Jumat, 18 Maret 2022

Episode 88 Perjodohan Membawa Bahagia (Eks Part2)

Episode 88 Perjodohan Membawa Bahagia (Eks Part2)

 

Perjodohan Membawa Bahagia

 “Johan tunggu!”

Brian menahan niat Johan untuk mengakhiri obrolan mereka dengan cepat. Mendengar ucapan Brian barusan, Johan membatalkan niatnya untuk menutup panggilan.

“Ya tuan muda. Ada apa?”

“Sebenarnya, aku juga punya kabar bahagia yang ingin aku bagikan padamu.”

“Benarkah? Apa tuan muda?”

“Kania … Kania juga hamil sekarang.”

“Apa! Benarkah apa yang aku dengar ini, tuan muda? Nona Kania juga hamil sekarang?”

“Tentu saja, iya.”

“Wah. Ini kebetulan yang luar biasa. Apa yang dokter katakan? Sudah berapa bulan nona Kania hamil, tuan muda?” tanya Johan penuh semangat.

“Lho, kenapa jadi kamu yang begitu bersemangat sekarang, Johan? Saat kamu tahu istriku sedang hamil.”

“Tuan muda, aku ikut bahagia. Apakah itu tidak wajar?”

“Sebenarnya, itu terdengar wajar-wajar saja. Kania baru hamil lima minggu. Lalu, bagaimana dengan istrimu?”

“Saras sudah memasuki kehamilan minggu kesebelas tuan muda. Ia sebenarnya sudah lama tahu kalau dirinya sedang hamil. Hanya saja, ia merahasiakan kehamilan itu dari aku.”

“Kenapa?”

“Aku tidak tahu apa alasannya tuan muda. Mungkin, dia sengaja tidak bicara padaku, karena dia ingin aku tahu sendiri kalau dia sedang hamil. Dia itukan seorang suster.”

“Terserah padamu saja, Johan. Apa yang ingin kamu simpulkan dari apa yang telah terjadi. Tapi satu hal yang ingin aku katakan, sebaiknya, kamu perhatikan baik-baik istrimu itu. Aku tidak ingin melihat kamu yang kejam ini semakin kejam lagi jika ada apa-apa dengan calon anakmu. Aku tidak suka sikap itu.”

“Tuan muda tenang saja. Aku akan dengarkan kata-kata tuan muda dengan sangat baik. Karena tuan muda adalah sahabatku.”

“Terserah kamu. Ya sudah, aku ingin kembali ngobrol bersama istriku.”

“Tunggu tuan muda.”

“Ada apa lagi?”

“Apakah kita bisa bicara serius?”

“Apa maksud kamu? Bicara serius bagaimana?” tanya Brian dibuat bingung dengan pertanyaan yang Johan ucapkan barusan.

“Aku ingin bicara serius dengan tuan muda. Aku mohon minta waktu tuan muda sedikit saja lagi.”

“Mau bicara serius soal apa? Di mana?”

“Lewat telepon saja karena aku tidak sabar lagi untuk bicara.”

“Kamu kelihatannya semakin tidak waras saja, Johan. Cepat katakan apa yang ingin kamu katakan padaku sekarang!”

“Tuan muda, bagaimana jika anak kita nanti kita jodohkan saja setelah mereka sama-sama dewasa? Bukan … kita akan bisa semkin mempererat hubungan persahabatan kita ini?”

Brian kaget ketika mendengar pertanyaan itu. Tapi, dia tidak ingin menunjukkan rasa kaget itu pada Johan. Ia takut, Johan salah tanggap dengan reaksi yang ia tunjukkan. Seperti yang baru saja terjadi di ruang tamu vila nya tadi.

“Tuan muda.” Johan memanggil Brian saat Brian tidak menjawab apa yang ia katakan barusan.

“Ya.”

"Apa yang tuan muda pikirkan? Apa yang aku katakan itu … "

“Johan. Apa kamu yakin untuk menjodohkan anak kita? Bagaimana jika anak kita lahir nanti sama-sama perempuan atau malah sebaliknya, sama-sama laki-laki? Bagaimana kita bisa menjodohkan anak kita jika jenis kelaminnya sama?”

“Tuan muda ada benarnya juga. Baiklah, kita bicarakan nanti setelah anak kita lahir saja tuan muda.”

“Itu lebih baik,” ucap Brian dengan sedikit perasaan lega.

Panggilan pun diakhir oleh keduanya. Setelah panggilan terputus, Brian menarik napas panjang, lalu melepasnya secara perlahan.
Tawaran perjodohan itu sebenarnya membuat ia pusing. Karena apa yang mereka bicarakan, itu seharusnya tidak mereka bicarakan sekarang. Karena hal itu terlalu dini untuk di bahas.

______

Lima bulan kemudian, kabar duka sekaligus bahagia terdengar dari Johan. Istrinya harus melahirkan anak mereka dengan jalan operasi. Karena kandungan Saras bermasalah dan baru menginjak usia tujuh bulan. Anak prematur itu terpaksa harus di rawat di rumah sakit sampai waktunya tiba.

Johan merasa sedikit kecewa ketika anak itu lahir. Karena anak yang ia harapkan laki-laki, ternyata seorang perempuan. Meskipun begitu, ia tetap bahagia dan menerima kehadiran sang putri dengan lapang dada. Putri kecil itu ia beri nama Hanas.

_____

Dua setengah bulan kemudian. Kebahagiaan kembali terdengar di rumah sakit yang sama. Kali ini, kehadiran putri penguasa terkaya pula yang menggemparkan rumah sakit tersebut.
Rumah sakit itu gempar karena kedatangan orang-orang terkenal hanya untuk mengucapkan selamat pada Brian dan Kania.

Kebahagiaan Brian dan Kania kini terlihat sangat sempurna dengan kehadiran bayi kecil yang cantik jelita itu. Bayi itu tentunya mewarisi kesempurnaan fisik dari kedua orang tuanya. Bayi kecil itu Brian beri nama Yolanda, yang mereka panggil dengan nama, Yola.

Beberapa hari setelah ia melahirkan anaknya, Kania dirundung pertanyaan akan keberadaan orang paling dekat dengannya selama ini. Semua telah ia lihat dan telah memberikan selamat padanya. Tapi … Ana dan Jio, yang selama beberapa tahun terakhir sangat amat dekat, sampai saat ini belum juga ia lihat keberadaannya.

“Brian, di mana mbak Ana dan mas Jio? Kenapa mereka sama sekali belum terlihat sampai sekarang? Bukankah seharusnya, mereka sudah ada di sini untuk melihat putri kita?”

Kania menghujani Brian dengan banyak pertanyaan. Pertanyaan yang tidak tahu bagaimana Brian harus menjawabnya.

Brian terdiam, matanya melirik papanya yang ada di samping dia. Berharap sang papa bisa membantu mengalihkan pertanyaan itu walau tidak untuk selamanya.

“Brian. Kenapa kamu diam saja? Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Kania dengan tatapan tajam ke arah Brian.

“Itu … aku tidak tahu sayang. Mungkin, mereka sedang berada di luar negeri barangkali.” Brian berucap sambil membelai rambut Kania dengan lembut.

“Berada di luar negeri? Tidak mungkin.”

"Lho, kenapa tidak mungkin, Kania sayang? Bukankah … "

“Kapan mereka berangkat?” tanya Kania memotong perkataan Brian dengan cepat.

“Itu … ke–kemarin. Ya, kemarin.”

Brian terlihat sangat gugup saat menjawab pertanyaan Kania barusan. Hal itu membuat Kania yang sebelumnya tidak yakin, semakin tidak yakin lagi. Kania menatap Brian dengan tatapan tajam.

“Brian, apa yang kamu sembunyikan dari aku? Cepat katakan!”

“Augh. Perut papa sakit. Brian, bisakah papa minta kamu bantu papa belikan obat sebentar?” tanya David berusaha mengalihkan perhatian Kania.

“Iya, Pa. Aku akan belikan.”

“Tunggu! Brian, jangan pergi dulu.”

“Sayang, sebentar ya. Biar aku belikan obat papa dulu.”

"Tapi Brian …

Di saat yang sama pula, Johan tiba-tiba masuk ke kamar tersebut dengan senyum di bibirnya.
Namun sayang, senyum itu tiba-tiba lenyap ketika Brian dan Davidson memberikan tatapan tajam padanya yang baru datang.

“Tu–tuan muda, tuan David. Apa … apa yang …”

“Kebetulan kamu datang, Johan. Papa sakit perut, dia ingin obat. Kamu bisa tolong antar kan papa berobat?” tanya Kania dengan suara pelan namun terdengar kesal.

 

Episode Selanjutnya
episode sebelumnya