Episode 61 Perjodohan Membawa Bahagia
Pak Dayat melajukan mobil tersebut melintasi jalan raya yang ramai. Ia membawa Kania yang sedang termenung menuju suatu tempat yang ia yakini bisa membuat hati Kania kembali merasa tenang.
Kania yang sedang termenung, tidak ingin ambil pusing ke mana mobil yang ia tumpangi berjalan. Sekalipun mobil itu ingin nyungsep ke jurang, ia tetap tidak menghiraukannya. Karena sekarang, yang ada dalam hatinya hanyalah rasa sakit.
Rasa sakit karena penghianatan juga karena di terlantarkan oleh orang tua satu-satunya yang ia punya. Ia kesal, marah, dan kecewa. Tapi sayang, tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah dan menerima jalan takdir yang telah dituliskan untuknya.
Setelah berjalan beberapa lama, mobil yang ia tumpangi pun berhenti, membuat Kania tersadar dari lamunannya. Ia melihat sekeliling tempat di mana mobil itu terparkir.
Kania merasa tidak asing dengan tempat tersebut. Ia lalu keluar sambil terus memperhatikan sekeliling.
Kania mengangkat sebelah alisnya. Ini adalah taman. Taman yang sama dengan taman beberapa tahun yang lalu. Taman yang pernah menjadi saksi bisu dari kebahagiaan antara dia dan sang mantan kekasih yang sebentar lagi akan menjadi adik ipar tirinya. Juga taman yang sama, ketika ia menyatukan sepasang kekasih yang kehilangan cincin tunangan mereka.
Sekarang, ia yang terluka malah di antar kembali ke taman ini. Bukannya membuat tenang hati yang luka, malah semakin menambah rasa perih dan semakin melebar luka yang sudah ada.
Perlahan, air mata tumpah dengan sangat deras ketika Kania melihat lebih lama taman yang ada di hadapannya saat ini. Ia sungguh tidak bisa mencegah air mata itu untuk tumpah, walau ia sudah berusaha keras.
Pak Dayat yang melihat hal itu merasa kaget sekaligus cemas. Niatnya untuk membuat hati Kania senang, bukannya berhasil, tapi malah memperburuk keadaan.
“Nona Kania, ada apa? Apa yang terjadi, nona? Kenapa nona menangis?” tanya pak Dayat dengan perasaan sangat cemas.
Kania berusaha tersenyum sambil menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Sekuat tenaga ia paksakan hatinya untuk kuat dan tidak memikirkan masa lalu kelam yang menyiksa hati.
“Aku gak papa pak sopir. Jangan cemas, aku baik-baik saja.”
“Lalu kenapa nona menangis? Apa yang salah sebenarnya? Apa bapak salah membawa nona ke tempat ini?”
“Tidak-tidak. Pak Dayat tidak salah. Aku hanya teringat akan masa lalu saja. Sudah gak papa. Aku sudah melupakannya.”
“Oh ya, sekarang aku sudah mendingan. Sebaiknya kita langsung pulang saja, pak Dayat. Aku takut Brian cemas jika berlama-lama berada di luar,” ucap Kania lagi sambil melihat sekeliling.
“Baiklah kalau gitu. Kita pulang sekarang saja,” ucap pak Dayat masih dengan nada cemas.
Baru saja Kania ingin memutar tubuh untuk meninggalkan taman tersebut, suara seseorang memanggil ke arahnya. Membuat Kania harus membatalkan niat untuk pergi.
Kania menoleh ke arah asal suara. Di sana, ia melihat sepasang anak manusia yang sedang berdiri tegak sambil melihat ke arahnya. Pasangan itu terlihat seperti pasangan suami istri yang hidup dalam keluarga harmonis.
Itu dapat Kania lihat dari cara suaminya yang sedang memeluk mesra bahu istrinya yang sedang hamil.
Saat melihat Kania, pasangan itu sama-sama tersenyum. Kania terpaksa ikut tersenyum ke arah mereka untuk membalas senyum yang mereka perlihatkan. Lalu, pasangan itu berjalan bergandengan mendekat ke arah Kania yang masih terdiam di depannya.
“Apa kabar mbak Kania? Sudah lama tidak bertemu. Gak nyangka, kami bisa bertemu dengan mbak di sini, hari ini,” ucap pasangan laki-laki.
“Iya, gak nyangka bisa bertemu kamu di sini, mbak. Kamu makin cantik aja,” ucap pasangan perempuan pula, sambil menyentuh ramah bahu Kania.
“Iya, aku juga gak nyangka bisa bertemu kalian, pasangan luar biasa,” ucap Kania sambil memperlihatkan senyum manisnya.
“Ih, yang pasangan luar biasa itu kamu lho mbak. Oh ya, sampai lupa bertanya, gimana kabar mas Dafa? Pastinya, kalian sudah menikah bukan?”
Mendengar pertanyaan dari pasangan wanita tersebut, Kania mendadak murung. Ia menoleh ke arah pak Dayat yang sedang berada di depan mobil beberapa meter darinya. Pak Dayat memahami apa yang Kania rasakan, dengan cepat, ia berinisiatif mengajak Kania pulang.
“Maaf nona, bapak lancang. Sepertinya, kita harus pulang sekarang.”
“Baiklah pak Dayat. Kita pulang sekarang.”
“Mas Jio, mbak Ana. Maaf, aku harus segera pulang. Soalnya, ada hal yang harus aku selesaikan lagi,” kata Kania beralasan pada pasangan tersebut.
“Oh, iya deh. Gak papa. Oh ya, nanti mampir ke rumah ya mbak Kania, jika punya waktu luang.”
“Insyaallah, mbak Ana. Oh ya, sampai lupa buat nanya, udah berapa bulan ini?” tanya Kania berbasa-basi.
“Baru jalan lima bulan, mbak. Maklum, kawinnya cepat, dapat rezekinya agak lama.”
Jio yang menjawab sambil mengelus perut istrinya dengan lembut.
Kania tersenyum dengan jawaban yang Jio berikan. “Yang pentingkan udah dapat, mas Jio. Dan yang paling bersyukur lagi, kalian itu di takdir kan bersama sama Allah.”
“Oh ya sudah kalo gitu, aku harus pulang sekarang. Kasihan pak Dayat udah lama nunggu di mobil,” ucap Kania dengan cepat takut kata-katanya barusan di jawab dengan pertanyaan oleh pasangan tersebut.
“iy–iya, mbak Kania,” jawab Ana sambil melihat suaminya. Karena Ana merasa ada yang mengganjal dari kata-kata yang Kania ucapkan, tapi ia tidak berani bertanya.
Kania tersenyum sambil ingin beranjak. Tapi, langkahnya tertahan saat ponsel yang ia pegang tiba-tiba terjatuh karena lepas dari genggaman. Kania membungkuk untuk mengambil ponsel tersebut. Saat itulah, kalung yang Brian berikan, keluar dari bajunya.
Jio melihat dengan mata melebar saat kalung itu keluar dari baju Kania. "Itu … "
Ia tidak sempat melanjutkan kata-katanya saat Kania langsung beranjak setelah mengambil ponsel tersebut.
“Aku duluan, mbak Ana, mas Jio.” Kania berucap sambil terus melanjutkan langkahnya.
Pasangan itu hanya bisa tersenyum canggung dengan pikiran yang sama-sama mengganjal. Kania tidak ingin memikirkan hal itu, ia langsung masuk ke dalam mobil dan segera meminta pak Dayat untuk langsung menjalankan mobil agar segera meninggalkan tempat tersebut.
Pak Dayat menuruti apa yang Kania katakan. Mobil berjalan meninggalkan tempat teresebut dengan cepat. Sementara itu, kedua suami istri itu kembali saling tatap.
“Menurut kamu, ada yang aneh gak sih, Mas?” tanya Ana pada Jio.
“Apa kamu juga merasakan ada yang aneh?” Jio bertanya kembali.
“Iya, mas. Aku merasa ada yang aneh dengan mbak Kania. Ia terlihat seperti orang yang sedang sedih. Kata-katanya itu lho mas, bikin aku mikir yang nggak-nggak tentang hubungan mbak Kania dengan mas Dafa.”
“Ana, apa kamu lihat kalung yang dia pakai?”