Episode 34 Perjodohan Membawa Bahagia
"B–Brian. Tidak perlu berlebihan. Kita ini … "
“Kania, jangan lupa apa yang aku katakan sebelumnya. Aku akan meyakinkan kamu, kalau aku ini pantas menjadi pendamping kamu yang sebenarnya. Bukan hanya sebatas sandiwara saja. Aku juga akan buktikan padamu, kalau sandiwara itu akan berubah menjadi nyata.”
“Ya sudah, tinggalkan saja dulu soal itu. Yang terpenting soal ini, kapan kita akan berangkat ke rumah papamu?” tanya Brian mengubah pokok pembahasan.
“Siang ini.”
“Siang ini?”
“Ya, siang ini. Mereka minta aku datang ke rumah siang ini. Katanya, ada yang ingin mereka bicarakan dengan aku.”
“Baiklah. Kita akan pergi ke kediaman papamu siang ini. Aku akan minta bu Ninik menyiapkan semuanya untukmu. Kamu akan pergi dengan penampilan yang paling sempurna agar mereka tahu siapa kamu sekarang. Supaya mereka tidak berani macam-macam lagi padamu.”
Selesai bicara, Brian langsung bangun dari duduknya. Ia tidak menunggu Kania memberikan jawaban terlebih dahulu.
“Brian, kamu mau ke mana?” tanya Kania saat melihat Brian berjalan menuju pintu.
“Melakukan apa yang harus aku lakukan. Kamu bisa tunggu di kamar ini, atau kembali ke kamarmu terlebih dahulu.”
"Ta … " Kania tidak sempat mengucapkan kata-katanya lagi. Karena Brian keburu menutup pintu kamar setelah ia mengucapkan kata-katanya barusan.
“Tapi aku tidak setuju, kamu melakukan hal itu.” Kania melanjutkan kata-katanya, walau ia tahu, itu tidak ada gunanya lagi. Karena lawan bicaranya, sudah tidak ada di sini lagi.
“Huh. Sebaiknya aku kembali ke kamarku saja. Tidak ada gunanya aku berada di kamar ini,” ucap Kania sambil bangun dari duduknya.
Baru lima menit ia berada di kamarnya, pintu kamar tersebut sudah di ketu oleh seseorang dari luar. Ia yang wedang berbaring di atas kasur, harus bangun dengan malas untuk membuka pintu kamar tersebut.
“Iya.” Kania berucap sambil memperlihatkan wajahnya dari daun pintu yang ia buka perlahan.
“Maaf mengganggu, nona Kania. Ibu di minta tuan muda untuk menyiapkan nona Kania sekarang juga.”
“Ini, ibu bawakan baju yang harus nona Kania kenakan,” ucap bu Ninik sambil memperlihatkan apa yang ia bawa sekarang.
“Apa? Brian ingin aku bersiap-siap sekarang, bu Ninik?”
“Iya nona Kania.”
“Tapi bu Ninik. Kami berangkatnya nanti siang. Kenapa aku harus bersiap-siap sekarang. Ini masih jam sepuluh pagi lho.”
“Tuan muda bilang, ia ingin mengajak nona Kania ke suatu tempat terlebih dahulu sebelum berangkat ke rumah orang tua nona Kania.”
“Ya Allah.”
“Ya sudah kalo gitu. Terima kasih sudah mengantarkan bajunya bu Ninik,” ucap Kania sambil menerima baju yang bu Ninik ulurkan.
“Sama-sama nona Kania. Ibu tunggu nona Kania di kamar tamu untuk di rias.”
“Aduh … sepertinya tidak perlu bu Ninik. Aku akan merias sendiri saja. Lagian, kita cuma jalan ke rumah papaku, bukan ke pesta.”
“Tapi nona Kania, ini permintaan tuan muda. Sebaiknya, ikuti saja apa yang tuan muda inginkan agar tidak terjadi keributan nantinya.”
‘Ya Allah … itu laki-laki ternyata emang biangnya masalah dan tukang bikin onar. Pantas saja ia suka bikin rusuh setiap kali berbicara denganku. Ternyata, itu emang sudah menjadi bagian dari hobinya,’ ucap Kania dalam hati.
Melihat Kania diam mematung, bu Ninik segera memanggilnya. “Nona Kania.”
Panggilan itu menyadarkan Kania dari lamunannya tentang Brian. “Iy–iya bu Ninik. Ada apa?”
“Yah … kok malah nanya ke ibu sih, nona. Harusnya itu, ibu yang nanya ke nona Kania. Ada apa? Kok malah diam mematung?”
“He he … maaf bu Ninik. Ada sedikit pikiran yang mengganjal. Tapi, tidak ada masalah serius,” ucap Kania sambil nyengir tidak enak.
“Oh, ya udah kalo gitu, ibu harus kembali ke bawah. Nona Kania ibu tunggu di kamar tamu jika sudah selesai ganti baju. Atau … bagaimana jika ibu saja yang datang ke kamar nona Kania untuk mendandani nona?”
“Tidak perlu, tidak perlu repot-repot bu Ninik. Biar aku saja yang datang ke kamar tamu nanti setelah ganti baju.”
“Baiklah kalau begitu, ibu turun dulu, nona Kania. Permisi.”
“Iya, bu Ninik.”
Kania melepas napas berat setelah melihat bu Ninik menjauh dari kamarnya. Lalu, ia masuk kembali sambil membawa baju yang bu Ninik berikan barusan.
“Ada-ada saja, si Brian. Masa semuanya ia sediakan. Tapi … dari mana datangnya baju ini, ya? Jangan bilang ini baju perempuan lain,” kata Kania sambil melihat baju yang ada di tangannya.
“Jika benar ini baju perempuan lain, jangan harap aku sudi memakainya. Bukan soal bekas atau baru, tapi soal harga diri,” kata Kania lagi sambil menepuk pelan baju tersebut.
“Aduh … aku kok malah berpikiran yang tidak-tidak sih.” Kania berucap sambil memukul pelan kepalanya.
Untuk tidak terlalu memikirkan apa yang ada dalam benaknya, Kania langsung membuka baju tersebut untuk melihat dengan jelas bentuk dari baju yang berwarna hijau tua ini. Mata Kania membulat saat melihat baju tersebut setelah ia buka dari lipatan.
“Wah … cantik sekali baju ini. Ini mah namanya dress. Dress yang sangat cantik dan elegan. Walau dibuat dengan bentuk yang sederhana, tapi modelnya sangat bagus sekali. Aku sangat suka,” kata Kania sambil terus melihat dress dengan tangan pendek tersebut.
“Tunggu! Aku penasaran, ini dress sebenarnya milik siapa ya? Apa benar, ini dress bekas dari perempuan yang pernah datang ke sini?” tanya Kania sambil terus memperhatikan dress tersebut tanpa ia sadari, Brian sudah ada di belakangnya sekarang.
“Enak aja dress bekas.”
Kata-kata itu membuat Kania sangat kaget. Sontak saja, ia langsung memutar tubuhnya dengan cepat, untuk melihat orang yang ada di belakangnya saat ini.
“B–Brian.”
“Kamu pikir aku gak punya uang apa untuk beli dress buat kamu, sampai aku harus berikan kamu dress bekas perempuan lain. Jangankan satu dress, satu butik aku mampu belikan dress untuk kamu, Kania.”
“Bu–bukan itu maksudku. Ya Allah, kamu kenapa datang ke kamarku sekarang, Brian?”
“Jangan mengalihkan pokok pembicaraan kita, Kania Hermansyah. Aku tidak suka itu.”
“Lalu?” tanya Kania dengan tenang.
“Kenapa kamu bilang aku memberikan kamu dress bekas perempuan lain? Apa dress itu terlalu jelek di mata kamu? Atau …”
“Tidak-tidak. Dress nya bagus. Sangat bagus.”
“Lalu? Apa alasannya sekarang?”
“Aku hanya penasaran dengan dress yang datang tiba-tiba ini. Tidak mungkin kamu beli dress ini secara online, kan? Karena dengan waktu sesingkat itu, mana mungkin dress ini bisa ada di sini.”
“Sikap waspada yang luar biasa dan pemikiran yang tajam.”
“Kamu benar. Dress itu tidak aku beli secara online. Mana mungkin aku beli dengan waktu yang sesingkat itu bisa nyampai.”