Jumat, 18 Maret 2022

Episode 35 Perjodohan Membawa Bahagia

 Episode 35 Perjodohan Membawa Bahagia

Perjodohan Membawa Bahagia

“Kamu benar. Dress itu tidak aku beli secara online. Mana mungkin aku beli dengan waktu yang sesingkat itu bisa nyampai.”
“Dress itu aku ambil dari kamar khusus milik almarhumah mama ku.”

“Tapi kamu tenang saja. Itu bukan dress bekas kok, Kania. Dress itu masih baru, karena belum pernah di pakai oleh siapapun. Dan yang paling penting, itu dress bukan milik mama ku.”

Kania dibuat bingung dengan penjelasan yang Brian berikan. Ia melihat mata Brian untuk memahami apa yang laki-laki itu ucapkan barusan.

“Maksud kamu bagaimana sih sebenarnya? Kamu bilang, dress ini milik almarhumah mama kamu. Tapi, ini bukan dress miliknya. Lalu, ini dress milik siapa?”

Brian tersenyum melihat wajah bingung yang Kania perlihatkan. “Kamu lucu sekali dengan wajah penasaran seperti itu, Kania.”

“Aku serius, Brian. Jangan bicara berbelit-belit dengan ku. Karena aku memahami apa yang kamu bicarakan, dan yang paling penting, aku paling tidak suka orang yang bicara berbelit-belit padaku.”

“Tingkat kewaspadaan mu terhadap orang lain itu terlalu tinggi, Kania. Makanya kamu sulit memahami dan mempercayai apa yang orang lain katakan.”

“Terserah kamu mau bilang apa. Yang jelas, aku tidak akan memakai dress itu jika aku tidak tahu dengan jelas siapa pemiliknya.”

“Pemilik sebenarnya adalah … aku.” Brian bicara mantap sambil menunjuk dirinya.

“Kamu?”
“Jangan bercanda. Tidak mungkin kamu memakai dress perempuan kan Brian.”
"Tunggu! Jangan bilang kamu … "

“Hei! Jangan berpikir yang tidak-tidak, Kania. Aku ini laki-laki normal tahu gak. Kamu jangan banyak bicara atau aku akan mencobanya.”

Seketika, wajah Kania mendadak merona karena kata-kata itu. Entah kenapa, saat kata-kata itu menyentuh telinganya, Kania langsung membayangkan hal yang tidak seharusnya ia bayangkan.

"Kamu … "

"Cukup Brian! Jika tidak ingin menjelaskan soal dress ini, sebaiknya kamu keluar saja sekarang. Karena aku … "

“Kamu mengusirku, Kania?”
“Ya Tuhan … apakah ini nyata? Kamu mengusir aku dari kamarku sendiri.”

“Hei! Ini kamarku. Meskipun aku hanya numpang, tapi tetap saja. Ini kamarku dan aku berhak mengusir kamu.”

“Kamu orang pertama yang berani mengusir aku di tempatku sendiri. Ya Tuhan … aku salut sama kamu.”
“Tapi … itu juga wajar sih, Kania. Karena kamu adalah istriku. Kamu juga punya hak atas apa yang aku miliki,” ucap Brian sambil tersenyum manis.

“Terserah kamu mau bilang apa. Sekarang, sebaiknya kamu keluar, karena aku ingin ganti baju.”

“Kalau begitu, sebaiknya aku tetap saja di sini. Aku akan menjagamu ganti baju.”

“Brian! Jangan main-main kamu sama aku ya.” Kania terlihat kesal sekaligus senang. Entah apa yang ada dalam hati dan pikirannya. Yang jelas, rasa senang itu muncul dengan sendiri tanpa bisa ia cegah.

“Ya Tuhan … tidak perlu berteriak keras seperti itu padaku, Kania. Tidak ada salahnya aku tetap di sini, bukan? Lagian, kalau aku jagain kamu itu wajar dong ya. Karena kamu adalah istriku.”

"Berhenti membual dan mengatakan hal yang tidak penting, Tu … " Kania segera menghentikan kata-katanya. Ia menatap Brian yang sedang menantikan ia selesai bicara.

"Ehem … hem-hem-hem … " Brian tersenyum manis sambil membalas tatapan Kania.

“Kenapa diam, Nona Kania? Kenapa tidak dilanjutkan kata-katanya?” tanya Brian dengan nada menggoda.

“Brian. Aku serius sekarang. Keluar dari kamarku karena aku ingin siap-siap sekarang juga. Kasihan bu Ninik yang sudah menunggu aku di kamar tamu terlalu lama.”
“Lagipula, kamu bilang ingin pergi ke suatu tempat sebelum kita ke rumah papaku, bukan? Sebaiknya, kita bersiap-siap sekarang dari pada kita telat nantinya.”

“Apa yang kamu katakan itu masuk akal. Tapi, aku merasa kamu hanya memberikan alasan saja padaku.”

“Brian!” Kania sangat kesal sekarang.

“Tapi … ya sudahlah, aku keluar saja sekarang. Permisi nona Kania. Dandan yang cantik, dan kita lihat, bagaimana reaksi keluarga kamu nantinya.” Brian berucap sambil beranjak dari tempatnya.

Baru beberapa langkah berjalan untuk meninggalkan kamar Kania, ia kembali menghentikan langkahnya. Lalu, memutar tubuh untuk kembali melihat Kania yang sedang berdiri tegak sambil melihat kepergiannya.

“Aku lupa menjelaskan soal dress itu. Dress itu bukan milik siapa-siapa, melainkan milik kamu. Dress itu adalah dress buatan tangan almarhumah mamaku yang dihadiahkan padaku, untuk aku berikan pada istriku.”

“Aku harap kamu mau menerima barang pemberian almarhumah mamaku dengan senang hati. Aku juga berharap, kamu mau memakainya, Kania.”

“Ya sudah, aku tinggal dulu.”

Brian kembali melanjutkan langkah untuk meninggalkan kamar tersebut. Sedangkan Kania, ia mengalihkan pandangannya pada dress yang berada disampingnya setelah Brian menutup pintu kamar tersebut.

“Jadi ini dress buatan mamanya?” tanya Kania sambil mengangkat dress tersebut.

“Ini barang yang sangat berharga. Mana mungkin aku tidak menerimanya dengan senang hati.”

“Tapi … kelihatannya, Brian sangat menyayangi dress ini. Jika benar begitu, maka aku akan meminjamkannya saja. Tidak untuk aku miliki seutuhnya jika ia masih sayang.” Kania bicara pada dirinya sendiri.

“Brian juga terlihat sangat merindukan almarhumah mamanya. Aku bisa merasakan dan melihat dengan jelas dari tatapan mata dan nada bicara yang ia ucapkan.”

Jelas saja Kania bisa merasakan hal itu dari Brian. Karena dirinya dan Brian hampir sama. Mereka sama-sama kehilangan sosok manusia yang sangat mereka sayangi. Dan Kania juga merasakan hal yang sama. Yaitu, merindukan almarhumah mamanya yang telah lama tiada.

Kania menatap dirinya di depan cermin. Dress hijau tua itu terlihat sangat cocok di tubuhnya.
Itu seakan-akan dibuat memang untuk dia.

“Ya Allah, pas sekali padaku. Tidak longgar ataupun ketat di tubuh ini. Dan yang paling penting, ini … indah sekali,” ucap Kania sambil menggangumi dirinya sendiri.

Baru saja ia ingin beranjak meninggalkan cermin, pintu kamarnya sudah diketuk oleh seseorang dari luar.
“Tunggu sebentar,” ucap Kania sambil beranjak menuju pintu.

Saat pintu terbuka, bu Ninik terlihat sedang berdiri tegak sambil membawa boks kecil di tangannya. Kania tersenyum canggung pada bu Ninik, karena ia merasa tidak enak hati pada perempuan paruh baya itu. Ia sudah membuat wanita paruh baya itu menunggu terlalu lama.

“Bu Ninik, maaf. Aku baru saja ingin turun untuk bertemu bu Ninik. Ada beberapa kerjaan yang membuat aku terlambat mengganti baju. Makanya, aku terlambat turun,” ucap Kania berusaha menjelaskan dengan seksama.

“Nona Kania tidak perlu minta maaf. Ibu tahu kalau nona Kania sedang sibuk, makanya, ibu langsung saja ke atas untuk mendandani nona.”

“Ya sudah, bisakah ibu masuk dan langsung merias wajah nona sekarang juga? Karena tuan muda sudah menunggu nona di bawah.”

“Apa! Brian sudah menunggu aku di bawah?” tanya Kania terlihat kaget.

“Iya nona. Tuan muda sudah siap.”

 

Episode Selanjutnya
episode sebelumnya