Episode 37 Perjodohan Membawa Bahagia
"Kamu … " Kania tetap tidak bisa menyelesaikan kata-katanya. Hanya mata yang terus tertuju pada kaki membuat Brian mengerti apa yang ingin Kania katakan.
Tapi sayangnya, sifat usil Brian tiba-tiba muncul. Meskipun ia susah tahu apa yang ingin Kania katakan, ia malahan semakin berpura-pura tidak tahu dan semakin menunjukkan rasa penasaran dengan kelanjutan kata-kata yang akan Kania ucapkan.
“Apa sih yang ingin kamu katakan, Kania?” tanya Brian pura-pura bego.
“Ya Allah, haruskah aku bilang padamu dengan suara keras. Kamu pergi dengan cara seperti ini atau dengan biasanya?”
“Hah!” Brian memperlihatkan wajah yang sangat panik sekarang. Wajah panik itu membuat Kania ikut merasakan apa yang Brian rasakan.
Beberapa saat kemudian, setelah melihat wajah panik Kania, Brian malah tertawa lepas. Hal itu membuat Kania merasa sangat bingung sekaligus kesal.
“Kania sayang, aku gak akan menggunakan kursi roda lagi mulai detik ini. Kamu tidak usah cemas dengan semua penghuni rumah ini. Mereka semuanya tahu kalau aku ini normal, tidak cacat.”
“Seperti yang telah aku katakan padamu sebelumnya, aku menggunakan kursi roda dan topeng hitam itu hanya untuk menghindari dari kejaran gadis-gadis licik yang hanya ingin memanfaatkan aku saja.”
Kania tidak menjawab. Ia merasakan rasa kecewa itu kembali menyelimuti hatinya sekarang. Tapi, sayangnya, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain mendengar dan menerima saja apa yang telah terjadi.
Karena rasa kesal yang bercampur kecewa itu tidak bisa ia hilangkan, Kania berinisiatif untuk meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Ia berjalan cepat melewati Brian yang masih diam di tepat sebelumnya.
“Kania. Kamu mau ke mana?” tanya Brian cemas. Ia sedikit takut apa yang ia lakukan barusan itu kelewatan dan Kania akan marah padanya.
“Pergi sekarang agar tidak terlambat,” ucap Kania dengan nada yang terdengar sangat kesal.
“Ya sudah. Ayo berangkat sekarang.”
Tidak ada jawaban dari Kania. Hanya langkah kaki yang terasa semakin di percepat saja yang bisa dirasakan Brian sekarang. Brian enggan berkomentar karena ia tahu Kania sedang kesal padanya. Untuk tidak menambah kekesalan Kania lagi, ia hanya bisa mengikuti saja apa yang Kania lakukan.
Ketika mereka ingin melewati pintu, Johan, pak Hadi dan Ikhsan segera beranjak agar tidak mendapatkan amarah dari tuan muda mereka, karena mereka telah lancang menjadi penonton sejak tadi.
____
Tidak ada yang terucap selama mereka dalam perjalanan. Keduanya saling diam dengan pikiran masing-masing. Pak Hadi yang duduk di samping pak sopir, juga melakukan hal yang sama. Diam dengan pikiran masing-masing.
Mobil terus melaju dengan kecepatan sedang melintasi jalan raya. Kemudian, saat sampai di sebuah persimpangan, mobil itupun menepi.
“Kenapa berhenti di sini?” tanya Kania penasaran.
“Pak Hadi akan membelikan sedikit buah tangan untuk keluarga mu. Makanya kita berhenti.”
“Apakah itu perlu, Brian?”
“Sebenarnya aku tidak tahu itu perlu atau tidak. Tapi, sebagai menantu yang baik, aku harus melakukan itu agar nama baikmu tetap terjaga,” kata Brian sambil senyum.
Meskipun Kania tidak memahami apa yang Brian katakan, ia terpaksa hanya diam saja. Karena ia tidak ingin menciptakan perdebatan lagi sekarang.
Sebenarnya, Kania merasa penasaran dengan tempat yang ingin Brian ajak pergi sebelum ke rumah papanya. Tapi sekarang, ia malah merasa kecewa saat melihat tempat itu adalah toko buah.
‘Kania-Kania. Sebenarnya apa sih yang kamu harapkan dari Brian ini? Kamu ingin dia ajak kamu ke tempat spesial, begitu? Huh, mimpi saja kamu. Sudah! Jangan kecewa lagi,’ kata Kania dalam hati. Ia berusaha menguatkan dan menghilangkan rasa kecewa yang ada dalam hatinya.
Lima menit kemudian, pak Hadi kembali dengan membawakan dua kantong putih buah-buah segar. Mobil kembali berjalan melintasi jalan raya dengan kecepatan sedang.
Kurang dari sepuluh menit kemudian, mobil itu kembali berhenti. Kali ini, mobil tidak berhenti di jalan raya melainkan di sebuah toko emas yang besar dan megah. Di samping toko itu berdiri sebuah rumah makan yang tak kalah besar dan megahnya.
“Ayo turun!” Brian mengajak Kania turun setelah pak sopir membuka pintu mobilnya.
“Turun? Ngapain?” tanya Kania penasaran.
“Ikut saja. Maka kamu akan tahu kita akan ngapain aja.”
Kania mengikuti apa yang Brian katakan. Ia tutun setelah Brian turun dari mobil tersebut. Matanya terfokus bukan pada toko emas tempat di mana mobil mereka berhenti, melainkan, di rumah makan yang terlihat berbeda dari yang pernah ia lihat pada umumnya.
Ada yang menarik perhatian Kania dari rumah makan yang besar dan megah ini. Rumah makan itu sepertinya di desain secara khusus. Tampilan di dalam rumah makan itu terlihat sangat unik. Itu bisa Kania lihat saat mereka berjalan semakin mendekat.
“Ada apa? Apa ada yang salah?” tanya Brian ketika menyadari apa yang Kania perhatikan.
“Tidak ada. Hanya sedikit berbeda dari biasanya saja.”
“Oh.” Brian menjawab singkat sambil mempercepat langkahnya masuk ke dalam toko emas tersebut.
Kania hanya bisa mengikuti langkah Brian saja. Saat Brian mempercepat langkah, Kania terpaksa melakukan hal yang sama. Mereka pun masuk ke dalam toko emas tersebut.
Sampai di dalam, Brian di sambut dengan sangat ramah oleh pelayan toko. Maklum, kharisma sebagai tuan muda sangat terlihat dengan jelas di wajahnya. Meskipun tidak banyak yang tahu siapa dia, namun tetap saja, kalau sudah punya kharisma sebagai orang terhormat, tetap saja di hormati.
“Selamat datang tuan muda, nona. Apa yang bisa kami bantu untuk tuan muda dan nona?” tanya pelayan toko tersebut dengan ramah dan penuh hormat.
“Di mana manajer toko ini? Aku ingin bertemu langsung dengan manajernya,” ucap Brian dengan nada angkuh. Biasa, dia terlahir sebagai orang kaya. Wajar kalau punya sifat seperti itu.
“Tuan muda ini siapa ya? Manajer toko kami tidak sembarangan bisa temui orang soalnya,” kata pelayan tersebut sedikit kesal.
Kebetulan saat itu, manajer toko turun dari lantai atas untuk melihat kerjaan bawahannya. Ia yang melihat Brian, langsung bergegas menghampiri Brian dengan perasaan gugup.
“Tuan muda maaf, saya tidak menyambut kedatangan tuan muda karena saya tidak tahu kalau tuan muda sudah sampai.” Manajer tersebut berucap dengan nada menyesal.
Manajer tersebut memberi isyarat menyingkir pada pelayan yang sebelumnya menyambut Brian. Dengan rasa penasaran, pelayan itu melakukan apa yang atasannya minta.
Setelah pelayan itu menjauh, manajer toko kembali minta maaf atas apa yang bawahannya lakukan. “Maafkan pelayan itu yang tidak menyambut tuan muda dengan baik.”
“Tidak masalah. Aku tidak terlalu butuh sambutan.”
“Oh ya, aku datang untuk mengambil apa yang aku pesankan padamu sebelumnya. Apakah pesanan itu sudah datang?”
“Sudah tuan muda. Pesanan itu baru datang tadi pagi. Rencananya, saya akan mengantarkan sendiri nanti sore ke vila tuan muda.”