Episode 54 Perjodohan Membawa Bahagia
Pak Hadi dan bu Ninik pun beranjak untuk meninggalkan Sintya. Tapi, baru beberapa langkah keduanya bergerak, Sintya kembali menahan langkah keduanya.
“Tunggu!”
Langkah mereka pun tertahan. Dengan berat hati, keduanya kembali memutar tubuh untuk melihat Sintya.
“Iya, nona Sintya. Ada apa?” tanya pak Hadi dengan perasaan malas.
“Aku minta kunci cadangan kamar kak Brian. Sini. Mana kuncinya.” Sintya bicara dengan nada angkuh dengan tangan yang ia lipat kan ke perut.
Mendengar apa yang Sintya katakan, pak Hadi dan bu Ninik saling pandang. Mereka tak mengerti kenapa Sintya tiba-tiba menginginkan kunci cadangan kamar Brian sekarang.
“Kenapa bengong! Mana kuncinya?” tanya Sintya dengan nada tinggi membentak pak Hadi dan bu Ninik.
Keduanya kaget dengan bentakan itu. Mereka segera sadar dari apa yang mereka pikirkan sebelumnya.
“Maaf nona Sintya, kamar tuan muda tidak ada kunci cadangannya,” kata pak Hadi menjawab dengan cepat.
“Iya nona Sintya. Jika pun ada, kami tidak tahu di mana tuan muda menyimpannya. Karena semua kunci cadangan vila ini, berada di tangan tuan muda, atau … mas Johan.”
“Sialan. Di mana Johan sekarang?” tanya Sintya dengan kesal.
"Mas Johan … "
“Di mana dia! Ngomong itu aja susah!”
“Mas Johan izin pulang ke rumahnya, nona Sintya.”
“Sialan. Kenapa semuanya bikin kesal aku aja sih?”
Sintya beranjak meninggalkan kamar Brian dengan melewati pak Hadi dan bu Ninik dengan mendorong bahu keduanya dengan kasar. Ia berjalan dengan membawa hati kesalnya ke kamar.
Pak Hadi dan bu Ninik hanya bisa menahan rasa kesal dalam hati mereka saja. Jika saja Sintya itu bukan adik sepupu Brian, dan bukan keponakan kesayangan tuan besar mereka, sudah pasti mereka akan memberikan pelajaran pada Sintya. Agara gadis itu kelak tidak kurang ajar lagi.
“Uh … untung saja tuan muda tidak menyetujui permintaan tuan David untuk menikahi nona Sintya. Kalau tidak, aku sudah pasti mengundurkan diri di hari pernikahan itu juga,” kata bu Ninik kesal.
“Sabar. Yang terpenting, sekarang tuan muda sudah punya istri. Walau sekeras apapun tuan David berusaha menjodohkan tuan muda dengan nona Sintya, tetap saja, tidak akan berjalan mulus karena status tuan muda sekarang sudah berbeda,” kata pak Hadi menyemangati bu Ninik.
“Benar. Aku akan bantu tuan muda dan nona Kania agar mereka tetap bersama. Bagaimanapun caranya.”
Sangking semangatnya bu Ninik, ia lupa memperhatikan nada bicaranya. Ia bicara dengan nada tinggi yang membuat pak Hadi cemas.
“Ssttt. Jangan keras-keras. Jika nona Sintya dengar, bisa bahaya.”
“Aku tidak peduli. Biar saja dia dengar sekalian. Biar dia tahu, siapa dia sebenarnya.”
“Jangan. Yang kita takuti itu bukan nona Sintya nya. Tapi, tuan besar Davidson. Karena nona Sintya itu anaknya suka ngadu. Kita bisa bahaya jika ia ngadu. Karena kita pasti akan kehilangan kesempatan untuk membantu tuan muda dan nona Kania.”
“Pak Hadi benar juga,” kata bu Ninik membenarkan. “Ya sudah kalo gitu, aku ingin segera kembali ke kamar. Permisi pak Hadi, aku duluan.”
“Eh, barengan saja. Bukankah kita akan melalui jalan yang sama?”
“Ah, pak Hadi bisa aja,” ucap bu Ninik malu-malu dengan wajah merona.
Keduanya pun beranjak meninggalkan kamar Brian menuju lantai bawah, di mana kamar mereka berdua berada. Sementara di dalam kamar Brian, keduanya saling tatap saat mereka tidak lagi mendengarkan ada suara di depan kamar mereka.
“Apa mereka udah pergi ya?” tanya Kania agak ragu.
“Mungkin.” Brian menjawab singkat.
“Sudah, sebaiknya kamu istirahat sekarang,” kata Brian lagi.
“Brian. Boleh aku tanya sesuatu?”
Kania terlihat semakin ragu, membuat Brian yang sudah berbaring terpaksa bangun kembali. Dengan tatapan penasaran, ia tatap wajah Kania lekat-lekat.
“Ada apa? Tanya saja apa yang ingin kamu tanyakan. Utarakan semua yang mengganjal dalam hatimu, Kania.” Brian menatap Kania dengan tatapan penuh perasaan.
“Kamu janji tidak akan marah, dan tidak akan anggap aku ikut campur urusan pribadi kamu?”
Brian tersenyum mendengarkan apa yang Kania katakan. Karena apa? Tentu saja karena ia ingat isi dari surat perjanjian yang sama-sama mereka sepakati sebelumnya.
“Kenapa kamu senyum?” tanya Kania agak kesal.
Brian semakin melebarkan senyum manisnya. Kini, gigi-gigi putih yang berjejer itu sedikit kelihatan karena sangking lebarnya Brian tersenyum.
“Kamu lucu, Kania. Dengan wajah takut itu, kamu terlihat semakin lucu saja.”
“Sudah, jangan takut untuk menanyakan apapun padaku. Karena mulai dari detik ini, perjanjian yang aku buat, aku batalkan semuanya.”
“Mak–maksud kamu?”
“Yah … tidak ada perjanjian pernikahan lagi sekarang. Karena mulai dari detik ini, aku adalah suami sesungguhnya kamu.”
“Brian.”
“Aku serius, Kania Hermansyah. Aku sungguh ingin menjadikan kamu sebagai istri sesungguhnya aku. Dan, seperti yang telah aku katakan sebelumnya. Aku akan buktikan padamu, kalau yang aku katakan itu bukan bohongan alias, bukan sandiwara.”
“Aku akan meyakinkan hatimu, Kania. Kalau aku pantas dan berhak menjadi suami kamu yang sesungguhnya.”
“Aku tidak akan mempermasalahkan kamu ragu padaku sekarang. Karena nanti, aku janji, aku akan membuat hatimu benar-benar yakin, kalau aku pantas mendapatkan cintamu dan pantas menjadi suami sesungguhnya, nona Kania.”
Kania terdiam. Perlahan, benaknya mencerna setiap kata yang Brian ucapkan. Hatinya mulai tumbuh rasa cinta. Hanya saja, ia tidak ingin mengakui rasa itu. Sekuat tenaga, ia menutupi rasa yang tumbuh secara perlahan dalam hatinya. Karena bagi Kania, ia masih membutuhkan banyak keyakinan untuk menerima cinta baru dalam hatinya.
Melihat Kania termenung, Brian pun berniat menyadarkan Kania dengan mengalihkan pokok pembicaraan mereka. Ia menyentuh pelan tangan Kania dengan sangat lembut.
“Sudahlah. Jangan dipikirkan apa yang aku katakan barusan. Karena kamu tidak perlu memikirkan apa yang aku katakan, melainkan, melihat bukti dari semua yang aku ucapkan nanti.”
“Oh ya, katanya ada yang ingin kamu tanyakan padaku. Tanyakan saja! Ingat, jangan buat aku mati penasaran, karena aku akan jadi hantu gentayangan akibat penasaran.”
“Brian ih … ada-ada saja kamu,” ucap Kania sambil reflek memukul dada Brian dengan manja.
“Aku serius Kania.”
“Hm … bikin kesal aja.”
“Aku?” tanya Brian sambil menunjuk wajahnya.
“Iya. Kamu. Siapa lagi coba?”
“Aku tampan gini kamu bilang bikin kesal? Yang benar saja kamu, Nona Kania Hermansyah. Mana ada aku bikin kesal. Yang ada, aku itu bikin kangen, tahu gak?”
“Ih, narsis banget kamu tuan muda.”
“Wah … ada yang ingin aku cium nih.” Brian berucap dengan tatapan genit menggoda.
“Brian!” Kania kesal bukan kepalang. Ia pun memasang wajah manyun, namun dengan hati yang sangat bahagia.