Jumat, 18 Maret 2022

Episode 33 Perjodohan Membawa Bahagia

Episode 33 Perjodohan Membawa Bahagia

 

 

Perjodohan Membawa Bahagia

‘Aku tidak bisa melepaskan kamu dan membiarkan pernikahan ini hanya sebatas sandiwara, Kania. Karena kamu adalah perempuan yang aku cari selama ini. Perempuan yang menjalani hidup dengan ketulusan tanpa sandiwara. Kamu terlalu berharga jika untuk dijadikan sandiwara,’ kata Brian dalam hati.

“Baiklah, aku akan jalani pernikahan ini seperti perjanjian kita sebelumnya. Tapi … aku juga akan buktikan padamu, kalau aku mampu menjadi pendamping hidupmu yang sesungguhnya. Bukan hanya sekedar sandiwara saja.”

“Terserah padamu. Sekarang, lepaskan aku!”

Kania sudah tidak ingin berdebat lagi. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanyalah, lepas dari Brian secepat mungkin.

Brian menuruti apa yang Kania katakan. Ia membebaskan Kania dari cengkraman dan membiarkan Kania pergi meninggalkan kamarnya.

Merasa dibebaskan, Kania berjalan cepat menuju pintu kamar. Ia ingin segera keluar dan lenyap dari pandangan Brian secepat mungkin.

Melihat tingkah Kania yang tergesa-gesa meninggalkannya, Brian tersenyum geli. Ia merasa, Kania benar-benar perempuan polos yang menyenangkan.

Saat Kania sampai di kamar, ia melihat ponselnya yang sedang menyala. Di layar ponsel tersebut, ada banyak panggilan masuk dan pesan dari nomor papa dan Zara.

“Mau apa lagi Zara? Kenapa papa menghubungi aku? Tumben sekali,” kata Kania sambil membuka pesan masuk dengan malas.

*Pulang ke rumah siang ini. Ada yang ingin kami bicarakan.*

Isi pesan singkat dari papanya. Lalu, Kania segera melihat pesan yang Zara kirimkan.

*Papa ingin kamu pulang ke rumah siang ini. Ada yang ingin dia bicarakan denganmu. Jika kamu menolak, siap-siap saja kehilangan barang-barang almarhumah mama mu.*

Kania menggenggam erat tangannya. Ia kesal dengan ancaman yang Zara berikan. Tapi, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti. Karena ia sangat menyayangi barang-barang milik mamanya. Walaupun hanya sebatas barang mati yang tidak akan bisa merubah keadaan. Tapi, semua itu adalah kenangan. Sebuah kenangan yang baginya mampu menggobat rindu.

*Aku akan datang.*

Kania membalas pesan itu dengan rasa sangat kesal.

“Kalian tenang saja. Aku pasti akan sesuai keinginan kalian. Dan, aku juga akan menyelesaikan semuanya hari ini.” Kania bicara pada dirinya sendiri di depan cermin.

“Ya, aku akan menyelesaikan semuanya hari ini. Dengan begitu, aku harap, tidak pernah bertemu dengan mereka semua lagi.”

Kania segera beranjak meninggalkan kamar. Tujuannya sekarang adalah kamar Brian. Ia harus bertemu Brian dan bicara dengan Brian soal bantuan yang ia minta sebelumnya.

Sampai di depan pintu kamar, ia kuatkan hati dan bulatkan tekad agar tangannya yakin untuk mengetuk pintu kamar tersebut. Belum sempat Kania mengetuk pintu kamar Brian, Brian sudah membuka pintu tersebut duluan. Alhasil, bukan pintu yang Kania ketuk melainkan, dada Brian.

Kania yang mengetuk pintu sambil menutup mata karena melawan rasa kesal pada Brian, merasa ada yang aneh dengan pintu yang ia ketuk. Seharusnya, jika ia mengetuk pintu sekuat itu, pasti terdengar bunyi. Tapi sekarang, tidak ada bunyi sama sekali.

Kania membuka mata untuk memastikan apa yang terjadi sebenarnya. Betapa kagetnya dia saat melihat, yang ia ketuk bukan pintu melainkan dada bidang milik Brian.

“Apakah aku mirip dengan pintu, sehingga kamu begitu bersemangat mengetuk dadaku sekuat mungkin?” tanya Brian sambil menatap mata Kania saat Kania membuka matanya.

"B–Brian. Ma–maaf, aku pikir … "

“Aku bukan pintu. Makanya kalo ngetuk pintu itu liat, bukan merem.”

“Ya mana aku tahu kalau kamu akan muncul sebelum pintunya aku ketuk. Itu salah kamu,” ucap Kania dengan suara pelan. Tapi Brian masih bisa mendengarkan apa yang Kania ucapkan dengan sangat baik.

“Apa kamu bilang? Itu salah aku? Kamu menyalahkan aku atas kesalahan yang kamu lakukan, Kania Hermansyah?”

"Ooo … tidak-tidak. Siapa yang menyalahkan kamu. Aku tidak bilang begitu, tuan … "

“Sekali lagi kamu panggil aku tuan muda. Maka aku akan mencium mu.” Brian memotong perkataan Kania dengan cepat. Membuat Kania kaget dan terdiam dengan kata-kata yang Brian ucapkan.

‘Ya Allah … makin hari, dia makin gak waras aja kayaknya. Makin suka bikin hati ini kesal setiap kali bertemu. Apakah aku yakin untuk minta bantuan sama dia? Tapi … kalau bukan padanya, pada siapa lagi aku harus minta tolong,’ kata Kania dalam hati, tanpa sadar, Brian memperhatikannya dengan seksama.

“Bicara dalam hati lagi?”

“Tidak. Siapa yang bicara dalam hati? Sok tahu kamu.”

“Hmmm … aku yang sok tahu atau kamu yang bohong?” tanya Brian menggoda Kania. Karena sekarang, Kania sudah terlihat merona dan salah tingkah untuk menutupi kebohongannya.

“Sudah, jangan banyak bicara. Aku ke sini ingin bicara padamu, Brian.”

“Mau bicara apa lagi? Bukankah setiap kita bertemu, kita pasti bicara?”

“Bukan itu maksudku. Aku datang ingin menagih bantuan yang sama-sama kita sepakati sebelumnya. Aku ingin kamu membantuku mengambil barang-barang milik almarhumah mamaku yang tertinggal di tempat aku tinggal sebelumnya. Aku harap, kamu tidak lupa.”

“Tentu saja aku tidak lupa, Kania. Tapi, apakah ingin bergerak secepat ini? Apakah ini tidak terlalu cepat untuk bertindak?”

“Brian, aku mohon jangan tunda lagi. Tolong. Aku mau barang-barang milik mama ku segera. Karena, jika terlalu lama pada mereka, mereka akan terus mengancam aku dengan barang-barang itu. Aku ingin lepas dari mereka, Brian. Aku mohon.”

Brian ikut merasakan kesedihan yang Kania rasakan dari nada bicara dan kata-kata yang Kania ucapkan. Ia ikut merasakan perih dihatinya saat ini. Entah mengapa, permohonan itu terasa sangat menyakitkan bagi Brian.

“Kania tenang. Jangan memohon seperti itu. Kamu tidak perlu memohon padaku, karena aku pasti akan membantu kamu sebisa mungkin.”

“Benarkah?” tanya Kania berbinar karena bahagia.

“Tentu saja. Ayo masuk! Kita bicarakan di dalam saja.”

Kania mengikuti apa yang Brian katakan. Masuk ke dalam kamar, lalu duduk di sofa tak jauh dari jendela.

“Katakan padaku, ada berapa banyak barang peninggalan almarhumah mamamu yang akan
kita jemput hari ini. Apakah aku perlu membawa banyak orang atau tidak?”

“Tidak perlu membawa orang banyak. Karena barang milik almarhumah mamaku tidak banyak. Hanya sedikit saja. Itu juga barang ringan semua.”

“Baiklah, kalau begitu, kita hanya perlu membawa pak Hadi saja sudah cukup.”

“Tidak perlu merepotkan pak Hadi, Brian. Aku saja sudah cukup untuk membawa barang-barang itu. Hanya saja, aku butuh kamu temani agar aku bisa mengambil barang-barang itu tanpa ada hambatan.”

“Tidak Kania. Kamu adalah nona Kania, istri tuan muda Aditama sekarang. Kamu tidak perlu mengerjakan semuanya sendirian lagi. Karena kamu sudah punya banyak pendukung di belakang mu. Pendukung yang siap melakukan semuanya untuk kamu. Jadi … jangan takut pada orang yang dulu pernah menyakiti kamu. Karena sekarang, siapa yang berani menyakiti kamu, maka akan berhadapan dengan masalah besar.”

 


Episode Selanjutnya
episode sebelumnya