Episode 48 Perjodohan Membawa Bahagia
Brian tersenyum dengan alasan yang Kania ucapkan barusan. Alasan yang terdengar begitu tidak masuk akal yang Kania buat.
“Ke–kenapa kamu tersenyum?”
“Kenapa memangnya? Ada yang salah jika aku senyum?”
“Ti–tidak ada. Aku naik dulu. Permisi.” Kania berucap sambil berniat meninggalkan Brian karena saat ini, ia benar-benar gugup dan malu.
Dengan cepat, Brian menahan tangan Kania yang ingin meninggalkannya. “Tunggu aku,” ucap Brian dengan nada manja.
“Brian!” Kania membentak Brian dengan suara tinggi karena kesal.
Bukannya marah, Brian malah semakin merasa senang karena ia berhasil menggoda Kania. Namun detik berikutnya, wajah bahagia itu berubah menjadi cemas saat pandangannya tak sengaja melihat pergelangan tangan Kania yang memerah akibat ulah Zara.
“Kania. Apa yang terjadi dengan tanganmu?”
Pertanyaan itu membuat Kania kaget. Dengan cepat, ia tarik tangannya dari cengkraman Brian. “Aku gak papa.”
“Kania. Jangan bohong padaku. Katakan! Apa yang terjadi di rumah papamu tadi? Kenapa tanganmu bisa memerah seperti itu?”
“Itu hanya … Brian. Aku gak papa. Jangan dipikirkan soal tanganku yang sedikit memerah. Karena itu tidak ada masalahnya.”
“Katakan apa yang terjadi, atau aku akan datang sendiri ke rumah papamu dan membuat perhitungan dengan semua penghuni rumah itu!”
“Brian.”
“Kania. Kamu istriku. Bukankah kamu bilang, kita ini tidak sendirian. Kita sekarang berdua. Masalahmu, adalah masalahku, begitupun sebaliknya.”
Kania merasa tersentuh dengan kata-kata Brian barusan. Ia pun menundukkan kepalanya dengan wajah sedih.
Brian menyentuh lembut bahu Kania. Ia bisa merasakan kesedihan yang sama, yang Kania rasakan saat ini. “Ayo cerita padaku jika kamu ada masalah. Tapi sebelum itu, sebaiknya kita ke kamar terlebih dahulu.”
“Bu Ninik, tolong antar kan kotak obat ke kamarku!” kata Brian pada bu Ninik yang sedari tadi terdiam di tempatnya, bak patung pajangan saja.
“Baik tuan muda,” ucap Bu Ninik sambil beranjak dari tempatnya.
“Ayo Kania!”
Kania mengikuti apa yang Brian katakan. Brian menggandeng tangan Kania untuk sama-sama menaiki anak tangga menuju kamar mereka.
Sementara itu, Sintya sedang berbicara lewat ponsel dengan omnya, yang tak lain adalah, papa Brian.
“Apa! Brian benar-benar mencintai istrinya?” tanya Davidson dari seberang sana.
“Sepertinya begitu, om. Aku melihat sendiri seperti apa ekspresi kak Brian saat melihat istrinya. Aku yakin, kalau mereka sedang tidak berpura-pura, om David.”
“Tidak bisa di biarkan ini semua. Kamu harus berhasil memisahkan mereka secepatnya.”
“Iya om. Tenang saja, percayakan semuanya pada Sintya. Om akan lihat bagaimana hasilnya nanti. Tidak perlu cemas.”
“Baiklah. Om percaya sama kamu, sayang. Jangan kecewakan om, ya.”
“Iya om. Tenang aja.”
“Ya sudah, om masih banyak pekerjaan, kamu baik-baik di sana. Jika Brian bertindak keterlaluan, kamu bilang sama om ya. Kabari om terus bagaimana perkembangan di sana.”
"Iya om. Da … "
“Da … Sintya.”
Sintya tersenyum setelah panggilan terputus. Ia yang sedang duduk di depan meja rias, sekarang menatap wajahnya di depan cermin.
“Kalian silahkan berbahagia sekarang. Karena nanti, kalian akan lihat apa yang akan terjadi. Aku akan buat kak Brian kehilangan wanita yang ia cintai untuk yang kesekian kalinya. Agar dia tahu, kalau dia tidak akan pernah bisa menjadi milik siapapun selain milik adik sepupunya ini. Milik Sintya Arabella.”
Sintya tersenyum menyeringai sambil membelai lembut wajahnya. Ia terlihat benar-benar berbeda dari dirinya yang tadi. Dia sekarang, benar-benar menakutkan dengan wajah licik yang sesungguhnya.
Brian dan Kania sampai di kamar disusuli bu Ninik selang beberapa menit kemudian. Bu Ninik mengantarkan kotak obat seperti yang Brian inginkan. Kemudian, ia pergi meninggalkan Kania dan Brian berduaan di kamar itu.
“Kania. Sini tangan kamu.”
“Brian, aku gak papa. Benar-benar gak papa. Tidak perlu diobati, karena nanti juga akan hilang sendiri. Ini bukan luka, Brian. Hanya merah akibat terlalu kuat digenggam aja.”
“Kania, meskipun itu bukan luka, tapi tetap saja, itu harus diolesi salep agar bekasnya cepat menghilang dan kamu cepat sembuh dari rasa nyeri. Aku yakin, itu pasti rasanya nyeri, bukan?”
“Brian.”
“Ayolah Kania, jangan membantah. Aku ini suami kamu lho.”
“Jangan mulai lagi, Brian. Mood ku sedang tidak baik untuk bercanda, apalagi berdebat denganmu. Nanti, bisa-bisa kamu yang jadi sasaran kekesalan yang aku simpan dalam hati sejak tadi.”
“Ya sudah, lampiaskan saja padaku jika itu mampu membuat hatimu terasa nyaman.”
“Brian.”
Kania merasa bahagia dengan kata-kata yang Brian ucapkan. Ucapan sederhana yang terdengar seperti bercanda itu mampu membawa kebahagiaan di hatinya. Ia pun tersenyum manis dengan wajah merona.
Brian pun mengoleskan salep yang sedari tadi ia pegang ke pergelangan tangan Kania dengan sangat amat lembut. Kania melihat Brian dengan tatapan yang berbeda sekarang. Ia kagum sekaligus suka.
Ternyata, dengan waktu pertemuan yang sangat singkat, ia mampu mengagumi bahkan mungkin, ia telah jatuh cinta pada seorang laki-laki. Ini memang agak lucu, tapi … itulah kenyataan yang tidak bisa Kania pungkiri.
“Mau sampai kapan kamu melihat aku seperti itu?” tanya Brian yang sontak saja mengagetkan Kania yang sedang menatap kagum pada Brian.
“Apa aku terlalu tampan, sampai kamu harus menatapku dengan tatapan lekat seperti barusan?” Brian bertanya lagi sambil mendekatkan wajahnya ke arah Kania.
Kania dengan cepat menjauh. Berusaha menyembunyikan wajah merona dan perasaan berdebar-debar dari Brian, agar ia tidak malu pada apa yang telah ia lakukan barusan.
“Si–siapa yang menatap kamu?” tanya Kania gugup.
“Jangan ge-er Brian. Jangan terlalu percaya diri.”
“Aku tidak ge-er nona Kania Hermansyah. Hanya saja, aku mempunyai sedikit kepercayaan atas diriku sendiri, kalau aku ini, memang tampan lahir batin,” ucap Brian dengan sangat-sangat yakin.
"Ya Allah … "
Kania tersenyum mengejek atas ucapan yang penuh keyakinan yang Brian ucapkan barusan. Sedangkan Brian, ia juga ikut tersenyum atas keberhasilannya menghibur Kania.
Sementara itu, di disi lain, Dafa sedang ngobrol bersama mama dan papanya. Mereka sedang membicarakan tentang niat Dafa yang ingin menikahi Zara.
“Apa kamu sudah berpikir matang-matang soal keputusan yang kamu ambil ini, Dafa? Apa kamu yakin tidak akan menyesal nantinya?” tanya sang papa ragu-ragu.
“Iya, Nak. Kamu yakin tidak akan menyesal nantinya?”
“Oh ya, apa kamu benar-benar jatuh cinta pada Zara, atau hanya sekedar melawan rasa cemburu yang ada dalam hatimu saat ini sih, Dafa?” tanya mamanya pula.
“Aku sebenarnya tidak yakin, kalau aku jatuh cinta padanya, Ma, Pa.” Dafa berucap sambil tertunduk.
“Lho, kalo gak yakin kenapa kamu mau menikah dengannya, Dafa? Kamu ini gimana sih?” Papa terlihat kesal dengan ucapan yang Dafa berikan.