Jumat, 18 Maret 2022

Episode 52 Perjodohan Membawa Bahagia

 Episode 52 Perjodohan Membawa Bahagia

 

Perjodohan Membawa Bahagia

Kania masih diam. Ia kelihatannya begitu enggan untuk bicara. Karena rasa malu, juga karena ia tidak ingin membebani Brian dengan masalah hidup yang ia hadapi sekarang.

“Ya sudah, jika kamu tidak ingin berbagi cerita dengan aku, maka aku tidak akan memaksa. Sekarang, sebaiknya kamu istirahat agar pikiranmu semakin tenang,” ucap Brian sambil bangun dari jongkoknya.

Tidak ingin membuat Brian kecewa dengan apa yang ia lakukan. Kania bergegas menahan tangan Brian. Ia pun mengangkat kepalanya untuk melihat wajah Brian. Brian tersenyum manis pada Kania.

“Ayo istirahat. Biar pikiranmu semakin tenang,” kata Brian sambil terus memperlihatkan senyum manisnya.

“Brian … aku … aku ingin berbagi kisah duka ku padamu. Apakah … apakah kamu bersedia mendengarkan kisah pilu ini?” tanya Kania sedikit gelagapan karena gugup sambil menundukkan wajahnya.

“Tentu saja aku bersedia. Malahan … sangat amat bersedia, Kania.”

“Brian, aku hatiku hancur sekarang. Rasanya, dada ini tidak bisa bernapas karena terlalu sakit.”

Kania pun menceritakan tentang apa yang terjadi pada Brian. Brian mendengarkan dengan seksama apa yang Kania katakan. Meskipun sebenarnya, dalam hati Brian ada rasa cemburu yang membakar perlahan. Tapi, sekuat tenaga ia berusaha menahan rasa itu agar tidak terlihat oleh Kania.

“Kania, kamu cantik dan baik hati. Aku sarankan padamu, supaya kamu melupakan saja soal kenangan lama dan mengikhlaskan semua itu berlalu. Kenangan, biarlah menjadi kenangan. Karena sekarang, masa depan bahagia sedang menanti dirimu.”

"Jika laki-laki itu begitu bodoh menyakiti dan melupakan kamu begitu saja. Maka ingatlah, ada laki-laki lain yang sedang menunggu kamu. Tentunya, laki-laki itu lebih baik dari pada laki-laki yang menyakiti kamu saat ini. Contohnya … "

Brian tidak melanjutkan kata-katanya lagi. Karena sekarang, ia tidak berani mengajak Kania bercanda. Mengingat hati Kania yang sedang sangat rapuh sekarang, mungkin Kania akan semakin rapuh jika ia ajak bercanda.

“Contohnya apa, Brian?”

“Contohnya aku … Kania. Tapi tidak. Itu bukan bercanda. Aku serius.” Brian berucap dengan cepat agar Kania tidak salah paham.

"Kamu bisa aja … "

Belum sempat Kania menyelesaikan kata-kata yang ingin ia ucapkan pada Brian, ponselnya berdering, yang menandakan ada panggilan masuk ke nomornya. Perhatian Kania dan Brian sama-sama terfokus pada ponsel yang ada di samping mereka saat ini. Tertera nama papa Burhan di sana.

Kania tidak langsung menjawab panggilan tersebut. Karena dia merasa enggan untuk menjawab panggilan itu. Ia melirik Brian yang sedang berada di sampingnya saat ini.

“Ada apa Kania?” tanya Brian sedikit penasaran.
“Kenapa tidak diangkat saja panggilannya? Apa … kamu mau aku yang mengangkat panggilan ini?”

“Tidak. Tidak perlu. Biar aku saja.”

Kania lalu menggeser layar ponsel untuk menjawab panggilan dari papanya. Setelah panggilan tersambung, tanpa ada basa-basi, yang menelpon langsung bicara apa tujuan ia menghubungi Kania sekarang.

“Aku ingin kamu datang ke rumah besok malam. Kita selesaikan semua urusan kita sampai tuntas. Aku harap kamu datang. Jika tidak, maka aku akan membakar barang-barang milik almarhumah mama mu dan menghancurkan rumah beserta taman bunga milik nenekmu.”

Setelah bicara panjang lebar tanpa memberikan kesempatan Kania untuk menjawab, panggilan tersebut langsung saja diputuskan oleh si penelpon. Kania yang bisa menarik napas dalam-dalam tanpa tau harus berbuat apa.

“Papamu kelihatannya sangat membenci kamu, Kania. Tapi, tidak usah dipikirkan soal itu. Jika dia tidak suka, maka biarkan saja. Karena sekarang, kamu tidak sendirian. Ada aku bersama kamu,” ucap Brian sambil merangkul bahu Kania dengan lembut untuk ia bawa ke dalam pelukannya.

Kania tidak menolak. Ia malahan mengikuti saja apa yang Brian lakukan. Bagi Kania, tempat ternyaman sekarang, ya pelukan Brian. Walaupun Brian terkesan menyebalkan kemarin, tapi sekarang, kehadiran Brian malahan sangat menenangkan hati Kania.

“Aku tidak tahu kenapa papa begitu benci padaku, Brian. Padahal sebenarnya, aku ini adalah anak kandung papa.”

"Karena papa mungkin tidak punya mata dan hati Kania. Dia tidak bisa melihat kebaikan dan ketulusan kamu. Tidak seperti … "

‘Ya Tuhan … kenapa aku malah kumat lagi sih?’ Brian kesal pada dirinya sendiri sekarang.

“Maaf Kania,” ucap Brian lirih.
“Aku hanya ingin membuat kamu merasa nyaman dengan kehadiranku di sisimu.”
“Dan, mengalihkan perasaan sedih yang ada di hatimu saat ini.”

“Brian, kamu tidak salah. Tapi … kamu adalah laki-laki paling menyebalkan yang pernah aku temui. Kamu selalu bikin aku merasa kesal. Tapi perlahan, kamu juga membuat aku merasa nyaman.” Kania berucap dengan jujur.

Entah mengapa, dan entah apa sebabnya. Malam ini, ia begitu ingin terbuka pada Brian. Rasanya, cuma Brian yang ia punya dan yang paling memahami apa yang ia rasakan. Makanya, ia begitu ingin berbagi semua kisah dan semua cerita hidupnya pada Brian sekarang.

“Aku akan pertahankan sikapku itu untukmu, Kania. Agar kamu tidak pernah bosan dengan keberadaan aku.”

“Oh ya, sebaiknya, kita istirahat sekarang agar pikiranmu semakin tenang. Kamu juga harus mempersiapkan energi dua kali lipat untuk pertempuran besok, bukan? Untuk itu, aku sarankan kamu melupakan kesedihanmu malam ini, dan tidurlah dengan nayaman.”

“Kamu ada-ada saja, Brian. Jangan mulai lagi. Sudah cukup rasa kesal yang kamu berikan hari ini. Aku sudah merasa kenyang.”

“Aku serius, Kania. Bukankah kamu ingin berperang melawan keluargamu besok? Kamu harus punya energi doble agar tidak sakit hati.”

“Oh ya, kamu mau aku ikut serta atau tidak?” tanya Brian baru ingat dengan peran dirinya sekarang.

“Tidak perlu. Aku bisa mengatasi semua ini. Aku tidak ingin kamu dapat masalah. Karena kita punya masalah masing-masing. Jadi sebaiknya, kita selesaikan masing-masing saja.”

“Bagaimana jika aku ingatkan lagi soal perjanjian yang sama-sama kita sepakati sebelum menikah kemarin, Kania? Apa kamu tidak keberatan?”

“Tidak perlu Brian. Karena aku masih mengingat perjanjian itu dengan baik. Tapi, aku sekarang benar-benar yakin kalau aku masih mampu melawan keluargaku sendirian. Aku masih belum membutuhkan bantuan mu sekarang. Namun, jika aku tidak berhasil, maka aku akan minta bantuan kamu. Aku harap kamu bersedia membantuku, ketika aku membutuhkan bantuan darimu nanti.”

“Hei … tentu saja aku bersedia, Nona Kania. Karena saat ini saja, aku sangat bersedia. Hanya saja, kamu tidak menginginkan bantuan dariku.”
“Tapi … sudahlah. Aku yakin nanti kamu pasti membutuhkan aku.”

“Ya sudah, ayo istirahat!”
“Jika kamu merasa tidak nyaman tidur satu ranjang denganku, maka aku akan tidur di bawah. Atau, aku bisa tidur di sofa saja.”

Kania menatap Brian dengan tatapan haru. Entah kenapa, ia merasa, kata-kata yang Brian ucapkan itu benar-benar menyentuh hatinya.

 

Episode Selanjutnya
episode sebelumnya