Episode 55 Perjodohan Membawa Bahagia
Bukannya takut dan merasa bersalah, Brian malah semakin bahagia dan semakin bersemangat untuk menggoda Kania. Sedangkan Kania sendiri, ia segera memikirkan ide agar segera terbebas dari godaan Brian.
Kania pun menemukan cara yang tepat agar ia bisa bebas dari godaan tersebut. Yaitu, dengan mengalihkan pokok pembicaraan mereka pada awal semula.
“Brian, jangan banyak tingkah. Bukankah awalnya aku ingin bertanya sesuatu padamu. Tolong jangan mengalihkan pokok pembicaraan kita,” ucap Kania pura-pura kesal.
“Lho, kok malah menyalahkan aku sih. Aku tidak mengalihkan pembicaraan sama sekali. Ya sudah, katakan saja apa yang ingin kamu tanyakan padaku. Aku akan jawab sejujur mungkin,” ucap Brian sambil tersenyum.
Dengan rasa sedikit enggan, Kania berusaha meloloskan suaranya agar ia bisa bertanya pada Brian. “Aku ingin tahu, kenapa kamu kelihatannya begitu tidak suka pada Sintya. Bukankah kalian sepupuan? Bukankah seharusnya, sepupu itu dekat satu sama lain, seperti sepupu pada umumnya.”
Brian tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan pandangannya dari Kania menjadi melihat lurus ke depan. “Aku tidak suka dengan sikapnya. Entah kenapa, aku semakin tidak suka pada dia saat papa memilih menjodohkannya dengan aku, dan dia setuju di jodohkan.”
“Cuma itu?” tanya Kania dengan perasaan tak percaya.
“Yah, cuma itu saja.”
Kania terdiam. Perasaannya mengatakan kalau bukan itu alasan Brian membenci Sintya, melainkan, ada alasan lain. Tapi sayangnya, ia tidak bisa menebak apa sebab sesungguhnya, dan Brian tidak ingin mengatakan sebab sesungguhnya itu.
Brian pun menoleh ke arah Kania kembali.
“Kania, sebaiknya kamu istirahat sekarang. Karena besok, kamu akan menghadapi sesuatu yang mungkin membutuhkan kesabaran ekstra.”
“Oh, iya.” Kania berucap singkat. Kemudian, langsung berbaring membelakangi Brian.
‘Maaf Kania, aku tidak bisa mengatakan hal yang sesungguhnya. Karena alasan itu tidak punya bukti. Makanya, aku tidak bisa mengatakan alasan itu padamu sekarang,’ kata Brian dalam hati sambil melihat punggung Kania.
Di kamarnya, Sintya sedang membicarakan apa yang sudah terjadi barusan pada Davidson. Ia langsung menghubungi Davidson setelah kembali ke kamarnya.
“Om harus datang dan lihat sendiri bagaimana sikap kak Brian padaku, om. Kak Brian sekarang makin menjadi-jadi saja. Dia semakin melupakan aku setelah punya istri,” kata Sintya sambil menangis. Tentunya, tangisan dengan air kata buaya.
“Maafkan om, Sintya. Ini adalah kesalahan om yang paling om sesali. Om tidak seharusnya mendatangkan perempuan itu ke dalam kehidupan Brian.”
“Nasi sudah jadi bubur, om David. Sekarang, yang bisa om lakukan hanyalah memisahkan mereka dan secepatnya menikahkan aku dengan kak Brian.”
“Iya, om tau sayang. Tapi, kamu harus sabar ya. Tidak semudah itu untuk menyelesaikan masalah ini. Kita butuh waktu Sintya.”
“Sabar apanya om? Sintya udah sabar sejak lama. Sejak kapan taun lho om. Masa Sintya harus sabar lagi sekarang. Apa Sintya harus sabar sampai kak Brian punya anak dengan perempuan itu, hm?”
“Sabar Sintya. Kamu tenang saja, om yakin kalo itu tidak akan pernah terjadi. Karena om tahu bagaimana Brian. Om yakin kalau pernikahan mereka itu hanya sebatas sandiwara saja.”
“Om selalu saja bilang sabar-sabar padaku. Om tidak tahu bagaimana perasaanku. Apa om ingin aku sedih dan kecewa lagi dan lagi? Apa om lupa dengan janji om padaku sekarang? Apa aku harus mengulangi kembali janji itu agar om ingat?”
“Tidak sayang. Tidak perlu. Om sepenuhnya masih mengingat dengan sangat baik janji om padamu. Meskipun janji itu sudah berlalu dua belas tahun yang lalu. Tapi om masih mengingat janji itu dengan sangat baik.”
“Ya sudah kalo gitu, jika om masih mengingatnya, aku ingin om menepati janji itu secepat mungkin. Jangan buat aku menunggu terlalu lama.”
“Iya sayang, iya. Om akan tepati janji itu nanti. Om janji, secepatnya.”
Sintya tersenyum menyeringai setelah sambungan telepon terputus. Ia menatap layar ponsel dengan tatapan datar, kemudian semakin melebarkan senyum di bibirnya.
“Janji? He he he.”
Sintya terkekeh sambil terus memikirkan apa yang Davidson katakan barusan. Tiba-tiba, pikiran Sintya melayang mundur pada dua belas tahun yang lalu. Saat di mana semua itu terjadi.
Dua belas tahun yang lalu. Saat Sintya baru berusia delapan tahun, Brian dan mamanya berangkat keluar negeri untuk berlibur. Sedangkan Davidson, ia harus tinggal karena banyaknya pekerjaan yang harus ia selesaikan.
Malangnya, dua hari setelah keberangkatan Brian dan sang mama, Davidson mendadak demam tinggi sampai tidak sadarkan diri selama beberapa hari. Saat itulah, Davidson yang ditinggalkan oleh keluarga, sangat membutuhkan seseorang selain pembantu yang bekerja di rumahnya untuk merawat dan menemani dia yang sedang sakit.
Saat itulah, seorang gadis kecil muncul sebagai penyelamat yang siap menemani dan melayani, mengisi kekosongan hari-hari Davidson. Davidson merasa berhutang budi pada gadis kecil itu, dan berjanji untuk membahagiakan sang gadis juga menjodohkan gadis tersebut dengan anaknya Brian setelah dewasa nanti.
Ingatan itu menghilang dengan senyum yang semakin melebar di bibir Sintya. Sintya tersenyum karena kebodohan Davidson. Menertawakan apa yang selama ini tidak diketahui oleh papanya Brian itu.
Sebenarnya, gadis kecil yang selalu ada dan selalu menemani Davidson saat itu bukanlah Sintya. Melainkan, Ratna. Kakak angkat Sintya yang sekarang sudah tiada.
Mendengar bahwa Davidson ingin menjodohkan Brian dengan gadis yang menemani dia saat ia butuhkan, Sintya didorong mamanya untuk tampil sebagai gadis tersebut dengan berbekalkan cerita dari sang kakak angkat yang bernama Ratna. Ratna yang malang, tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah dan mengalah. Ia pun menutup rapat-rapat rahasia tersebut sampai ia tiada.
________
Brian terbangun saat ia merasa, sesuatu yang berat sedang menindih dadanya. Dengan berat, ia membuka mata dan melihat, rambut seseorang sedang menghalangi pandangannya saat ini.
Saat itulah Brian sadar, kalau tubuh kepala Kania sedang berada di atas dadanya. Brian tersenyum senang. Meskipun ia merasa sedikit sesat, tapi hatinya bahagia. Ia membiarkan kepala Kania tetap berada di atas dadanya.
Beberapa menit kemudian, suara adzan terdengar merdu dari ponsel milik Kania. Dengan malas, Kania membuka matanya karena panggilan adzan tersebut.
Ia mengedip-ngedipkan matanya untuk mengumpulkan semua kesadaran yang masih berserakan. Saat kesadarannya sudah terkumpul sempurna, ia begitu kaget dengan apa yang sudah ia lakukan.
Dengan cepat, Kania ingin bangun dari baringnya untuk menjauh dari Brian. Sayang, seribu kali sayang. Rambut panjang miliknya tersangkut di anatar kancing piyama Brian. Alhasil, ia kembali jatuh dan mencium dada bidang Brian dengan lekat.
“Auh.” Kania berucap sambil mengelus kepalanya karena sakit.
Brian tersenyum dan tidak bisa menahan diri untuk bergerak. Ia yang awalnya pura-pura tidur, kini tertawa sampai tubuhnya bergerak.