Jumat, 18 Maret 2022

Episode 50 Perjodohan Membawa Bahagia

 Episode 50 Perjodohan Membawa Bahagia

 

 

Perjodohan Membawa Bahagia

“Kamu yakin kamu mampu, Kania?” tanya Brian dengan tatapan tak percaya juga serius.

“Tentu saja aku mampu. Karena aku tahu apa yang mereka inginkan dari aku.”

“Ada yang mereka inginkan dari kamu? Apa?” Brian bertanya dengan nada penasaran sambil mengangkat satu alisnya.

“Tanda tangan.”

“Tanda tangan?”

“Iya. Tanda tangan. Mereka sangat membutuhkan tanda tanganku untuk menguasai harta warisan keluarga Hermansyah. Karena harta warisan itu tertulis atas nama aku, maka mereka butuh tanda tangan aku untuk memindahkan hak kepemilikan warisan tersebut.”

Kania pun menceritakan semuanya pada Brian. Brian mendengarkan dengan seksama apa yang Kania katakan.

“Luar biasa. Sungguh luar biasa liciknya ternyata mereka. Aku salut dengan rencana yang mereka susun.”
“Kania. Apa kamu berniat memberikan tanda tanganmu pada mereka?”

“Tentu saja.”

“Kenapa? Kenapa kamu ingin menyerahkan apa yang seharusnya menjadi milikmu pada mereka?”

“Alasannya cuma satu, Brian. Aku sudah bosan berurusan dengan mereka. Aku tidak ingin berhadapan dengan mereka lagi. Aku muak.”

“Ya sudah kalo gitu, terserah padamu saja. Aku akan dukung semua yang menjadi keputusan kamu. Apapun pilihan kamu, aku akan mendukungnya. Ingat cari aku, jika kamu ada masalah dengan keputusan yang kamu ambil,” ucap Brian sambil tersenyum.

“Aku percaya padamu, Kania. Aku yakin, kamu sekarang adalah wanita kuat. Wanitanya tuan muda Aditama yang tidak mudah ditindas oleh orang lain,” ucap Brian lagi sambil menatap Kania penuh cinta.

Kania merasa sedikit grogi dan pipinya tiba-tiba merona hanya dengan ucapan sederhana yang Brian ucapkan barusan. Namun, ia berusaha menutupi apa yang ia rasakan dengan mendorong pelan bahu Brian.

“Jangan ngomong yang nggak-nggak Brian. Ingat! Kita cuma pasangan sandiwara saja. Jangan lupa hal itu.”

“Tidak akan. Aku tidak akan ingat hal itu, Kania. Karena menurut aku sekarang, kita bukan sekedar pasangan sandiwara, melainkan, pasangan yang sesungguhnya. Sepertinya, itu sudah tertulis di suratan takdir.”

“Alah … tahu dari mana kamu kalau kita ini adalah pasangan sesungguhnya yang tertulis di suratan takdir, ham?”

“Tahu dari suratan takdir.”

“Membual,” ucap Kania sambil mencubit pelan perut Brian.

“Jangan menggoda aku, Kania. Ingat! Aku masih normal.”

“Brian!” Kania kesal namun entah kenapa, hatinya malahan merasa sangat bahagia dengan candaan sederhana itu.

_____

“Ma, apa mama yakin ingin menerima lamaran Dafa jika orang tuanya benar-benar datang nanti malam?” tanya Burhan pada Salma saat mereka sama-sama berada di kamar.

“Tentu saja yakin, Pa.”

“Tunggu. Kenapa papa menanyakan hal itu pada mama? Apa papa tidak yakin mau menerima lamaran Dafa?”

“Mama tahu, Pa. Dafa itu sebelumnya adalah calon tunangan Kania. Walau bagaimanapun, Kania itu juga anak papa, kan? Sudah pasti dalam hati papa ada rasa berat untuk menerima Dafa. Karena seharusnya, Dafa bersama Kania, bukan Zara.” Salma berucap dengan nada sedih sambil menundukkan wajahnya.

“Kamu ngomong apa sih, Ma? Kok malah kesannya kamu mikir aku gak setuju karena aku sayang sama Kania. Kamu yang benar saja.”

“Tapi kenyataannya, memang seperti itu, Mas. Kamu terlihat sangat berat hati untuk menyetujui Dafa bersama Zara.”
“Jika memang tidak ingin melihat Kania sakit hati, ya udah. Tolak saja lamaran Dafa nanti malam.”

“Salma. Aku gak akan menolak lamaran itu. Karena aku sekarang tidak sedang memikirkan perasaan Kania, tapi sedang memikirkan perasaan Zara nantinya.”

“Maksud kamu, Mas?”

“Aku tidak ingin anak kita menyesal karena Dafa tidak sepenuhnya menikah karena cinta. Bagaimana jika Dafa menikahi Zara hanya karena ia ingin balas dendam pada Kania? Bukankah itu anak menyakitkan hati anak kita, Ma?”

“Kamu mikir terlalu jauh, Pa. Sepertinya, itu tidak akan terjadi. Karena aku bisa melihat keseriusan Dafa saat bicara tadi. Lagipula, Dafa tadi bilang, kalau dia akan menyatukan kedua perusahaan. Hal itu akan semakin memperkuat kedudukan Zara dalam hidup Dafa nantinya.”

Burhan terdiam sejenak. Benaknya mencerna setiap kata yang Salma ucapkan. Apa yang Salma katakan itu ternyata dibenarkan oleh benaknya.

“Apa yang mama katakan itu masuk akal, Ma. Dengan pernikahan Zara dan Dafa, kita juga bisa mendapat keuntungan. Jika benar dua perusahaan ini di satukan, kita punya peluang besar dalam dunia bisnis. Kita akan mampu bersaing dengan pembisnis kelas atas, Ma.” Burhan mendadak bahagia memikirkan apa yang ia katakan barusan.

“Itu papa tau.”
“Tapi Pa, bagaimana caranya kita bisa menyatukan kedua perusahaan, jika perusahaan dan seluruh warisan keluarga kamu tetap atas nama Kania? Itu sama aja dengan bohong, Pa.”

“Mama tenang aja. Besok, aku akan ajak Kania bertemu lagi. Jika dia benar-benar menginginkan barang-barang mamanya, maka dia akan datang.”

“Apa papa yakin Kania mau datang setelah apa yang terjadi tadi?”

“Tentu saja aku yakin. Karena kali ini, aku tidak hanya akan mengancam, melainkan serius memaksa.”

Salma tersenyum dalam hati. Ia merasa tidak sabar lagi untuk menunggu hari esok. Hari di mana Burhan meminta Kania menandatangani surat pemindahan harta warisan yang selama ini ia tunggu-tunggu.

Malam harinya, seperti yang sudah di kabari Dafa tadi senja, kedua orang tuanya datang untuk melamar Zara. Tidak banyak pembicaraan yang mereka bicarakan, karena kedua belah pihak sama-sama sudah tahu maksud dan tujuan dari pertemuan itu.

Karena permintaan Dafa, mereka tidak mengadakan pesta pertunangan lagi. Karena ia tidak ingin berlama-lama menjalin hubungan, Dafa langsung meminta pernikahan saja. Hal itu disetujui oleh Burhan dan Salma. Mereka menerima lamaran dadakan itu dan menerima usulan pernikahan langsung tanpa acara pertunangan.

Setelah menetapkan hari pernikahan, keluarga Dafa pun pamit pulang dengan meninggalkan cincin berlian sebagai tanda pengikat. Pengikat tanda Zara sudah ada yang memilikinya.

Setelah keluarga Dafa pulang, Zara dengan rasa tidak sabaran lagi beranjak dari ruang tamu menuju kamar. Sampai di kamar, ia melompat-lompat kegirangan dengan perasaan yang sangat amat bahagia, sambil terus melihat cincin berlian yang terselip indah di jari manisnya.

“Ya Tuhan ya Tuhan … demi apa ini? Aku beneran udah tunangan dengan kak Dafa sekarang. Ya ampun, rasanya bahagia banget tau gak?” Zara berucap sambil terus melihat cincin tersebut. Kemudian, ia kecup cincin itu dengan perasaan sangat bahagia.

“Sekarang, aku udah tunangan dengan kak Dafa. Gak tahu ya, bagaimana perasaan Kania kalo tahu aku udah tunangan dengan pacarnya. Eh salah, mantan pacarnya,” ucap Zara sambil tersenyum licik.

 

Episode Selanjutnya
episode sebelumnya