Jumat, 18 Maret 2022

Episode 59 Perjodohan Membawa Bahagia

 Episode 59 Perjodohan Membawa Bahagia

 

Perjodohan Membawa Bahagia

Setelah beberapa lama membelah jalan raya. Akhirnya, mobil yang Kania tumpangi sampai juga ke rumah papanya.

Seperti sebelumnya, tidak ada sambutan untuk kedatangan Kania kembali ke rumah ini. Kania tidak ingin memikirkan hal itu. Baginya, ada atau tidak sambutan, itu akan sama saja. Sama-sama menyakitkan pada akhirnya nanti.

Ia berjalan cepat menuju pintu rumah setelah pak Dayat membuka pintu mobil. Sebelum ia turun, ia meminta pak Dayat untuk menunggu di mobil saja. Karena Kania tidak ingin pak Dayat ikut dan membantunya nanti. Kania sudah bertekad akan menyelesaikan masalahnya sendiri sampai tuntas hari ini.

Belum sempat Kania mengetuk pintu rumah itu, pintu tersebut malah sudah dibuka oleh mama tirinya. Dengan tatapan jijik, Salma melihat ke arah Kania yang berdiri di hadapannya.

“Akhirnya, kamu datang juga.” Salma bicara dengan nada pelan dengan tatapan benci.

Namun, beberapa detik kemudian, tatapan benci itu tiba-tiba saja berubah bahagia.
“Sayang, Kania, kamu datang ke sini lagi, Nak?”

Kali ini, kata-kata yang Salma ucapkan terdengar begitu bahagia dengan suara lantang yang hampir bisa di dengar oleh satu rumah. Kania tidak ingin berbasa-basi lagi kali ini. Karena ia tahu, itu hanya sandiwara yang akan membuat ia terkena masalah lagi nantinya.

“Mana papa? Aku ingin bertemu dengannya sekarang.”

“Aku di sini,” ucap Burhan yang baru muncul dari arah belakang.

“Oh, yasudah kalo gitu, kita langsung bicara saja.”

“Ya.” Burhan menjawab singkat sambil beranjak menuju ruang tamu.

Kania mengikuti langkah Burhan dari belakang. Terlihat wajah kecewa dari Salma. Ia kecewa karena tidak berhasil memerankan akting untuk menyudutkan Kania lagi.

Samapi di sofa ruang tamu, Burhan langsung angkat bicara tanpa ada basa-basi untuk mempersilahkan Kania duduk terlebih dahulu.
“Kita langsung saja bicara pada pokok pembahasan alasan aku meminta kamu datang ke rumahku. Aku yakin, kamu pasti sudah tahu apa alasannya, bukan?”

Kania tersenyum miris. Karena perlakuan papanya yang terlihat begitu tidak suka berada satu ruangan bersamanya padahal sedang ada perlu dengan dia. Ia menarik napas panjang untuk menetralisir rasa perih dalam hati. Meskipun perlakuan itu sudah sering ia terima, tapi tetap saja terasa sakit.

“Apakah tidak mengizinkan aku duduk terlebih dahulu?” tanya Kania setelah rasa sakit berhasil ia kuasai.

“Silahkan.” Papanya berucap dengan nada enggan. Terlihat sekali kalau ia mempersilahkan karena terpaksa.

Kania duduk perlahan. “Terima kasih.”

“Baiklah, kita langsung bicara pada pokok pembahasan saja. Alasan aku meminta kamu datang, tentunya kamu sudah tahu.”

Kania terdiam saja. Karena ia enggan untuk menjawab. Toh Kania tahu, menjawab atau tidak, jatuhnya akan sama saja.

“Karena kamu sudah menjadi menantu keluarga terkaya di kota ini, maka aku yakin, kamu tidak akan keberatan menyerahkan harta keluarga padaku, bukan?” Burhan bicara terus terang karena tidak ingin terlalu lama membuang waktu dengan Kania.

“Seperti yang papa inginkan. Aku akan menyerahkan harta itu pada papa sekarang. Tapi dengan syarat, serahkan barang-barang milik mama padaku.”

“Tentu saja. Kamu bisa membawa barang bekas itu dari rumah ini setelah kamu menyerahkan harta keluarga padaku.”

Sakit tapi tak berdarah. Itulah yang Kania rasakan saat ini. Barang bekas? Harta keluarga? Kata-kata yang tak seharusnya ia terima, mengingat status dirinya saat ini.
Tapi tidak, itulah yang sebenarnya terjadi. Ia bukan manusia yang terlahir karena diinginkan oleh sang papa. Melainkan, kesalahan yang sangat papanya sesali.

Papanya meminta Salma mengambil surat pernyataan pengalihan harta warisan untuk Kania tanda tangani, juga meminta Salma membawa barang-barang bekas milik mama Kania keluar. Selama menunggu Salma menjalankan tugas yang ia berikan, Kania menatap tajam papanya dengan perasaan pilu.

“Pa, apakah papa benar-benar tidak mengharapkan aku lagi sekarang?”

Satu pertanyaan yang Kania yakini tidak perlu ia tanyakan, tapi malah keluar begitu saja karena dalam hati Kania masih tersimpan setitik harapan. Harapan akan sedikit saja rasa sayang sebagai papa yang papanya simpan untuk dia.

“Apakah kamu perlu menanyakan hal itu padaku? Aku yakin kamu tahu jawabannya. Karena sampai kapanpun, kamu adalah kesalahan yang tidak pernah bisa aku terima kehadirannya. Bukan aku yang menginginkan membenci kamu, tapi setiap ingat kamu, maka aku ingat wajah mama mu yang licik itu.”

Sakit, perih, dan pada akhirnya mati rasa. Itulah yang Kania rasakan saat ini. Sangking sakitnya kata-kata itu, sampai ia mati tidak bisa merasakan rasa sakit lagi karena hatinya sudah mati rasa.

Tidak ada air mata yang tumpah karena sudah sering tersakiti. Yang ada hanya senyum miris sebagai perwakilan hati yang sakit.
“Baiklah kalau begitu, mulai dari detik ini, kita tidak akan pernah berhubungan lagi,” ucap Kania sambil tersenyum.

“Itu lebih baik,” kata Burhan santai tanpa beban.

Salma yang mendengar kata-kata itu tersenyum bahagia. Hatinya tertawa penuh kemenangan karena ia sudah berhasil menghancurkan hubungan anak dan ayah.

Salma berjalan dengan langkah pelan, seolah-olah ia tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Ia membawa koper dan surat di tangannya. “Ini yang papa minta,” ucap Salma sambil menyerahkan apa yang ia bawa.

“Makasih banyak, Ma.” Burhan berucap dengan sangat lembut. Tontonan yang sering menyiksa batin Kania selama tinggal di rumah ini. Perlakuan keluarga harmonis yang menggores hati.

Karena tidak ingin berlama-lama berada di rumah ini lagi, Kania langsung menyela dengan cepat. “Mana surat yang harus aku tanda tangani? Aku masih ada acara penting untuk aku hadiri soalnya.”

“Ya ampun sayang, kamu terlihat begitu sibuk sekarang. Apa tidak sebaiknya, kamu istirahat dulu di rumah ini? Nanti sore baru pulang,” kata Salma seperti biasa menjalankan aktingnya.

“Maaf mama, gak bisa.” Kania berucap santai tidak seperti biasanya. Hal itu membuat Salma kaget bukan kepalang. Wajah santainya berubah gugup.

‘A–apa? Apa yang terjadi barusan? Apa aku tidak salah dengar?’ tanya Salma dalam hati sambil menatap tajam Kania.

Kania pura-pura tidak melihat tatapan tajam yang Salma berikan. Ia sibuk melihat surat yang papanya sodorkan barusan.

Setelah membaca seluruh isi dari surat pemindahan harta warisan, Kania segera menjatuhkan tanda tangannya. Tentunya, setelah ia memastikan isi dari koper yang Salma bawa terlebih dahulu. Karena ia tidak ingin tertipu lagi kali ini.

Untuk nama si penerima warisan yang ia tanda tangani barusan, ia tidak ingin ambil pusing lagi. Siapapun penerima harta warisan ini, tidaklah penting lagi bagi Kania. Yang terpenting, barang-barang milik mamanya sudah ia dapatkan.

“Aku sudah menyerahkan harta yang memang tidak seharunya menjadi milikku pada yang berhak. Dengan begitu, aku harap, tidak ada masalah lagi sekarang,” ucap Kania sambil bangun dari duduknya.

 

Episode Selanjutnya
episode sebelumnya