Episode 32 Perjodohan Membawa Bahagia
Setelah beberapa saat lamanya mereka saling diam dengan pikiran masing-masing, Kania langsung memutuskan untuk keluar dari kamar Brian saat ia sudah mampu menguasai diri, dan hatinya sudah agak tenang. Tapi sayang, saat ia melangkahkan kakinya untuk meninggalkan kamar itu, tangan Brian dengan cepat menahan tangannya.
“Tunggu! Kamu mau ke mana?” tanya Brian sambil memegang tangan Kania yang berusaha Kania lepaskan.
“Keluar.” Jawaban singkat tanpa melihat wajah Brian terdengar nyaring di telinga Brian sekarang.
“Kamu tidak bisa keluar, karena aku masih belum selesai bicara denganmu.”
“Apa lagi yang mau kamu bicarakan, tuan muda? Aku rasa, tidak ada yang harus kita bicarakan lagi sekarang. Bukankah, semuanya sudah jelas?” tanya Kania.
Sekarang, ia baru bisa melihat wajah laki-laki yang sangat tampan itu dengan jarak yang sangat dekat. Jika saja tidak ada rasa kecewa, mungkin saat ini, ia sudah melayang, terbang tinggi ke awan karena angan-angan.
“Oh iya, aku tahu apa yang ingin kamu katakan padaku sebelum aku keluar. Kamu pasti ingin aku diam, tutup mulut atas apa yang aku lihat sekarang, bukan?”
“Tenang saja, tuan muda Aditama. Aku pasti akan diam. Tidak perlu cemas soal itu. Karena aku bukan tipe orang yang suka ikut campur urusan orang lain.”
“Sudah?” tanya Brian dengan tatapan mata yang tidak Kania pahami.
Kania terdiam untuk beberapa saat lamanya. Sampai akhirnya, ia kembali berusaha melepaskan cengkraman tangan Brian yang terus menahan pergelangan tangannya sejak tadi.
“Kania Hermansyah. Kamu sudah bicara panjang lebar barusan, dan sekarang, giliran aku yang bicara. Aku harap, kamu bersedia tenang dan dengarkan apa yang ingin aku katakan padamu.”
Kania menatap tajam Brian. Sebenarnya, ia enggan untuk mendengarkan apa yang ingin Brian bicarakan padanya. Karena rasa kesal dan kecewa masih menguasai seluruh hati Kania saat ini. Tapi, apa yang bisa ia lakukan selain pasrah dan mengikuti apa yang Brian inginkan. Karena Brian masih terus memegang erat tangannya saat ini.
“Kania, aku minta maaf untuk rasa kecewa yang kamu rasakan saat ini. Sejujurnya, aku tidak berniat untuk mempermainkan dan membohongi kamu. Sandiwara ini aku buat semata-mata hanya untuk menghindari perjodohan dan pengejaran para perempuan yang selalu ingin bersamaku hanya karena fisik dan harta.”
“Sekarang, aku tidak perlu bersandiwara lagi. Karena aku telah menemukan seseorang yang benar-benar tulus, dengan hati yang benar-benar suci.”
Kania tersenyum mendengarkan ucapan Brian barusan. Bukan senyum karena bahagia, melainkan, senyum karena geli dan tidak percaya dengan apa yang Brian ucapkan.
“Kenapa kamu tersenyum? Kamu masih tidak percaya dengan apa yang aku katakan? Kamu masih anggap aku bohong dan bersandiwara lagi sekarang, Kania?”
“Tidak-tidak. Aku tidak berpikir seperti itu, tuan muda. Aku tidak menganggap kamu bersandiwara lagi. Aku percaya kok dengan apa yang kamu katakan, tuan muda Aditama,” kata Kania sambil tersenyum mengejek.
Melihat tingkah Kania yang terus saja mengejek dan tidak mempercayai apa yang ia katakan, Brian langsung menarik, lalu menjatuhkan tubuh Kania ke atas ranjang seperti yang ia lakukan sebelumnya. Lalu, menindih tubuh tersebut dengan cepat.
Kania yang tidak tahu kalau Brian akan melakukan hal itu untuk yang kedua kalianya, tidak bisa menahan tubuh dan melawan. Yang bisa ia lakukan hanyalah pasrah dan berteriak dengan suara pelan karena tertahan oleh detak jantung yang berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.
"Brian lepaskan aku! Apa yang kamu lakukan, hah? Lepaskan aku atau … "
“Atau apa? Kamu ingin berteriak lagi dengan suara yang menggelegar? Begitu?” tanya Brian di telinga Kania.
“Kamu jangan lupa satu hal, Kania. Di sini, di vila ini, aku adalah pemiliknya. Semua yang ada di sini adalah milikku, termasuk kamu. Jadi, siapa yang bisa melarang aku untuk melakukan apapun pada apa yang aku miliki. Termasuk, melakukan apa yang aku mau padamu.”
"Dan jangan melupakan satu hal yang paling penting. Kamu adalah istriku, istri sah yang diakui agama dan negara. Jadi, wajar kalau aku … "
“Jangan macam-macam, Brian!” Kania berteriak keras, memotong perkataan Brian.
Ia berusaha melawan dirinya sendiri agar tetap tersadar dan tidak terhanyut, terbawa perasaan.
"Kania … " Sebuah ketukan di pintu kamar memotong perkataan dan mengalihkan perhatian Brian dari Kania.
“Tuan muda! Tuan muda! Apakah tuan muda ada di dalam?” tanya bu Ninik yang berada di depan kamar Brian.
“Aku ada di dalam. Ada apa? Jangan ganggu jika tidak ada yang sangat penting,” kata Brian dengan nada kesal.
Mendengar nada kesal yang tuan mudanya ucapkan, bu Ninik merasa sedikit takut.
“Ti–tidak ada apa-apa tuan muda. Hanya ingin memanggil tuan muda untuk sarapan saja.”
“Nanti aku turun.”
“Baik tuan muda. Maaf. Ibu permisi dulu,” ucap bu Ninik hati-hati.
"Bu … " Kania berniat ingin memanggil bu Ninik. Tapi sayangnya, Brian menghalangi niat Kania tersebut dengan menutup mulut Kania.
"Kamu ingin semua orang tahu kalau kamu dan aku sedang melakukan hubungan yang … "
“Cukup-cukup! Lepaskan aku sekarang juga, tuan muda.”
“Kania Hermansyah. Kamu sudah memanggil aku dengan panggilan tuan muda lebih dari dua kali. Apa kamu lupa, aku tidak suka kamu memanggil aku dengan sebutan tuan muda?”
“Brian tolong … jangan tahan aku dan jangan bertingkah macam-macam. Aku mohon.” Kania berucap dengan nada mengiba.
Brian tersenyum. “Akhirnya, kamu kembali pada sikap aslimu, Kania. Lemah lembut.”
“Kania, aku bisa melepaskan mu dengan satu syarat. Jadilah istri penurut dan penuh kasih padaku mulai dari detik ini, bagaimana? Apa kamu sanggup.”
“Kamu sudah tidak waras lagi, Brian. Kamu minta aku jadi istri penurut dan penuh cinta setelah apa yang kamu lakukan padaku barusan. Kamu benar-benar sakit,” ucap Kania sambil memalingkan wajahnya dari melihat Brian.
“Apa kamu masih tidak bisa menerima alasan pasti yang aku ucapkan padamu, Kania? Kamu tidak percaya padaku?”
“Bagaimana aku bisa percaya setelah apa yang kamu lakukan padaku barusan, Brian? Aku ingin percaya, tapi hati ini tidak bisa. Kamu telah mengecewakan dan merusak kepercayaan ku padamu. Sekarang, lepaskan aku dan kita jalani pernikahan ini seperti perjanjian di awal pertemuan. Aku bantu kamu dan kamu bantu aku.”
Brian terdiam. Ia menatap Kania yang tidak menatapnya sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman nya.
‘Aku tidak bisa melepaskan kamu dan membiarkan pernikahan ini hanya sebatas sandiwara, Kania. Karena kamu adalah perempuan yang aku cari selama ini. Perempuan yang menjalani hidup dengan ketulusan tanpa sandiwara. Kamu terlalu berharga jika untuk dijadikan sandiwara,’ kata Brian dalam hati.