Jumat, 18 Maret 2022

Episode 44 Perjodohan Membawa Bahagia

 Episode 44 Perjodohan Membawa Bahagia

Perjodohan Membawa Bahagia

Merasa takut dengan ancaman yang pak Hadi ucapkan, Burhan pun terpaksa membatalkan niatnya untuk menampar Kania. Sedangkan Salma, meski merasa kesal karena Burhan tidak jadi memukul Kania, ia pun tidak bisa melakukan apapun selain memainkan sandiwara lagi.

“Papa, ini bukan salah Kania kok, Pa. Tapi ini adalah kesalahan mama. Mama yang teledor dan tidak menjaga dengan baik barang-barang almarhumah mamanya Kania. Mama telah merusak gaun berharga milik almarhumah mama Kania, Pa.” Salma menangis sambil memeluk Burhan.

“Mama tidak salah. Kalau barang itu rusak, itu bukan salah mama. Karena, barang itu seharusnya memang tidak pernah ada di rumah ini,” kata Burhan sambil membalas pelukan Salma.

“Kalau memang barang itu tidak seharusnya ada, kenapa kalian malah tetap menahan barang itu sampai detik ini. Kenapa kalian tidak langsung menyerahkannya padaku ketika aku keluar dari rumah ini kemarin?” tanya Kania sambil menahan rasa kesal akibat kata-kata yang Burhan ucapkan barusan.

“Lalu kenapa jika kami tidak memberikannya padamu. Kamu kira, barang-barang rongsokan milik mama mu itu lebih berharga dari pada istriku?” tanya Burhan semakin menjadi-jadi.

Hati Kania merasa sangat amat sakit, saat papanya mengucapkan kata-kata yang seharusnya tidak diucapkan oleh seorang manusia yang bergelar papa, yang pernah hidup serumah dengan istri yang sebelumnya pernah berjuang dengan sangat keras untuk membuat ia bahagia. Air mata seakan sudah tidak bisa ia bendung lagi. Rasanya, ingin segera tumpah mewakili rasa sakit yang ada dalam hati Kania.

Tapi tidak. Kania tidak akan menangis lagi sekarang. Ia tahu, air mata hanya akan membuat orang yang ada dihadapannya semakin merasa besar kepala dan bahagia karena bisa menyakiti dan merusak hidupnya lagi dan lagi.

Bagi Kania, sudah cukup untuknya menumpahkan air mata karena ulah ular betina yang begitu licik, yang sedang bersembunyi dibalik topeng wajah kelinci yang imut. Dan sekarang, ia tidak akan terjebak lagi. Karena saat ini, ia bukan mangsa melainkan pemburu.

Kania genggam tangannya sebelum bicara. Itu ia lakukan agar terkesan sedang benar-benar kuat dan tidak merasakan sakit sedikitpun.
“Tuan Burhan Hermasyah. Mungkin barang milik almarhumah mama ku memang barang rongsokan yang bagi anda tidak lebih berharga dari istri anda ini,” ucap Kania sambil berjalan mendekat ke arah Salma yang sedang menangis di pelukan Burhan.

Kania lalu memegang rambut Salma yang tergerai. Namun Burhan dengan cepat menepis tangan Kania agar tidak menyentuh rambut istrinya. Kania tidak merasa sakit hati dengan perlakuan papanya tersebut. Ia malahan tersenyum manis ke arah Burhan dan Salma.

“Tapi ingat satu hal, tuan. Kau akan menyesal setelah tahu siapa dia,” ucap Kania melanjutkan kata-katanya yang sempat terputus.

“Papa.” Salma melihat Burhan dengan tatapan sedih.
“Sekarang, anakmu sudah menjadi istri orang kaya. Dia sudah bukan bagian dari keluarga ini lagi. Aku tahu, dia pasti sangat membenci kita karena kehidupan kita yang jauh di bawahnya.”

“Kak Kania!” Zara berjalan dengan cepat setelah beberapa saat ia menjadi penonton terbaik di samping Dafa. Ia juga tidak ingin ketinggalan untuk menunjukkan bakatnya dalam bermain sandiwara.

“Kak, tolong jangan benci keluarga ini hanya karena kamu sudah menjadi istri orang kaya. Aku tahu, ini memang tujuan awal kak Kania sebelum menikah dengan tuan muda Aditama. Kakak ingin membalas aku dan mama karena datang ke rumah ini, bukan? Kakak benci aku dan mama karena kakak pikir, kami akan merebut semua yang kakak miliki.”

“Kak, kami tidak seburuk itu. Kak Kania telah salah paham, dan salah menilai kami. Kami datang atas permintaan papa, bukan atas keinginan sendiri. Awalnya, aku dan mama juga tidak setuju untuk masuk ke rumah ini, karena aku gak ingin hal ini terjadi. Tapi mama … ia malah berpikir sebaliknya. Ia ingin datang dan tinggal di rumah ini karena kasihan sama kakak tinggal sendirian.” Zara bicara sambil tertunduk dengan kedua tangannya memegang erat tangan Kania.

Cengkraman itu terasa sangat sakit bagi Kania. Karena dua tangan Zara sekaligus meremuk satu tangan Kania. Namun, demi tidak terjadinya sandiwara yang semakin menyudutkan dirinya, Kania tetap bertahan dengan ulah Zara yang mencengkram semakin erat tangannya.

‘Ya Allah … tolong aku.’ Kania bicara dalam hati dengan perasaan penuh harap.
‘Tolong lepaskan aku dari orang-orang ini.’

Beberapa detik kemudian, pak Hadi menepis tangan Zara dari tangan Kania.
“Sebaiknya jangan menyentuh nona muda kami. Kami datang hanya ingin mengambil barang-barang milik almarhumah mama nona kami. Jadi, tidak ada maksud tersembunyi lainnya,” ucap pak Hadi sambil menatap Zara.

“Hei pembantu! Jangan kasar kamu sama dia.” Dafa yang melihat pak Hadi menepis tangan Zara, segera berjalan mendekati Zara.

“Kamu tidak tahu apa yang terjadi. Dan kamu juga tidak berhak ikut campur dalam urusan keluarga mereka. Kamu hanya seorang pembantu yang diperkerjakan oleh majikan mu, bukan?” Dafa semakin menjadi-jadi.

“Untuk kamu Kania, aku menyesal telah mengenal dan mencintai kamu selama ini. Jika saja aku tahu siapa kamu yang sesungguhnya dari awal, maka aku sudah lama menjauh dari kamu,” ucap Dafa sambil mengarahkan telunjuknya ke hadapan Kania.

Saat kata-kata itu menyentuh telinga Kania. Tidak ada rasa lain selain rasa sakit yang terasa sangat memilukan. Hatinya terasa seperti di sayat-sayat oleh sembilu. Namun, ia berusaha untuk tetap bertahan dan tidak menangis.

‘Ya Allah, inikah laki-laki yang aku cintai dengan sepenuh hati selama ini? Laki-laki yang pernah aku hayalkan menjadi imam dan membimbing aku dalam rumah tangga. Hanya dengan kata-kata manis seorang perempuan ia tega mengatakan menyesal telah mengenal aku. Sadis, benar-benar sadis.’ Kania berucap dalam hati sambil menggenggam erat tangannya.

“Dafa, harusnya aku yang mengatakan hal itu padamu. Aku menyesal telah mencintai kamu selama ini. Ternyata, laki-laki yang aku cintai adalah laki-laki yang paling bodoh yang pernah aku lihat selama aku hidup,” ucap Kania dengan tatapan tajam ke arah Dafa.

“Kak Kania! Jangan bicara lancang seperti itu,” ucap Zara dengan nada tinggi.

“Pak Hadi, ayo pergi!” Kania berucap sambil membalikkan badannya untuk meninggalkan halaman rumah tersebut.

 

Episode Selanjutnya
episode sebelumnya