Jumat, 18 Maret 2022

Episode 62 Perjodohan Membawa Bahagia

 Episode 62 Perjodohan Membawa Bahagia

 

Perjodohan Membawa Bahagia

 “Ana, apa kamu lihat kalung yang dia pakai?”

Ana melirik suaminya yang sedang menatap lurus ke depan. “Maksud mas Jio?” tanya anak tidak mengerti.

“Apa kamu lihat kalung yang mbak Kania pakai tadi saat dia mengambil ponselnya yang terjatuh?”

Ana terdiam sesaat. Benaknya memutar ingatan untuk mengingat kembali apa yang suaminya katakan.

“Iya, Mas. Aku ingat. Kenapa memangnya? Apa ada yang salah dengan kalung yang dia pakai?”

“Ana, kalung itu adalah kalung khusus tempahan tuan muda Aditama. Aku kenal betul kalung itu, karena kalung itu aku sendiri yang membuatnya.”

"Ap–apa … jadi, maksud mas Jio, dia … "

“Entahlah, aku tidak ingin menebak soal itu. Yang jelas, kalung itu tidak mungkin ada duanya. Karena aku baru membuat kalung dengan rancangan khusus itu atas permintaan tuan muda Aditama. Lagipula, tuan muda berpesan, aku hanya bisa membuat satu saja kalung dengan model yang dia pesan. Karena dia bilang, kalung itu untuk orang spesial dalam hidupnya. Setidaknya, itu pesan yang aku terima dari sang manajer toko.”

“Huh … ya sudahlah mas. Tidak perlu dipikirkan lagi. Toh kita juga tidak terlalu dekat dengan mereka, bukan?”
“Jika pun ada masalah dengan kehidupan pribadi mereka, semoga saja mereka bisa melewati semua masalah itu. Dan semoga, mereka bisa bahagia. Hanya itu yang bisa kita lakukan sekarang,” ucap Ana dengan nada pasrah sambil melihat suaminya.

“Iya Ana. Kamu benar. Hanya itu yang bisa kita lakukan, mendoakan mereka agar bahagia. Karena bagaimanapun, mereka pernah berjasa dalam hidup kita,” ucap Jio pula.

Mobil yang membawa Kania hampir sampai ke vila Camar. Sementara Kania, masih terlihat murung, sedangkan pak Dayat, masih menyimpan rasa penasaran.

Dengan perasaan berat, pak Dayat memberanikan diri untuk bicara.
“Nona Kania, maaf sebelumnya, apakah bapak boleh bertanya?”

“Silahkan pak Dayat! Jika memang ingin bertanya, maka tanyakan saja.”

“Si–siapa orang yang nona Kania temui di taman tadi?”

“Mereka … mereka orang yang datang dari masa laluku. Saat aku masih belum kehilangan semua kebahagiaan hidupku, aku kenal mereka dengan cara yang unik.”

“Cara unik?” tanya pak Dayat semakin penasaran saja.

“Ya. Aku kenal mereka karena menemukan cincin tunangan mereka yang hilang. Itulah awal dari perkenalan kami.”

"Oh … " Pak Dayat tidak melanjutkan pembicaraan mereka karena mobil telah sampai ke vila.

Kania segera turun, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Niatnya, ia ingin segera ke kamar untuk menyegarkan diri. Tapi sayang, niat itu terhalang oleh Sintya yang menghadang langkahnya tepat di depan tangga.

“Ikut aku ke kamar. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” kata Sintya dengan tatapan tajam dengan tangan yang dilipat.

“Mau apa lagi? Aku tidak ada waktu untuk bicara denganmu. Apa lagi sih yang ingin kamu bicarakan denganku?” tanya Kania dengan nada malas.

“Jangan senang dulu dengan apa yang telah kamu capai sekarang perempuan gak jelas. Aku masih belum kalah. Ikut aku ke kamar sekarang, atau aku akan katakan pada om David tentang sikapmu padaku. Nanti, yang akan tangung akibatnya memang bukan kamu, tapi kak Brian.”

Sebenarnya, Kania tidak ingin mendengarkan apa yang Sintya katakan. Tapi … mengingat Brian, ia merasa sedikit kasihan. Ia tidak ingin memberikan masalah untuk Brian.

“Baiklah, aku akan ikut kamu ke kamar.”

“Bagus kalau gitu,” ucap Sintya sambil beranjak.

Sintya pun berjalan menuju kamarnya dengan diikuti Kania dari belakang. Dengan pikiran masing-masing, mereka terus berjalan menuju kamar yang Sintya tempati.

Sampai di kamar tersebut, Sintya membuka pintu lalu masuk. Kania pun ikut masuk meski dengan langkah enggan dan waspada.

“Apa yang ingin kamu bicarakan padaku?” tanya Kania tak sabar lagi.

“Kamu kelihatannya begitu tak sabaran, perempuan gak jelas.”

“Aku peringatkan padamu, namaku Kania. Kamu bisa memanggil aku dengan nama itu, Nona Sintya. Dan … bukan aku tak sabaran. Tapi aku tidak punya banyak waktu untuk meladeni kamu.”

"Kamu … " Sintya terlihat kesal.
“Kamu pikir kamu siapa, hah?”

“Kamu lupa aku ini siapa? Apa perlu aku ingatkan lagi siapa aku, Sintya?”
“Tapi … aku rasa, kamu masih belum pikun karena usiamu masih muda,” ucap Kania santai dengan nada ejekan.

“Kania! Kamu semakin besar kepala saja sepertinya. Kamu tidak perlu meninggikan dirimu di hadapanku. Karena sesungguhnya, aku tahu betul siapa kamu, Kania.”

“Oh, benarkah? Kamu tahu siapa aku, Nona Sintya? Lalu kenapa kalau kamu tahu siapa aku? Apa itu penting bagimu?”

“Mungkin, siapa kamu itu tidak penting bagi aku, dan juga bagimu. Tapi, kamu harus tahu siapa aku. Aku bisa melenyapkan dirimu jika kamu benar-benar ingin bersaing denganku untuk memiliki kak Brian.”

“Aku bisa bertindak lebih ganas dari yang kamu bayangkan sebelumnya, Kania. Karena kelihatannya, kamu juga tidak bisa aku anggap remeh.”

“Setelah kamu merusak barang bukti yang aku dapatkan dengan susah payah dari ruang kerja kak Brian, aku menjadi yakin, kalau kalian itu benar-benar saling suka. Tapi … karena itu juga aku sepertinya harus bertindak lebih keras lagi padamu,” ucap Sintya dengan tatapan tajam sambil tersenyum menyeringai, yang membuat bulu kuduk Kania berdiri.

“Karena aku tidak rela kak Brian menjadi milik siapapun, maka aku akan menyingkirkan siapapun yang kak Brian sukai.” Sintya bicara sambil berjalan mengelilingi Kania.

Merasa Sintya menakutkan, Kania berusaha tetap tenang. “Apa yang kamu katakan, ham?” tanya Kania berusaha tetap tenang.

“Apa ucapan ku masih tidak jelas, Kania? Aku ingin menyingkirkan semua penghalang, agar aku bisa memiliki kak Brian seutuhnya, sendirian.”

“Gila. Kamu berniat ingin menyingkirkan aku, hah?” tanya Kania masih dengan nada santai tanpa takut.

“Menurut kamu?”

“Kamu pikir akan semudah membalikkan telapak tanganmu untuk menyingkirkan aku? Lagipula, jika kamu menyingkirkan aku untuk memiliki Brian. Maka kamu salah besar. Yang ada, bukannya bisa memiliki Brian, tapi kamu malah semakin di benci oleh Brian.”

“Heh, aku tidak perlu pendapat darimu. Kamu lupa, aku bisa memaksa kak Brian dengan ancaman dari om David. Meskipun dia benci aku, yang terpenting, dia mau menikahi aku, paham!”

“Sintya-Sintya. Kamu itu punya otak atau nggak sih? Jika kamu melenyapkan aku, maka kamu pasti akan berurusan dengan polisi. Mana bisa kamu memiliki Brian jika kamu berada dalam. tahanan.”

Sintya terdiam untuk beberapa saat lamanya. Tapi kemudian, ia tertawa terbahak-bahak.

“Kania. Sepertinya kamu masih belum tahu siapa aku rupanya,” ucap Sintya sambil tertawa.

“Kalau begitu, aku akan bercerita sedikit tentang aku padamu, agar kamu tidak menjadi arwah penasaran saat mati nanti.”

 

Episode Selanjutnya
episode sebelumnya