dalam hati lagi?” tanya Brian yang membuat Kania kaget dan tersadar dari pikirannya sendiri.

“Ti … dak.” Kania berucap dengan nada panjang sambil berusaha tersenyum untuk menutupi kebohongannya.

“Lalu kenapa kamu masih diam di sana dan tidak mendengarkan apa yang aku katakan?”

“Itu … ya Allah, salah lagi salah lagi,” ucap Kania sambil beranjak dari tempatnya, lalu duduk di sofa samping Brian.

Brian melihat wajah kesal Kania dengan tatapan suka. Ia merasa, wajah kesal itu terlihat sangat lucu dan membuatnya merasa senang.
Tanpa Brian sadari, sebuah senyum terukir dengan sendirinya tanpa bisa ia tahan.

“Kenapa tuan muda tersenyum?” tanya Kania merasa aneh dan sedikit grogi.

“Se–senyum? Tidak ada. Siapa yang senyum?”
tanya Brian agak gugup karena dia telah ketahuan oleh Kania.

“Barusan itu lho, tuan muda senyum.”

“Tidak ada yang senyum dan tidak perlu dibahas. Aku meminta kamu datang ke kamar ini bukan untuk membahas soal yang tidak penting seperti yang kamu bahas barusa. Aku meminta kamu datang, karena aku ingin bicara hal penting padamu.” Brian berusaha terlihat tenang dengan mengalihkan pokok pembicaraan mereka ke yang lain.

“Hal penting? Hal penting apa tuan muda?”

“Pertama, karena kita susah menikah, aku tidak ingin mendengar kamu memanggil aku dengan panggilan tuan muda. Karena walau bagaimanapun, kamu tetap istri aku. Apa kata orang luar nanti jika mendengar kamu memanggil suamimu dengan panggilan tuan muda, mereka akan salah paham nanti padaku. Bisa-bisa, mereka mengatakan, kamu itu pembantuku, bukan istri.”

“Lalu, aku harus panggil tuan muda apa?”

“Kamu bisa panggil aku dengan nama. Dengan begitu, tidak terlalu lebai di dengar dan papaku juga bisa memakluminya.”

“Baiklah, terserah tuan muda saja. Aku ikut saja apa yang tuan muda katakan. Selagi itu masih dalam batas wajar dan tidak merugikan aku tentunya. Dan jangan melupakan apa yang telah kita sepakati sebelumnya.”

“Tenang saja, aku ingat janji dan kesepakatan yang telah sama-sama kita buat. Dan, jangan cemas soal merugikan. Karena aku tidak akan merugikan dan tidak akan melewati batas ku. Jangan khawatir.”

“Tapi sebaiknya, kamu mulai mengubah panggilan mu padaku mulai detik ini. Jangan panggil aku tuan muda lagi.”

“Baiklah. Aku tidak akan memanggil kamu dengan panggilan tuan muda lagi. Yang tadi, anggap saja sebagai khilaf.”
“Lalu, ada apa lagi yang ingin kamu bicarakan dengan aku?” tanya Kania berharap bisa segera meninggalkan kamar Brian.

“Yang kedua, aku ingin kamu tinggal di kamarku mulai dari malam ini.”

“Apa? Apa kamu sedang bermimpi?” tanya Kania kaget bukan kepalang, sampai-sampai, ia bangun dari duduknya.

“Kenapa? Apa segitu mengagetkannya apa yang aku katakan barusan, sampai kamu harus bertingkah seperti itu? Apa yang aku katakan itu salah?” tanya Brian santai.

“Tunggu! Apa kamu merasa jijik padaku? Sehingga kamu tidak sudi untuk tinggal satu kamar denganku, Kania?” tanya Brian lagi.

“Bu–bukan. Bukan itu maksudku. Kamu jangan salah paham dengan apa yang aku katakan. Aku tidak merasa jijik sedikitpun padamu. Jangan salah sangka dengan sikap dan kata-kata yang aku ucapkan.” Kania berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya ia pikirkan. Ia tidak ingin Brian salah mengartikan sikapnya barusan.

“Lalu? Kenapa kamu tidak ingin tinggal satu kamar denganku sedangkan kita susah sah sebagai suami istri, hmm?”

“Itu karena … bukankah kita menikah hanya untuk status saja? Apakah pernikahan hanya sebatas status juga harus tinggal di kamar yang sama?”

“Tentu saja, harus. Kita memang harus tinggal di kamar yang sama agar yang lain tidak curiga dengan hubungan kita. Pernikahan sebatas status ini harus terlihat seperti pernikahan sesungguhnya, agar yang lain tidak ada yang curiga dan melaporkan hal ini pada papaku.”

Kania terdiam. Ia memikirkan perkataan yang Brian ucapkan. Hatinya membenarkan setiap kata tersebut. Namun, benaknya menolak untuk setuju karena ia masih belum siap untuk tinggal di kamar yang sama dengan laki-laki yang baru ia kenal walau sudah berstatus suami. Karena status itu hanya sebatas status saja. Bukan murni kenyataan yang sesungguhnya.

“Aku tidak akan memaksa kamu untuk tinggal satu kamar denganku, Kania. Karena aku cukup tahu diri, bagaimana aku dan bagaimana ka …”

“Cukup-cukup. Jangan bilang soal fisik atau soal kekurangan pada diri masing-masing. Karena fisik tidak pantas untuk di bicarakan atau dibanding-bandingkan satu dengan yang lain,” ucap Kania tegas memotong perkataan Brian yang terdengar sedih.

“Maksud kamu, kamu tidak peduli dengan fisik seseorang?” tanya Brian memastikan.

“Untuk apa peduli dengan fisik? Karena fisik itu adalah hal yang baharu. Sesuatu yang baharu dan bisa berubah-ubah, untuk apa kita bandingkan. Lagipula, setiap orang itu punya kekurangan dan kelebihan mereka masing-masing. Jadi … untuk apa kita pikirkan soal itu.” Kania bicara sambil tersenyum manis pada Brian.

 

Episode Selanjutnya
episode sebelumnya