Jumat, 18 Maret 2022

Episode 47 Perjodohan Membawa Bahagia

 Episode 47 Perjodohan Membawa Bahagia

 

 

Perjodohan Membawa Bahagia

“Jadi sekarang, Brian sedang berada di taman bersama Sintya, ya bu Ninik?” tanya Kania memastikan.

“Iy–iya, nona Kania. Tuan muda di taman bersama nona Sintya.”
“Nona terlihat biasa saja dengan apa yang ibu katakan. Apa nona tidak marah?” tanya Bu Ninik bingung. Karena awalnya, ia berpikir kalau Kania pasti akan kesal dan marah dengan apa yang ia katakan.

“Tidak bu Ninik. Aku tidak marah. Itukan sepupunya Brian, kenapa aku harus marah?” tanya Kania sambil tersenyum manis.

‘Kenapa aku harus marah dengan kemesraan dan kedekatan Brian dengan Sintya. Aku ini bukan istri yang sesungguhnya melainkan sebatas istri karena perjanjian saja. Lagipula, jika pun aku dan Brian memang suami istri yang saling mencintai, aku juga tidak berhak marah. Karena aku datang belakangan, setelah Sintya datang dan kenal dengan Brian. Wajah jika Brian dan Sintya dekat,’ kata Kania bicara dalam hati.

Kania terdiam untuk beberapa saat lamanya. Kemudian, ia memutuskan untuk kembali ke kamar saja. Menunggu Brian datang ke kamar, baru ia ingin bicara dengan Brian nantinya.

Tapi, baru juga Kania ingin beranjak naik ke atas, suara Brian menghentikannya.

“Mau ke mana kamu?” tanya Brian yang berada tepat di depan pintu.

Sontak saja, suara itu membuat niat Kania terhenti. Ia langsung melihat ke arah asal suara yang berbicara barusan.

“Brian.” Kania berucap sambil menatap lurus ke depan.

“Pulang kok gak langsung nyariin aku? Udah gak sayang lagi kamu sama aku sekarang?”

Pertanyaan itu sebenarnya membuat Kania sangat kesal. Baru saja ia ingin mengangkat mulut untuk bicara, seorang perempuan muncul dari belakang Brian.

Perempuan itu menatap Kania dengan tatapan tajam. Entah kenapa dan entah apa sebabnya, Kania juga tidak tahu. Yang jelas, tatapan tajam itu terlihat, penuh dengan kebencian.

"Dia … "

“Dia istriku. Kania.” Brian memotong cepat apa yang ingin perempuan itu katakan.

Wanita itu semakin menatap Kania dengan tatapan penuh kebencian. Namun kemudian, dengan sekuat tenaga, wanita itu memperlihatkan senyum manis pada Brian, lalu berjalan menghampiri Kania yang masih terdiam di tempatnya.

“Kak Kania, perkenalkan, nama aku Sintya. Adik sepupu kak Brian.” Sintya berucap dengan manja sambil mengulurkan tangannya.

Kania merasa kalau Sintya terlihat baik. Ia pun membalas senyum itu sambil menyambut uluran tangan dari Sintya.

“Kania. Salam kenal Sintya.”

“Salam kenal kembali kak Kania.”

Sintya malah memeluk Kania setelah jabatan tangan itu ia lepas. Kania yang kaget, hanya bisa mengikuti apa yang Sintya lakukan.

“Salam kenal musuhku. Kamu adalah perempuan murahan yang begitu berani sekali. Aku salut padamu,” ucap Sintya berbisik ke telinga Kania.

‘Ya Allah … sandiwara lagi ternyata,’ ucap Kania dalam hati sambil menarik napas panjang.

Setelah bicara seperti itu, Sintya langsung melepaskan pelukannya dari Kania. Ia tersenyum seakan tidak pernah terjadi apapun.

Bukannya merasa tidak enak hati atau takut, Kania malah merasa sangat geli dengan apa yang Sintya lakukan barusan. Bagi Kania, Sintya malah terlihat begitu lucu dan polos. Ia secara terang-terangan memperingati Kania akan kehadirannya sebagai musuh. Itu sama saja dengan, sikap polos yang terlewat batas.
Tidak tidak seharusnya orang licik miliki.

“Brian. Aku ingin bicara denganmu sekarang. Apa kamu punya waktu?” tanya Kania sambil melirik Sintya.

Sintya yang dapat lirikan dari Kania, mendadak merubah wajah tenang menjadi takut. Entah apa yang ia pikirkan, yang jelas, saat ini, ia benar-benar terlihat begitu ketakutan.

"Tentu saja aku punya waktu, Kania. Ayo! Mau bicara ke mana? Ke kamar? Atau … "

"Tentu saja ke … "

Belum sempat Kania menyelesaikan perkataannya, Sintya yang sedari tadi merasa takut dan cemas, kini memegang perutnya sambil mengeluh.

"Aduh … "
“Agh! Kak Brian, perutku sakit sekali.” Sintya berucap sambil memegang perutnya. Tentunya, dengan ekspresi wajah yang kesakitan.

“Bu Ninik, tolong bawa Sintya ke kamar. Mungkin, dia kecapean dan butuh banyak istirahat karena telah melakukan perjalanan jauh.” Brian berucap seolah tak ada beban sama sekali.

“Kak Brian gimana sih? Kenapa malah minta bu Ninik yang ngurus aku, hah? Aku ini adik kak Brian lho kak.”

“Lalu, kalau kamu ini adik aku, emangnya kenapa kalau bu Ninik yang ngurus kamu? Apa ada yang salah?” tanya Brian semakin berat untuk menahan rasa kesal yang sedari tadi ia tahan.

“Tentu aja salah. Kak Brian itu kakak sepupu aku. Jadi, aku ingin kak Brian yang urus aku, bukan pembantu.”

“Aku tidak bisa ngurus kamu, karena aku punya urusan lain. Lagipula, kamu itu bukan anak kecil lagi yang harus aku urus. Dan yang paling penting, aku ini bukan mama kamu.”

“Kak Brian kok ngomongnya gitu sih, kak. Aku bilangin sama om perlakuan kakak padaku,” ucap Sintya sambil menangis dengan manja.

“Ya ampun sayang. Adik kecil yang malang. Maafkan kak Brian mu ini yang tidak pengertian yah. Sini, biar kak Kania aja yang ngurus kamu,” ucap Kania sambil menyentuh pundak Sintya.

"Kamu … "

Kania tersenyum sambil menguatkan cengkraman nya ke bahu Sintya, sehingga Sintya meringis kesakitan, tapi tak bisa berucap apapun karena tatapan tajam dari Kania sekarang.

"Kamu sepertinya susah tidak merasa sakit lagi sekarang. Apa sakitnya udah menghilang atau … "

“Aku baik-baik saja. Permisi. Aku bisa istirahat sendiri,” ucap Sintya sangat amat kesal sambil beranjak meninggalkan tempat.

Sintya berjalan dengan langkah besar dan kaki yang di hentak-hentak ke lantai. Lalu, saat ia ingin melewati Brian yang berdiri di samping Kania, ia berhenti untuk beberapa saat. Dengan tatapan tajam, ia menatap Brian. Selanjutnya, ia kembali berjalan dengan langkah yang besar, lalu menyenggol bahu Brian.

Brian tidak menanggapi apa yang Sintya lakukan. Ia membiarkan saja Sintya meninggalkan mereka walau ia tahu, kepergian Sintya itu pasti akan membuatnya dapat masalah lagi.

“Brian.” Kania memanggil dengan nada lembut saat melihat wajah kesal Brian atas perlakuan Sintya barusan.

“Sudah ku bilang, kehadirannya hanya akan menambah masalah dalam hidupku.”

“Bersabarlah. Aku tahu apa yang kamu rasakan sekarang. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain sabar dan mengalah.”

“Kamu bisa melakukan hal itu, Kania. Tapi aku?”

“Aku yakin kamu bisa. Karena sekarang, kamu tidak sendirian. Ada aku bersamamu.”

Mendengar kata-kata yang Kania ucapkan. Wajah kesal itu tiba-tiba saja lenyap. Brian menoleh ke arah Kania, lalu tersenyum.

“Kamu bilang apa barusan, Kania? Coba ulangi lagi apa yang baru saja kamu katakan tadi!”

“Ap–apa yang aku katakan? Aku rasa … tidak ada apa-apa.” Kania berusaha menyembunyikan wajah kaget dan merona nya.
“Oh ya, sebaiknya aku kembali ke kamar karena ada yang ingin aku kerjakan,” ucap Kania beralasan.

 

Episode Selanjutnya
episode sebelumnya