Episode 45 Perjodohan Membawa Bahagia
Kania tidak ingin tetap berada di sana dan melanjutkan perdebatan orang-orang licik dan bodoh yang semakin lama semakin menghilangkan kesabaran dan menambah rasa sakit dalam hatinya. Ia ingin segera menghilang dari pandangan licik dan pandangan benci dari orang licik dan orang bodoh yang terus menatapnya dengan tatapan tajam.
Tapi sayang, niatnya untuk meninggalkan tempat itu tidak berjalan dengan mulus. Dafa yang merasa sangat kesal dan marah dengan kata-kata yang ia ucapkan, menghentikan langkahnya dengan cepat.
“Tunggu Kania! Kamu pikir, kamu sudah menikah dengan orang kaya, maka kamu bisa bersikap seenaknya padaku, dan pada keluargamu? Kamu salah Kania. Sangat salah besar. Aku akan melindungi keluarga Zara. Aku akan menikah dengan Zara secepatnya dan akan menyatukan kedua perusahaan. Aku akan menjadikan perusahaan kedua keluarga ini semakin besar dan akan menjadi paling kaya nantinya.”
“Dengan begitu, aku pastikan, kamu akan menyesali apa yang telah kamu pilih sekarang,” kata Dafa dengan seksama dan penuh dengan amarah.
“Aku tunggu bukti dari kata-kata yang kamu ucapkan ini, Dafa. Sampai jumpa.”
Kania melanjutkan langkah kaki meninggalkan tempat tersebut dengan diikuti pak Hadi di belakangnya. Sampai di mobil, ia segera masuk. Kemudian, ia segera meminta pak Dayat menjalankan mobil tersebut agar segera meninggalkan rumah papanya.
Saat mobil telah beranjak, barulah ia menumpahkan seluruh kesedihannya dengan menangis. Pak Dayat hanya bisa melihat pak Hadi, sedangkan pak Hadi, hanya diam saja, seakan ia tahu, kalau Kania memang membutuhkan waktu untuk menangis agar semua kekesalan yang ada dalam hatinya segera berkurang.
Sementara itu, di kediaman papa Kania, mereka masih berada di halaman rumah saat mobil beranjak meninggalkan rumah tersebut. Mereka masih dalam suasana kaget dan rasa tidak percaya saat ini. Bukan soal Kania yang meninggalkan rumah tersebut dengan sangat berani. Melainkan, soal ucapan Dafa yang ingin menikahi Zara dan menyatukan kedua perusahaan untuk membalas Kania.
Yang paling kaget, tentunya Zara. Ia yang sangat berharap sebelumnya, kini seolah-olah sedang berada di tumpukan kelopak bunga musim semi ketika mendengar Dafa berucap dengan tegas di hadapan orang yang ia cintai untuk menikahi dirinya. Itu seperti sebuah mimpi yang jadi nyata saja.
Tapi, ia sadar kalau dia tidak harus memperlihatkan rasa bahagianya pada Dafa saat ini. Ia segera merubah ekspresi wajah bahagianya dengan wajah sedih.
“Kak Dafa tidak perlu menyakiti hati kak Kania seperti itu. Kak Dafa tidak perlu berbohong sejauh itu untuk melihat rasa cinta pada hati kak Kania. Asal kak Dafa tahu, kak Kania itu orangnya tidak mudah ditebak. Apalagi setelah ia menikah dengan orang paling kaya di kota kita. Ia semakin tinggi dan tidak tergapai lagi.”
"Zara betul nak Dafa. Kamu tidak perlu mengatakan hal itu untuk menolong keluarga ini. Kamu tidak perlu membohonginya untuk melihat rasa cinta Kania padamu ads atau tidak. Karena itu tidak akan berhasil. Dan … "
“Maaf tante, om, dan … kamu Zara. Aku tidak berbohong dengan kata-kata yang aku ucapkan. Aku memang akan menikahi Zara, karena aku merasa, aku jatuh cinta padanya.”
Mendengar kata-kata itu, Zara tidak bisa menutupi rasa bahagianya lagi. Ia dengan senyum lebar, segera memeluk tangan Dafa.
“Benarkah apa yang kak Dafa katakan?” tanya Zara dengan mata yang berbinar-benar.
“Tentu saja itu benar, Zara. Aku akan menikahi kamu. Tapi … itu jika kamu setuju.”
"Tentu saja … "
“Uhuk.” Salma batuk untuk memberikan isyarat pada Zara agar tidak langsung menyetujui dan memperlihatkan kebahagiaannya pada Dafa. Karena jika ia melakukan hal itu, maka terlihat sekali jika selama ini, ia benar-benar menyimpan rasa dan harap pada Dafa. Sedangkan status Dafa selama ini, adalah calon kakak ipar.
Seolah memahami maksud dari batuk sang mama, Zara segera tertunduk dan memperlihatkan wajah sedih, polos, dan tak berdaya. “Tentu … tentu saja aku tidak sanggup menerima lamaran dari kaka Dafa,” ucap Zara dengan nada sangat sedih penuh beban.
Dafa kaget bukan kepalang. Ia yang awalnya menduga kalau Zara pasti akan menerima tawarannya untuk menikah, mengingat sikap Zara padanya akhir-akhir ini sangat dekat. Sekarang, Dafa harus menerima rasa kecewa atas apa yang ia harapkan.
“Kenapa kamu tidak sanggup menerima lamaran dadakan ini, Zara? Apa alasannya?” tanya Dafa sambil menahan rasa kecewa.
“Apa karena aku melamar mu secara mendadak? Kamu tenang saja untuk itu, aku akan membawa orang tua ku datang melamar mu lagi nanti.”
“Jangan paksa Zara, nak Dafa. Jika dia tidak ingin, maka kamu harus menerimanya. Karena walau bagaimanapun, kamu itu awalnya adalah calon suami Kania,” kata Burhan seakan memahami apa yang putrinya rasakan.
“Papa benar, kak Dafa. Aku tidak ingin kak Kania sakit hati dengan menikahnya kita nanti.”
“Sayang, maksud papa bukan itu, nak.” Burhan merasa bersalah.
"Pa, aku tahu kok, maksud papa bukan untuk menyakiti hatiku. Tapi … "
“Percaya padaku, kalau aku akan mampu membuat kamu merasa bahagia nantinya, Zara. Kita akan menikah secara besar-besaran dan mewah. Aku janji, kamu akan menjadi wanita paling bahagia nantinya.”
“Om, tante, tolong restui kami. Aku akan menikah dengan Zara dan berusaha menyatukan perusahaan kita. Aku janji, kita akan mengalahkan perusahaan keluarga Aditama yang sombong itu,” kata Dafa berusaha meyakinkan Burhan dan Salma.
Burhan terlihat agak ragu. Tapi Salma dan Zara, ia terlihat sangat amat bahagia.
“Aku tidak tahu harus jawab apa. Aku akan ikuti saja apa yang putriku inginkan. Jika ia setuju, maka restuku akan mengikutinya,” kata Burhan pasrah.
“Tante juga sama. Yang paling penting itu adalah kebahagiaan Zara. Jika Zara setuju, maka kami juga akan setuju.”
“Zara, sekarang tinggal kata setuju dari kamu saja yang aku perlukan. Jawab saja apa yang ada dalam hatimu. Jangan pikirkan apa perasaan orang lain,” kata Dafa sambil memegang lembut tangan Zara.
Zara yang memang sangat menginginkan Dafa sejak awal, kini tidak bisa lagi menahan rasa. Ia tidak bisa bersandiwara tidak suka lagi sekarang. Dengan cepat, ia mengangkat wajahnya untuk melihat Dafa. Lalu, ia mengangguk sambil tersenyum tanda setuju.
“Anggukan ini aku artikan dengan kamu yang menerima tawaran aku, Zara. Kalau begitu, aku akan membawa mama dan papaku datang ke sini nanti malam,” kata Dafa sambil membalas senyum Zara.
Dengan cepat, tanpa aba-aba, Zara segera menghambur ke dalam pelukan Dafa. Dafa membalas pelukan itu meskipun terlihat agak kaku.