Episode 40 Perjodohan Membawa Bahagia
Kania ingin menolak, tapi merasa tidak enak dengan wajah Brian yang terlihat tulus. Ia pun mengiyakan apa yang Brian katakan.
“Kalau begitu, biar aku saja yang pakaikan kalungnya,” kata Brian langsung mengeluarkan kalung tersebut dari kotak kayu.
"Ti … " Kania ingin mencegah, tapi terlambat. Brian sudah bagun dari duduknya. Dan sudah berjalan mendekat untuk memakaikan kalung ke leher Kania.
“Dilarang menolak nona Kania,” ucap Brian sambil tersenyum.
Lalu, ia meminta Kania memegang rambut Kania yang tergerai bebas. Kania terpaksa melakukan hal itu, karena ia tidak ingin terjadi perdebatan lagi di antara mereka berdua.
Brian memasang kalung dengan sangat hati-hati ke leher Kania. Anehnya, Kania merasa sangat bahagia dengan apa yang Brian lakukan itu. Ia menikmati suasana romantis yang terjadi begitu saja memenuhi hatinya.
Namun, beberapa detik kemudian, saat kalung sudah terpasang dengan sempurna di leher Kania. Sebuah kecupan hangat mendarat ke leher tersebut tanpa aba-aba. Hal itu membuat Kania kaget bukan kepalang.
Dada Kania berdetak kencang. Wajahnya merah merona. Untuk sesaat, ia terdiam mematung. Sampai akhirnya, ia berhasil menyadarkan dirinya sendiri agar tidak terhanyut dalam suasana yang melambungkan hatinya ke awan.
“Brian! Kamu apa-apaan sih?” Kania berusaha bersikap tegas walau pada dasarnya, ia sedang berusaha melawan hati yang sangat amat bahagia.
“Aku? Kenapa? Bukankah wajar kalau aku melakukan hal itu setelah memasang kalung ke leher istriku.”
“Wajar apanya? Kamu gila ya? Ini itu tempat umum. Bukan tempat pribadi atau rumah kamu.”
“Oh, kalo gitu, kalo di rumah boleh? Iya?”
“Tidak. Jangan banyak omong dan jangan berpikir yang macam-macam.”
Belum sempat Brian menjawab apa yang Kania katakan, suasana bahagia dan romantis merekapun harus berakhir dengan kedatangan pak Hadi yang tiba-tiba menerobos masuk ke taman rumah makan tersebut.
“Ma–maaf … maafkan saya tuan muda. Saya telah merusak suasana kencan tuan muda dan nona Kania.”
“Pak Hadi. Ada apa? Kenapa tiba-tiba ke sini?” tanya Kania merasa cemas.
"Ini … ini … " Pak Hati terlihat takut-takut untuk bicara. Hal itu semakin menambah kekesalan di hati Brian.
“Katakan saja apa yang ingin pak Hadi katakan. Kenapa begitu lama hanya ingin bicara,” kata Brian dengan nada tinggi.
“Brian jangan begitu. Pak Hadi pasti sedang merasa tidak enak hati padamu. Makanya, ia sulit untuk bicara. Jadi, jangan tekan dia lagi.” Kania berucap sambil memegang tangan Brian.
“Maaf tuan muda. Saya sudah lancang merusak suasana. Saya datang untuk menyampaikan pesan tuan David untuk tuan muda. Tuan David ingin tuan muda mengangkat panggilan darinya.”
“Kalau aku tidak mau, dia mau apa?” tanya Brian dengan kesal.
“Maaf tuan muda. Saya tidak tahu, karena saya hanya pesuruh yang hanya bisa mengikuti apa yang majikan saya katakan.”
“Brian, mungkin ada yang sangat penting yang ingin papamu bicarakan. Sebaiknya, kamu ikuti saja apa yang ia katakan.”
“Bikin kesal saja. Aku tidak ingin menghubungi dia. Biarkan saja dia bicara lewat pak Hadi jika memang perlu.”
Tiba-tiba, ponsel pak Hadi berbunyi, menandakan seseorang sedang menghubungi pak Hadi sekarang. Dengan gerak cepat, pak Hadi segera mengeluarkan ponsel yang ia simpan di saku celananya.
“Ha–halo tuan David.”
“Apa yang kamu kerjakan sekarang. Kenapa dia masih tidak mau mengangkat panggilan dariku?” tanya Davidson dari seberang sana.
“Saya sedang bersama tuan muda, tuan David. Maafkan saya, dan maafkan tuan muda juga. Ini bukan salah tuan muda, tapi ini salah saya. Saya baru saja sampai ke tempat tuan muda, tuan David.”
“Kalau begitu, berikan ponsel kamu padanya! Aku ingin bicara langsung dengan dia.”
“Baik tuan David. Akan langsung saya serahkan.”
“Tuan muda.” Pak Hadi langsung melihat Brian. Karena sejak awal ia mengangkat panggilan tersebut, panggilan itu ia lodspeaker kan agar Brian bisa mendengarkan apa yang papanya katakan.
Brian menerima ponsel yang pak Hadi ulurkan.
Dengan malas, ia berucap. “Ada apa?”
“Kamu itu ngapain aja sih, Brian. Kenapa panggilan dari papa malah kamu abaikan saha, hah?”
“Aku sedang sibuk bersama istriku. Tidak ingin diganggu oleh siapapun.”
“Heh, yang benar saja kamu. Sejak kapan kamu bisa menerima gadis yang papa jodohkan dengan kamu secara lapang dada. Kali ini, papa yakin kalau kamu pasti sedang menyembunyikan sesuatu dari papa.”
"Dari mana papa tahu aku sedang menyembunyikan sesuatu. Papa saja yang tidak peka dan selalu mencarikan aku seorang perempuan yang tidak punya arti apa-apa di mataku. Sampai akhirnya, papa mendatangkan dia ke padaku. Aku merasa … "
“Cukup! Jangan banyak berkhayal dan bermimpi. Setiap perempuan yang aku carikan untukmu itu sama saja. Sama-sama dari keluarga yang selalu mengharapkan harta kita untuk mereka kuasai. Kamu jangan salah anggap. Selain Sintya, tidak ada yang cocok untuk menjadi istri kamu.”
“Kalau tidak cocok, kenapa papa datangkan dia ke padaku?”
“Itu karena aku ingin kamu tahu, kalau semua wanita itu sama saja. Sama-sama inginkan harta dan kedudukan.”
“Termasuk Sintya yang papa banggakan itu. Iyakan?”
“Brian! Jangan menjawab terus kamu ya. Sudah cukup kamu bikin papa kesal dan pusing. Sekarang, cepat ke bandara dan segera jemput adikmu. Dia sudah sampai dan kamu malah tidak bisa dihubungi. Jangan buat adikmu sedih karena ketidakpedulian kamu padanya.”
“Sampai? Dia sudah sampai sekarang? Bukankah dia bilang datang besok?”
“Dia mempercepat jadwal penerbangan menjadi hari ini. Karena dia sudah sangat merindukan kamu. Jadi, segera ke bandara untuk menjemputnya.”
“Aku tidak bisa. Lagipula, aku sudah menyuruh Johan untuk mengurus semuanya. Jadi, tidak perlu cemas sekarang. Johan pasti sudah berada di sana.”
“Brian! Kamu sudah semakin keterlaluan sekarang. Walau bagaimanapun, dia itu adikmu. Bagaimana bisa dia kamu serahkan pada orang lain untuk mengurusnya. Sedangkan kedatangan dia ke tanah air, itu semata-mata hanya karena kamu.”
“Karena aku, atau karena papa? Atau … karena misinya?” tanya Brian enteng.
Pertanyaan itu semakin membuat Davidson merasa kesal dan marah. Ia sudah tidak bisa bersabar lagi sekarang.
“Brian Aditama. Jangan menguji kesabaran papamu ini. Atau kamu ingin kehilangan apa yang sangat berharga dalam hidupmu, hah?”
“Aku sudah kehilangan apa yang sangat berharga dalam hidupku. Kenapa aku harus takut kehilangannya lagi?”
“Baiklah kalau begitu, mungkin kamu sudah tidak menyayangi desa kelahiran almarhumah mamamu. Kalau begitu, aku akan menghancurkan desa itu untuk aku jadikan lahan pabrik.”
Mendengar kata-kata itu, seketika, wajah Brian yang awalnya tenang, mendadak berubah. Ia terlihat sangat marah sekarang. Brian menggenggam erat tangannya untuk menyalurkan rasa marahnya.
“Jangan coba-coba kamu lakukan itu atau aku akan membuktikan, kalau aku mampu melenyapkan perusahaan yang kamu pimpin sekarang,” ucap Brian sangat amat kesal dengan emosi yang siap meledak.