Jumat, 18 Maret 2022

Episode 31 Perjodohan Membawa Bahagia

 Episode 31 Perjodohan Membawa Bahagia

 

Perjodohan Membawa Bahagia

Brian terbangun saat matahari sudah benar-benar bersinar terang benderang. Alias, ia bangun kesiangan karena semalaman tidak bisa tidur akibat memikirkan kedatangan sang adik sepupu yang pastinya akan menimbulkan masalah buat ketenangan hati dan pikirannya.

Ia masih berbaring di atas ranjang ketika pintu kamarnya di ketuk oleh seseorang dari luar. Dengan malas, ia berucap. “Sebentar.”

Tanpa pikir panjang lagi, Brian langsung turun dari ranjang, lalu berjalan mendekati pintu untuk membuka pintu kamar tersebut. Ia lupa, kalau ia harus menggunakan kursi roda karena dirinya sedang menjalankan sandiwara sebagai laki-laki lumpuh. Dan … sudah bisa dipastikan, kalau dia juga lupa memakai topeng hitam untuk menutupi wajahnya.

Alhasil, saat ia membuka pintu kamar tersebut, ia mendapatkan teriakan kaget dari orang yang berada di depan pintu kamar tersebut.
“Aaa … siapa kamu?!” tanya Kania sambil berteriak keras karena ia sangat kaget dengan orang yang ada dihadapannya saat ini.

Bagaimana Kania tidak merasa kaget saat ini? Laki-laki yang ada dihadapannya sama sekali belum pernah ia lihat sebelumnya. Dan juga, tidak sedikitpun ia terpikirkan kalau itu adalah Brian. Karena yang ia tahu, Brian lumpuh dan memiliki wajah cacat yang selalu Brian sembunyikan dibalik topeng hitam. Sedangkan laki-laki yang ada dihadapan Kania saat ini, adalah laki-laki yang sangat tampan. Dengan postur tubuh tegap dan kaki yang normal.

Brian yang mendapat teriakan itu juga merasa kaget dengan apa yang baru saja terjadi. Ia terdiam mematung tanpa tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.

“Siapa kamu? Kenapa kamu berada di kamar suamiku? Apa yang kamu lakukan pada Brian? Di mana dia?” Kania menghujani Brian dengan pertanyaan yang terdengar bernada cemas.

Saat itulah, Brian baru sadar dengan apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia menarik tangan Kania untuk ia bawa masuk ke dalam kamar. Kania yang tidak tahu hal itu akan terjadi, tidak bisa menahan tubuhnya untuk tidak mengikuti apa yang Brian lakukan padanya.

"Hei lepaskan aku! Tolong! Tolong! … Brian tolong! … "

Kania berteriak keras sambil berusaha melawan apa yang Brian lakukan padanya. Dengan cepat, Brian menutup mulut Kania dengan satu tangan sedangkan tangan yang lain terus memegang tangan Kania.

Brian menutup pintu kamar. Lalu, mengunci pintu tersebut dengan cepat. Kemudian, ia menarik tangan Kania, dan menjatuhkan tubuh Kania di atas ranjang. Seterusnya, ia mengikuti tubuh Kania yang berbaring di atas ranjang.

Kania kembali berteriak ketika tangan Brian tidak lagi menutupi mulutnya.
“Tolong … Brian! Tolong aku! Di mana kamu?” tanya Kania dengan nada sedih.

“Lepaskan aku! Siapa kamu, hah? Apa kamu tidak tahu kalau aku ini istri orang?” Kania bicara dengan nada sedih yang terdengar sangat putus asa. Ia ingin melawan, tapi laki-laki ini terlalu kuat untuk ia lawan.

“Brian! Di mana kamu?” tanya Kania lagi terus berusaha melawan walau ia tahu, itu tidak akan berhasil.

“Aku di sini.” Brian berucap dengan tatapan penuh kasih sekaligus kasihan pada Kania.
“Diam dan dengarkan apa yang ingin aku katakan padamu.”

"Bukan. Kamu bukan Brian. Kamu … "

“Kania, aku Brian. Laki-laki yang baru beberapa hari yang lalu menikahi kamu.”

“Tidak mungkin. Kamu tidak mungkin Brian.” Kania mulai melemah dan tidak memberontak lagi.
“Lepaskan aku! Kamu jangan membohongi aku!” Kania kembali emosi dan berusaha melawan.

“Aku akan melepaskan kamu tapi tolong jangan berteriak. Dan, dengarkan apa yang ingin aku bicarakan.”

Brian melonggarkan tubuh Kania yang ia tahan dengan tangan sejak tadi. Kemudian, ia turun dari ranjang, lalu duduk di samping ranjang tersebut. Sedangkan Kania, bergegas bangun dan menjauh dari ranjang itu.

“Aku Brian.”

"Jangan bohong. Mana mungkin kamu Brian. Bukankah Brian … "

“Cacat! Lumpuh dan buruk rupa. Itukan yang ingin kamu katakan padaku?” Brian bicara sambil menatap Kania.

“Apakah kamu tidak bisa mendengarkan aku bicara dengan nada yang sama sebelumnya?”

“Tidak mungkin kamu Brian. Bagaimana orang yang di kabarkan lumpuh dan cacat wajah sebelumnya bisa terlihat baik-baik saja seperti kamu?”

“Alasannya cuma ada satu Kania. Yaitu sandiwara. Berpura-pura lumpuh dan buruk rupa, agar bisa mencapai sebuah misi dan menjadi pemenang. Aku yakin, kamu pasti mengerti.”

Mendengar kata-kata yang Brian ucapkan membuat Kania merasa geli sekaligus sakit dalam hatinya. Ia yang awalnya sangat percaya dan menaruh simpati pada Brian, kini harus merasakan rasa kecewa atas apa yang ia ketahui sekarang.

Kania tersenyum perih. Senyum di bibir, namun sakit di hati. Seperti sebuah luka yang tak mengeluarkan darah, namun sakitnya pasti terasa.

Brian merasa bingung dengan senyum yang Kania perlihatkan. Senyum sedih itu membuat hatinya penuh tanda tanya sehingga ia tidak bisa menutupi rasa penasaran yang ada dalam hatinya lagi.

“Kenapa kamu tersenyum, Kania? Apa kamu tidak percaya dengan apa yang aku katakan barusan? Atau, apa kamu tidak memahami apa yang aku maksud?”

“Tidak. Aku tersenyum bukan karena aku tidak memahami atau tidak percaya dengan perkataan mu, Brian. Tapi, aku tersenyum karena aku sangat memahami apa yang kamu katakan.”

“Kalian manusia seperti apa sebenarnya. Aku sungguh tidak memahami kalian semua. Apakah hidup kalian tidak bisa lepas dari kata sandiwara dan kepura-puraan? Tidak bisakah kalian hidup dengan hati yang tulus dan jujur?”

Kania terlihat begitu sedih dan kecewa sekarang. Hal itu bisa Brian rasakan dari nada bicara yang Kania ucapkan barusan. Rasa kecewa itu membuat Brian merasa bersalah. Ia sebenarnya tidak berniat membuat Kania kecewa dengan apa yang ingin ia sampaikan tadi. Hanya saja, sifat angkuh sebagai seorang tuan muda itu tidak bisa ia tutupi walau hatinya tidak menginginkan sifat tersebut ada.

Sementara Brian sibuk memikirkan alasan lain untuk ia ucapkan pada Kania, Kania sekuat tenaga sedang menahan air mata agar tidak jatuh karena hatinya terlalu kecewa dengan kebohongan yang Brian tunjukkan. Harusnya ia bahagia sekarang, saat tahu kalau suami yang terpaksa menikahinya, bukan orang yang cacat seperti yang dikabarkan.

Tapi tidak, masalahnya bukan pada bahagia karena sebuah kenyataan. Melainkan, terluka dan kecewa pada sebuah kebohongan. Ia merasa dipermainkan. Benar-benar merasa dipermainkan oleh semuanya. Padahal ia sangat mempercayai apa yang telah ia lihat sebelumnya dan berusaha menerima dengan lapang dada dan hati yang ikhlas.

‘Ya Allah, apa semua orang yang Engkau pertemukan dengan aku, semuanya bermuka dua dan penuh dengan sandiwara? Tidak bisakah Engkau pertemukan aku dengan manusia yang benar-benar tulus menjalani hidup dengan kejujuran untuk menjadi temanku di dunia ini?’ Kania berucap dalam hati sambil menarik napas panjang.

 

Episode Selanjutnya
episode sebelumnya