Episode 57 Perjodohan Membawa Bahagia
Setelah berucap kata-kata itu, Sintya beranjak meninggalkan kamar Brian. Brian hanya bisa menggelengkan kepalanya tanpa tak mengerti dengan sikap Sintya.
“Gila. Dia benar-benar sudah gila.” Brian berucap dengan kesal.
“Tuan muda, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Johan cemas.
“Kenapa kamu tanya aku? Bukankah barusan kamu minta aku setuju untuk menikah dengan Sintya.”
“Ya Tuhan … perasaan, aku tidak berkata demikian. Makanya, jangan potong perkataan orang jika masih belum selesai.”
"Semakin lama, kamu semakin mirip bos ya Jo. Sedangkan aku, sepertinya bukan bos kamu lagi. Haruskah aku ingatkan hal itu … "
“Tidak-tidak. Aku hanya bercanda. Maafkan aku tuan muda. Aku hanya bercanda.” Johan berucap dengan nada takut.
“Tuan muda.”
“Perketat penjagaan vila ini, Johan. Awasi setiap gerak gerik Sintya. Jangan sampai kecolongan dan jangan sampai dia berbuat macam-macam. Aku tidak ingin terjadi kesalahan lagi.”
Seakan memahami apa maksud dari kata-kata yang Brian ucapkan, Johan langsung mengangguk. “Baik tuan muda, saya akan melaksanakan sesuai perintah dari tuan muda.”
“Oh ya, jangan lupa tambah penjagaan untuk Kania. Aku tidak ingin dia kenapa-napa. Dan juga, kirim orang untuk mengawasi keluarga Hermansyah. Awasi setiap gerak-gerik keluarga itu. Lapor padaku jika terdapat sedikit saja kejanggalan dari keluarga Hermansyah itu.”
“Siap tuan muda. Siap.”
“Ya sudah. Kamu boleh kembali.”
“Apa? Kembali? Ya Tuhan … aku baru datang tuan muda. Tidak adakah kata-kata manis dan niat baik dari tuan muda untuk mengajak aku sarapan bersama?”
Brian menatap tajam Johan.
“Ada tentunya. Tapi … jika kamu ingin kehilangan bonus bulanan mu yang rutin aku berikan padamu setiap bulannya.”
Johan membelalak karena kesal.
"Ya ampun. Cuma numpang sarapan aja aku harus kehilangan bonus bulanan yang rutin. Ampun … "
“Oh ya sudah kalo gitu, aku akan ganti syaratnya. Kamu mungkin butuh liburan ke padang pasir agar pikiranmu tenang.”
“Tidak-tidak. Tidak perlu. Aku akan pulang sekarang dan sarapan di rumahku saja.” Johan berucap dengan senyum tidak enak sambil segera beranjak pergi.
Brian yang kesal kembali masuk ke kamar, sedangkan Johan yang juga kesal, segera beranjak meninggalkan kamar Brian. Johan tidak pulang ke rumah, melainkan berjalan menuju dapur.
Pembicaraan mereka barusan itu bukanlah hal yang sesungguhnya. Hanya saja, dengan pembicaraan itu, Brian menyampaikan rasa kesal yang ada dalam hatinya pada Johan. Dan Johan memahami apa maksud dari pembicaraan mereka barusan. Karena mereka sebenarnya sudah sangat memahami perasaan satu sama lain.
“Bu Ninik.” Johan memanggil bu Ninik yang sedang sibuk di dapur.
“Ya mas Johan. Ada apa?” tanya bu Ninik sembari menghentikan kegiatannya karena panggilan dari Brian.
“Apa tadi malam ada masalah? Aku lihat sepertinya Brian sedang sangat kesal pagi ini. Apa Sintya bikin ulah?”
Bu Ninik tidak langsung menjawab. Wanita paruh baya itu malahan celingak-celinguk untuk memastikan ke adaan.
Johan yang tahu apa maksud dari celingak-celinguk nya bu Ninik, segera menarik napas panjang, lalu melepas dengan lambat.
“Tidak ada. Aku pastikan kalau tidak ada siapa-siapa selain aku dan bu Ninik di sini sekarang,” kata Johan.
“Nona Sintya emang bikin ulah lagi tadi malam. Ia bikin rusuh sejak makan malam dan melanjutkan ulahnya setelah tuan muda berada di kamar. Nona Sintya juga minta kunci cadangan kamar tuan muda, mas Johan.”
“Wah … sampai sejauh itu bu Ninik?”
“Ya mas Johan.”
“Mas Johan. Apa mas Johan setuju kalau nona Sintya menjadi istri tuan muda?”
Satu pertanyaan yang tiba-tiba membuat Johan kaget dan melotot tak percaya ke arah bu Ninik.
“Bu–bu Ninik ngomong apa barusan?”
“Ibu hanya bertanya mas Johan. Jika tidak keberatan, jawab saja. Jangan takut, ibu tidak akan bicara pada siapapun.”
Johan semakin dibuat bingung dengan kata-kata yang bu Ninik ucapkan padanya. Sejujurnya, ia tidak tahu apa maksud dari pertanyaan tersebut.
“Bu Ninik. Aku sungguh tidak memahami apa yang bu Ninik katakan. Urusan pribadi tuan muda, aku tidak mau ikut campur. Biarkan saja tuan muda yang menentukan. Karena aku hanyalah asisten yang jelas-jelas tidak punya hak apapun untuk mencampuri urusan pribadi tuan muda.”
“Terserah mas Johan mau ngomong apa. Yang jelas, jika mas Johan berada di pihak nona Sintya, maka mas Johan akan berhadapan dengan kami, para asisten rumah tangganya tuan muda.”
Johan hanya bisa melongo tanpa bisa berucap apa-apa lagi. ‘Kenapa hari ini aku merasa sangat sial. Kenapa semua orang malah menyudutkan aku dengan mengatakan apa yang tidak mereka ketahui dari aku sebenarnya. Ya ampun … sangat menyebalkan sekali,’ kata Johan dalam hati dengan perasaan sangat kesal.
_______
Seperti yang papanya minta, Kania kembali berangkat ke kediaman sang papa untuk menyelesaikan masalah yang masih tergantung. Brian tidak ikut, melainkan hanya mengantar Kania sampai ke mobil saja.
“Kamu yakin tidak ingin aku ikut bersamamu, Kania?” tanya Brian saat Kania bersiap-siap untuk menaiki mobil.
“Tidak Brian. Aku yakin masih bisa menyelesaikan masalahku sendiri. Sebaliknya, kamu yang harus bekerja keras untuk menyelesaikan masalah besar yang sedang menantimu sekarang.”
“Ya sudah kalo gitu. Kamu harus hati-hati. Jangan lupa kalau sekarang, kamu bukan nona keluarga Hermansyah, melainkan, istri tuan muda Aditama.”
“Cih … istri bohongan saja kan?” Sintya yang muncul dari pintu sambil sambil berjalan mendekat dengan membawa kertas di tangannya. Wajah Sintya terlihat begitu bahagia.
“Apa yang kamu katakan?” tanya Brian dengan perasaan sangat kesal.
“Kak Brian, sekarang kamu sudah tidak bisa mengelak lagi. Kamu sudah ketahuan membohongi aku dan membohongi om David, papamu. Kamu dan perempuan ini hanya pura-pura menikah. Kalian menikah karena perjanjian saja.”
“Apa sih yang kamu katakan, Sintya? Jangan banyak bicara, kalau tidak ada buktinya.”
“Kak Brian ingin bukti? Nih, lihat apa yang ada di tanganku.” Sintya membuka kertas tersebut.
Brian melebarkan matanya saat melihat kertas yang ada di tangan Sintya. Surat perjanjian yang sama-sama mereka tanda tangani sekarang ada di tangan Sintya.
“Kenapa? Kaget?” tanya Sintya dengan perasaan begitu bahagia.
“Benar yang om David katakan, kalau kalian itu menikah hanya sebatas sandiwara saja. Aku akan serahkan surat perjanjian ini pada om David sebagai bukti. Dengan begitu, kak Brian tidak punya alasan lagi untuk menolak permintaan om David.”
“Aku rasa, kak Brian tidak akan melupakan perjanjian antara om David dan kak Brian bukan? Jika kak Brian ketahuan menikah hanya pura-pura, maka semua aset yang telah tertulis atas nama kak Brian akan om David sita, jika kak Brian tidak ingin mengikuti apa yang om David katakan.”