Jumat, 18 Maret 2022

Episode 38 Perjodohan Membawa Bahagia

 Episode 38 Perjodohan Membawa Bahagia

 

 

Perjodohan Membawa Bahagia

“Sudah tuan muda. Pesanan itu baru datang tadi pagi. Rencananya, saya akan mengantarkan sendiri nanti sore ke vila tuan muda. Tapi … tuan muda malah datang sendiri ke sini untuk mengambilnya.”

“Tidak perlu sungkan karena aku memang ingin segera melihat barang yang aku pesan itu. Mana barangnya?” Brian bertanya dengan nada tak sabaran.

“Tunggu sebentar tuan muda. Saya akan ambilkan dulu barangnya. Silahkan tuan muda duduk terlebih dahulu.”

“Baiklah. Ambilkan segera! Karena aku masih punya banyak urusan lagi setelah ini.”

“Baik tuan muda. Saya permisi.”

Manajer toko tersebut bergegas meninggalkan Brian untuk mengambil barang yang Brian inginkan. Sementara Brian dan Kania, duduk di sofa tunggu yang ada di sana.

“Brian, barang apa sih yang kamu pesan sebenarnya?” tanya Kania tidak bisa menahan bibir untuk tidak bicara.

“Nanti juga kamu akan tahu.”

“Kamu jangan aneh-aneh ya, Brian.” Kania bicara dengan nada penuh ancaman.

“Hei! Apa maksud dari kata-kata yang kamu ucapkan itu, hmm? Apa yang kamu maksud dengan kata aneh-aneh?” Brian bertanya sambil menatap Kania.

“Ya aneh-aneh. Seperti … tindakan, kriminal.”

“Ya Tuhan Kania … di benakmu itu ada apa sih sebenarnya? Ngapain mikirnya sejauh itu, hah?”
“Lihat wajah ini baik-baik! Apa wajah ganteng begini ada tampang penjahat?” Brian menunjuk wajahnya, kemudian, ia semakin mendekat ke arah Kania.

“Brian, kamu apa-apaan sih?” Kania berucap dengan kesal sambil berusaha menghindar.

“Ehem … maaf tuan muda. Ini barangnya,” ucap manajer tersebut dengan berat hati.

Seketika, Brian tersadar karena suara dari manajer toko tersebut. Ia menoleh dengan tatapan tajam. Melihat dengan kesal ke arah manajer tersebut.

Brian bangun, lalu menerima barang yang manajer itu berikan. Itu adalah sebuah kotak kayu yang bermotif unik dan terlihat begitu indah dan menakjubkan. Brian membuka kotak tersebut, melihat isinya, kemudian menutup kembali kotak itu.

“Terima kasih. Pesanan ini sangat memuaskan. Sesuai dengan apa yang aku harapkan.”

“Sama-sama tuan muda. Syukurlah kalo tuan muda suka. Saya ikut senang.” Manajer itu berucap dengan perasaan lega.

“Ya sudah. Aku permisi.”
“Kania, ayo!”

“Iya tuan muda.”
“Oh ya, itu pacarnya tuan muda?” tanya manajer itu memberanikan diri sambil melihat Kania.

“Bukan.”

“Oh.” Manajer itu berucap singkat dengan perasaan takut. Karena ia takut kalau apa yang ia bicarakan barusan merusak mood Brian.

“Dia istriku,” ucap Brian sambil menggandeng tangan Kania. Kemudian tersenyum manis sambil menoleh ke arah Kania. Lalu, ia dan Kania sama-sama melangkah beranjak untuk meninggalkan toko tersebut.

“Is–istri?” Manajer toko itu berucap sambil terus menatap Brian dan Kania yang keluar dari toko.

Pelayan toko menghampiri manajer itu setelah Brian dan Kania tak terlihat lagi.
“Pak Manajer, siapa dia?” tanya pelayan itu dengan nada penasaran.

“Dia tuan muda Aditama. Pemilik toko ini.”

“Apa! Dia tuan muda Brian?” Pelayan itu sangat kaget bukan kepalang.

“Iya. Dia Brian Aditama. Untung saja dia tidak mempermasalahkan kesalahan yang kamu perbuat. Jika tidak, bukan hanya kamu saja yang akan dapat masalah hari ini. Tapi … aku juga.”

"Ma–maaf kan saya pak Manajer. Saya tidak tahu kalau dia adalah tuan muda Brian. Karena menurut kabar yang saya dengar, tuan muda Brian itu cacat wajah dan lumpuh. Tapi tadi … "

“Sudah. Jangan banyak bicara jika kamu ingin bekerja lebih lama lagi di sini. Tutup mulut rapat-rapat, dan lupakan kejadian barusan itu.”

“Ba–baik pak Manajer. Sekali lagi maafkan saya.”

“Iya. Lupakan saja. Aku harap kamu tidak akan mengulangi lagi kesalahan itu pada siapapun. Untung saja dia datang bersama wanita hari ini. Jika ia datang bersama asisten pribadinya, kamu bisa tamat.”

“Iy–iya pak manajer. Maafkan saya. Saja janji tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi.”

_____

Kania dan Brian berjalan beriringan dengan tangan yang masih bergandengan. Mereka tidak langsung kembali ke mobil melainkan, berjalan ke arah samping. Hal itu membuat Kania yang sudah bingung, semakin kebingungan.

“Brian, kita mau ke mana sih sebenarnya?”

“Jangan banyak tanya. Ikut saja, maka kamu akan tahu kita akan ke mana.”

“Kalau aku ikut-ikut melulu, nanti, kalau kamu ajak aku nyemplung kali, aku ikut juga? Iya, gitu?” Kania terlihat sangat kesal.

Melihat Kania yang cemberut, Brian malah tertawa. Ia merasa Kania sangat lucu dengan wajah cemberutnya itu.

"Ha ha ha … "
“Kamu tenang aja, nona Kania Hermansyah. Aku gak akan ajak kamu nyemplung ke kali. Karena aku masih ingin hidup lama bersamamu.”

Kania tidak menjawab. Ia hanya bisa menarik napas dalam-dalam, lalu melepaskannya secara perlahan.

‘Ya Allah, ini laki-laki emang gak ada habisnya bikin hatiku kesal. Kalau aja bisa, udah aku pukul kali itu wajah biar dia gak ngeselin lagi,’ ucap Kania dalam hati.

"Mulai-mulai … "
“Pasti bicara dalam hati itu, iya kan?”

“Gak.”

“Iya.”

“Enggak.”

“Iya. Ngaku kamu!”

“Nggak.”

Kania semakin kesal. Ia menatap Brian dengan tatapan tajam seakan ingin menelan Brian bulat-bulat. Sebaliknya, melihat Kania yang begitu kesal, Brian malah semakin bahagia.

“Jika kamu semakin mengesalkan. Maka aku akan kembali ke mobil sekarang juga.” Kania berucap dengan nada sangat serius.

“Baiklah-baiklah. Aku minta maaf. Ayo masuk! Maka kamu akan tahu apa yang sudah aku siapkan untukmu di dalam.”

Kania masih terlihat enggan untuk melangkah. Itu terlihat dari dia yang diam saja tanpa berniat untuk mendengarkan apa yang Brian katakan.

“Kania, ayo!”
“Waktu kita tidak banyak. Sebentar lagi jam makan siang. Bukankah kita harus ke rumah papamu saat jam makan siang tiba?”

Mendengar ucapan itu, mau tidak mau, Kania terpaksa mengikuti apa yang Brian katakan. Masuk ke dalam rumah makan unik yang memang menarik perhatian dia sebelumnya.

Kania berjalan dengan langkah lambat mengikuti langkah Brian dari belakang. Ia melihat sekeliling rumah makan itu, tidak ada tamu lain selain mereka.

Satu hal yang sangat membingungkan hati Kania. Rumah makan besar yang seharusnya ramai pengunjung, tapi sekarang, tidak ada satupun yang datang selain mereka berdua.

"Brian … "

“Jangan bertanya. Ikuti saja jika kamu ingin tau.”

'Ya Allah … " Kania hanya bisa kesal dalam hati sambil terus mengikuti langkah Brian yang terus berjalan masuk ke dalam rumah makan tersebut lebih dalam.

 

Episode Selanjutnya
episode sebelumnya