Jumat, 18 Maret 2022

Episode 42 Perjodohan Membawa Bahagia

 Episode 42 Perjodohan Membawa Bahagia

Perjodohan Membawa Bahagia

 Setelah kepergian Brian meninggalkan taman rumah makan tersebut, pak Hadi mengajak Kania ikut beranjak.

“Nona Kania, sebaiknya kita juga beranjak sekarang. Mengingat, janji nona datang saat makan siang. Sekarang, susah hampir sampai waktu makan siang, bukan?”

“Baiklah. Ayo berangkat sekarang.”

Kania berjalan dengan langkah cepat meninggalkan taman rumah makan diikuti pak Hadi di belakanganya. Saat mereka keluar dari rumah makan tersebut, mobil Brian masih terparkir di tempat sebelumnya. Kania menyipitkan mata sambil menoleh ke arah pak Hadi.

“Pak Hadi, itu mobil Brian. Apa dia tidak jadi berangkat?” tanya Kania mulai cemas dengan perasaan yang sangat penasaran.

“Entahlah nona. Saya juga tidak tahu.”

Kania mempercepat langkah kakinya untuk segera sampai ke mobil tersebut. Saat ia hampir sampai, sopir yang duduk diam di dalam segera keluar untuk menyambut Kania.

“Pak sopir, apa Brian ada di dalam?” tanya Kania dengan cepat.

“Maaf nona Kania, tuan muda tidak ada di dalam. Tuan muda sudah pergi ke bandara beberapa menit yang lalu.”

“Brian pergi naik apa?”

“Tuan muda naik taksi. Kebetulan, ada taksi yang lewat saat tuan muda sampai ke sini.”

“Kenapa dia tidak pergi dengan pak sopir saja?”

“Tuan muda ingin saya pergi bersama nona ke rumah orang tua nona. Makanya, tuan muda pergi ke bandara naik taksi.”

Kania terdiam. Ia tidak punya kata-kata untuk diucapkan lagi sekarang. Ia tidak habis pikir dengan apa yang telah Brian lakukan untuknya.

‘Ya Allah … apakah ini nyata. Apa semua ini benar-benar tulus ia lakukan untuk aku? Benarkah ini bukan sandiwara?’ tanya Kania dalam hati.

‘Kalau benar ini tulus, aku akan jadi wanita yang paling bahagia sekarang, esok, dan nanti,’ kata Kania lagi sambil tersenyum manis.

Hal itu menciptakan rasa penasaran dalam hati pak sopir dan pak Hadi. Mereka berdua saling pandang saat melihat Kania tiba-tiba tersenyum manis. Karena mereka berdua tidak tahu apa alasannya, senyum itu terasa aneh bagi mereka berdua.

“No–nona Kania.” Pak Hadi memanggil Kania dengan rasa agak takut. Tapi, ia berniat baik. Yaitu, untuk menyadarkan Kania dari apa yang Kania lakukan sekarang.

“Iya.” Kania menjawab sambil masih mempertahankan senyumannya.

“Nona kenapa?”

“Tidak ada apa-apa. Ayo berangkat sekarang, pak Hadi! Kita harus sampai lebih awal dari yang mereka minta,” ucap Kania langsung meninggalkan keduanya untuk masuk ke dalam mobil.

Keduanya tidak bisa berkata apa-apa selain mengikuti apa yang Kania lakukan. Pak sopir menutup pintu mobil belakang di mana Kania sudah duduk manis di kursinya.

Mobil itupun berjalan pelan meninggalkan tempat tersebut. Melaju melintasi jalan raya menuju untuk membawa penumpangnya menuju alamat yang ingin mereka tuju.

Saat mobil terus berjalan, benak Kania semakin merasa penasaran dengan apa yang baru saja terjadi di rumah makan tadi. Rasa penasaran itu semakin menguasai pikiran Kania, hingga dia tidak bisa menahan bibirnya untuk bertanya pada pak Hadi.

“Pak Hadi.” Kania memanggil pak Hadi yang duduk di depan.

“Ya nona Kania. Ada apa?”

“Boleh aku bertanya?”

“Tentu saja boleh, nona. Mau bertanya soal apa? Tanyakan saja apa yang ingin nona tanyakan!”

“Soal Brian. Tolong jawab dengan jujur, jika memang pak Hadi ingin menjawab. Tapi jika tidak, aku tidak akan memaksa pak Hadi untuk menjawabnya.”

“Baiklah nona. Apa yang ingin nona tau tentang tuan muda. Jika memang saya tahu, maka saya akan menjawabnya.”

“Siapa Sintya yang papanya maksud? Dan siapa adik yang akan Brian jemput di bandara? Setahu aku, bukankah Brian itu anak tunggal. Alias, tidak punya saudara kandung sama sekali.”

Pak Hadi tersenyum dengan pertanyaan yang Kania berikan. Bukan soal Kania yang menghujani pak Hadi dengan banyak pertanyaan sekaligus, melainkan, ada nada cemburu dari pertanyaan yang Kania ucapkan barusan.

“Nona Sintya itu adalah keponakan almarhumah mama tuan muda, Nona. Tepatnya, adik sepupu tuan muda. Tapi, nona Sintya itu adik sepupu tiri tuan muda. Karena mama tuan muda dengan mama nona Sintya itu saudara tiri.”

“Lalu, adik yang papanya Brian maksud itu … apa si Sintya ini?”

“Iyah. Nona Sintya itulah yang dimaksud tuan David adik yang harus tuan muda jemput di bandara sekarang.”

“Oh.”

“Pak Hadi, kenapa katakan itu pada nona Kania. Apakah pak Hadi tidak tahu bagaimana perasaan wanita?” tanya pak sopir sedikit kesal pada pak Hadi. Walaupun ia bicara dengan nada pelan, Kania tetap masih bisa mendengarkan dengan sangat baik apa yang ia katakan.

“Tidak masalah pak sopir. Aku tidak akan merasa sakit hati atau cemburu dengan penjelasan pak Hadi.”

“Tapi nona Kania, saya tahu bagaimana perasaan wanita. Karena saya punya anak dan istri di rumah, yang perasaan mereka sangat halus dan butuh dijaga dengan sangat baik agar tidak sakit hati.”

Kania tersenyum manis menanggapi apa yang pak sopir katakan. Ia merasa dapat perhatian lagi sekarang.

“Terima kasih banyak pak sopir. Aku merasa sangat bahagia dengan perhatian tulus yang pak sopir berikan padaku. Oh ya, maaf sebelumnya, aku tidak tahu nama pak sopir siapa. Bolehkah aku tahu nama bapak sekarang?”

“Nama saya Dayat nona. Nona Kania tidak perlu merasa bersalah. Panggilan yang paling nyaman buat saya, ya panggilan pak sopir. Karena itu sesuai dengan profesi saya,” ucap pak Dayat sambil tersenyum.

“Ya sudah kalo gitu. Sepertinya, aku tidak perlu merubah panggilanku pada pak Dayat. Kalo pak Dayat merasa nyaman, maka aku akan tetap memanggil pak Dayat dengan sebutan, pak sopir.”

“Iya, nona. Nona Kania tidak perlu merubahnya.”

Sementara Kania sibuk bicara dengan pak Dayat, pak Hadi sibuk pula memperhatikan Kania. Ia merasa, Kania ini adalah gadis yang paling spesial dan langka.

‘Nona Kania benar-benar gadis istimewa. Dia padahal tahu siapa dirinya sekarang. Terlepas dari kehidupan masa lalunya yang mungkin suram, seharusnya ia berbangga diri dan tidak perlu bersikap lembut pada pekerja bawahan seperti pak Dayat,’ kata pak Hadi dalam hati sambil terus memperhatikan Kania.

Merasa diperhatikan, Kania tiba-tiba merasa tidak enak karena grogi. Ia pun menghentikan obrolannya dengan pak Dayat. Lalu, mengalihkan pembicaraan pada pak Hadi.

“Oh ya pak Hadi. Terima kasih banyak sudah mau menjawab apa yang aku tanyakan. Tapi … ada satu hal lagi yang mengganjal di hatiku. Sekiranya pak Hadi tahu dan bersedia menjawab, maka aku ingin bertanya lagi.”

“Tanyakan saja, nona. Saya akan dengan senang hati menjawab jika memang saja bisa dan tahu apa jawaban dari pertanyaan nona Kania itu.”

“Aku ingin tahu, kenapa Brian terlihat kesal dan sepertinya sangat tidak suka pada Sintya? Bukankah mereka saudara sepupuan? Harusnya, mereka dekat, bukan?”

 

Episode Selanjutnya
episode sebelumnya