Episode 41 Perjodohan Membawa Bahagia
“Jangan coba-coba kamu lakukan itu atau aku akan membuktikan, kalau aku mampu melenyapkan perusahaan yang kamu pimpin sekarang,” ucap Brian sangat amat kesal dengan emosi yang siap meledak.
“Buktikan saja kalau kamu memang bisa. Tapi sebelum kamu bisa membuktikan ucapan mu itu, maka desa kelahiran almarhumah mamamu sudah aku ratakan dengan tanah.”
“Sebaiknya jangan membuang waktu lagi. Aku tunggu kabar baik ini dari adikmu. Segera jemput dia ke bandara dalam waktu kurang dari empat puluh menit. Jika kamu tidak datang juga, maka kamu akan tahu apa akibatnya. Kamu pasti tahu kalau aku tidak pernah main-main dengan apa yang aku ucapkan.”
Sambungan panggilan pun terputus setelah Davidson berucap kata-kata itu. Brian yang kesal langsung saja berteriak sambil membanting ponsel milik pak Hadi.
“Brian.” Kania memanggil.
“Tuan muda,” ucap pak Hadi tanpa tau harus berbuat apa.
Pak Hadi hanya bisa pasrah saat melihat benda persegi panjang miliknya tergeletak di atas rumput hijau taman tersebut. Ia tidak tahu harus berkata apa. Karena ia juga tidak tahu, bagaimana keadaan benda tersebut setelah menjadi sasaran amarah dari orang yang benar-benar sedang marah.
“Brian. Tenang.” Kania berucap dengan nada sangat lembut dan pelan. Kania juga berjalan mendekat untuk menenangkan hati Brian yang sekarang benar-benar terbakar emosi.
“Brian, dengarkan aku. Jangan ikuti rasa kesal yang ada dalam hatimu saat ini,” ucap Kania sambil membelai pelan lengan Brian yang tertutup jas hitam tersebut.
“Cobalah melawan rasa kesal itu, dan tenangkan hatimu. Karena marah dan emosi tidak akan menyelesaikan masalahmu.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan, Kania? Aku tidak ingin mengikuti apa yang laki-laki tua itu katakan. Tapi sayangnya, aku tidak bisa.”
“Brian, jangan berkata seperti itu. Walau bagaimanapun, dia adalah papamu. Kamu tidak bisa membencinya walau bagaimanapun juga.”
“Kamu bisa bicara seperti itu, Kania. Karena kamu tidak berada diposisi aku dan tidak merasakan apa yang sedang aku rasakan saat ini. Jika kamu berada diposisi aku, maka aku yakin, kamu juga akan melakukan hal yang sama. Membenci orang yang darahnya mengalir di dalam dirimu.”
Kania tidak langsung menjawab. Ia malah tersenyum sambil menatap sendu wajah Brian.
“Kamu bilang, aku tidak berada diposisi kamu, Brian? Kamu salah. Aku dan kamu mungkin sedang berada diposisi yang sama dengan nasib yang hampir sama.”
“Tapi sepertinya, nasib kamu lebih baik dari nasibku. Kamu masih bisa hidup senang walau ditekan dan diancam. Sedangkan aku, dari kecil sampai aku dewasa seperti saat ini, aku hanya
tidak merasakan yang namanya ketenangan dan adanya kasih sayang. Apalagi setelah aku kehilangan mamaku. Nasibku yang buruk, semakin bertambah buruk saja.” Kania berucap dengan nada yang terdengar sangat pilu.
Seketika, Brian tersadar dan ingat bagaimana kehidupan Kania sebelumnya. Semua informasi yang Johan dapatkan, tercatat dengan jelas bagaimana kisah hidup dan penderitaan Kania selama ia terlahir di dunia ini. Hal itu membuat Brian luluh dan lemah sekarang. Setidaknya, ia masih bernasib setingkat lebih baik dari Kania.
“Kania, maafkan aku. Aku sudah terbawa emosi terlalu jauh,” ucap Brian dengan nada lemah penuh sesal.
“Tidak masalah. Sekarang, sebaiknya kamu pergi ke bandara secepat mungkin. Jika kamu berlama-lama di sini, aku takut, waktumu semakin tinggal sedikit saja. Karena sekarang, hal berharga jadi taruhan jika kamu terlambat.”
“Tapi Kania, bagaimana dengan rencana awal kita?”
“Aku akan pergi sendiri. Mendengarkan apa yang ingin mereka bicarakan padaku. Jikapun tidak bisa mendapatkan barang almarhumah mama. Mungkin, lain waktu, kamu bisa temani aku dan tepati janjimu padaku.”
"Tapi Kania … aku sudah berjanji padamu untuk … "
Kata-kata Brian tidak bisa ia lanjutkan karena saat ini, jari telunjuk Kania yang lentik nan indah sedang menempel di bibir seksi milik Brian. Terpaksa, Brian menghentikan kata-katanya agar ia bisa menikmati suasana indah yang membuat jantungnya berdebar dua kali lebih cepat dari yang biasanya.
“Jangan pikirkan soal aku. Karena aku sangat memahami apa yang kamu rasakan saat ini. Jika kamu kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupmu, maka aku yang akan merasa sangat bersalah. Karena semua itu gara-gara aku. Maka aku tidak akan bisa memaafkan diriku sampai kapanpun.”
“Kania.”
“Brian. Jangan lupa soal nasib kita sama. Aku dan kamu sama-sama sedang memperjuangkan sesuatu yang paling berharga dalam hidup kita masing-masing. Jadi tolong, dengarkan apa yang aku katakan. Pergi sekarang, atau kamu akan kehilangan hal berharga itu.”
“Lalu bagaimana dengan kamu, Kania. Bukankah kita sama?” tanya Brian dengan tatapan tak berdaya.
“Aku tidak akan kehilangan apapun hari ini jika terlambat. Karena aku tahu, apa yang mereka ingin.”
“Maksud kamu?”
“Sudah. Jangan banyak tanya lagi. Ayo pergi sekarang agar kamu tidak terlambat. Nanti kita akan bicarakan lagi saat pulang ke rumah. Ayo!” ucap Kania sambil mendorong Brian agar segera beranjak meninggalkan tempat tersebut.
“Baiklah, aku pergi.”
“Pak Hadi, tolong temani Kania ke rumah papanya. Ingat, jaga dia baik-baik. Jika ada masalah, laporkan segera padaku.”
“Tapi Brian, bagaimana dengan kamu jika pak Hadi ikut aku?” tanya Kania cepat saat mendengarkan apa yang Brian katakan.
“Aku bisa naik taksi online ke bandara. Tolong jangan membantah atau aku akan merasa sangat cemas untuk meninggalkan kamu.”
“Brian.”
“Aku berangkat sekarang, Kania.”
“Pak, ingat untuk menjaganya dengan baik. Aku tidak ingin dia kenapa-napa dan dapat masalah saat berada di rumah papanya. Jika ia dapat masalah, maka pak Hadi juga akan dapat masalah.”
“Ba–baik tuan. Saya akan menjaga nona Kania dengan sangat baik. Tuan muda tidak perlu cemas.”
“Terima kasih banyak.”
Brian ingin beranjak meninggalkan tempatnya. Namun, langkah kaki Brian seperti sedang tertahan oleh sesuatu.
Ia kembali menoleh ke arah pak Hadi.
“Oh ya, soal ponsel pak Hadi yang aku lempar tadi. Nanti akan aku gantikan dengan yang baru. Kita akan bahas ini setelah pulang ke vila.”
“Tidak perlu di pikirkan tuan muda. Bapak yakin kalau ponsel itu tidak apa-apa.”
“Tidak masalah. Yang penting, nanti kita bahas setelah pulang ke vila.”
“Ya sudah, aku pergi duluan. Titip istriku untuk pak Hadi jaga.”
“Baik tuan muda. Hati-hati.”
“Kania, jaga dirimu. Ingat, kalau kamu sekarang adalah istri tuan muda Aditama. Jangan takut dengan ancaman mereka.”
“Sudahlah. Ayo pergi sekarang. Hati-hati di jalan.” Kania tersenyum manis pada Brian. Brian membalas senyum itu, lalu beranjak meninggalkan taman tersebut.