Episode 65 Perjodohan Membawa Bahagia
Di rumah sakit, Sintya segera mendapatkan penanganan tim medis. Setelah memeriksa kondisi Sintya, dokter itu langsung menggelengkan kepalanya, tanda tidak ada harapan lagi.
Merasa ada yang aneh dari gelengan dan dokter yang memasang wajah murung, Sintya semakin sedih dan panik.
"Ada apa, Dok? Apa yang terjadi dengan wajah saya? Apa saya akan baik-baik saja? Apa … "
Sintya tidak melanjutkan pertanyaannya. Karena dia tahu betul, apa yang sedang terjadi saat ini dan bagaimana dengan kondisi kulitnya sekarang.
“Nona Sintya, kuatkan hati nona. Karena bagaimanapun, sebagai dokter, saya tidak bisa menyembunyikan hasil dari pemeriksaan saya pada nona.”
“Katakan, Dok! Katakan apa hasil dari pemeriksaan dokter sekarang juga!” kata Sintya dengan nada sedih sambil berteriak.
“Kulit wajah nona hancur. Ini penyakit langka yang masih belum bisa saya deteksi nama dan penyebabnya. Tapi, poin pentingnya adalah, kulit wajah nona tidak akan sembuh seperti semula. Walaupun nona melakukan operasi plastik kelak, tetap saja, tidak akan ada hasilnya sama sekali.”
Sintya melemah. Ia sesungguhnya sudah tahu efek racun itu seperti apa. Ia juga tidak bisa berbuat apa-apa sekarang.
“Aku tahu … aku tahu,” ucap Sintya sambil menunduk sedih.
“Kalau begitu, aku akan pulang saja sekarang.”
Sintya berniat beranjak dari ranjang yang ya tempati. Namun, dokter yang sedang menanganinya dengan cepat mencegah niat Sintya.
“Tunggu, Nona! Nona tidak bisa pulang sekarang. Nona harus tetap berada di rumah sakit ini untuk di rawat. Karena jika tidak, luka nona anak mengalami pembusukan. Itu akan semakin menyiksa nona lagi nantinya.”
Sintya mendengarkan apa yang dokter katakan. Ia membatalkan niatnya untuk pergi. Bukan karena takut lukanya membusuk, melainkan karena, ia tidak tahu harus pulang ke mana sekarang.
“Baiklah. Aku akan tetap di sini selama beberapa hari.”
“Kami sarankan agar nona Sintya berada di sini sampai luka di wajah nona mengering. Agar nantinya tidak terjadi pembusukan.”
“Terserah dokter saja.” Sintya berucap pelan tanpa semangat.
“Baiklah kalau begitu. Nona istirahat di sini, saya permisi dulu.”
“Ya, Dok.”
Dokter itupun beranjak meninggalkan Sintya. Namun, baru beberapa langkah dokter itu berjalan, Sintya tiba-tiba memanggil dokter tersebut. Sang dokter sontak langsung membatalkan niatnya untuk meninggalkan Sintya, lalu memutar tubuh kembali melihat Sintya.
“Iya nona. Ada apa?”
“Apakah saya bisa meminjam kertas dan pena? Ada yang ingin saya tulis soalnya.”
“Bisa. Nanti saya minta suster untuk mengantarkan apa yang nona inginkan ke kamar nona.”
“Baiklah. Terima kasih banyak, Dok.”
Dokter itu hanya menjawab dengan senyum. Lalu, ia kembali melanjutkan langkahnya untuk meninggalkan Sintya.
Di luar, saat pintu kamar tersebut terbuka, Johan dan Rian langsung menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana keadaan Sintya, dokter? Apa lukanya parah?” tanya Johan tak sabaran.
“Lukanya sangat parah. Ia harus di rawat di sini sampai lukanya mengering.”
“Apakah separah itu, dokter?” tanya Rian dengan wajah tak percaya.
“Ya. Lukanya sangat parah. Penyakit langka itu masih belum bisa saya simpulkan apa penyebabnya. Untuk itu, pasien harus tetap berada dalam pengawasan tim medis selama penyakit belum diketahui penyebab dan bagaimana penangananya.”
“Oh, begitu. Apakah kami bisa melihat pasien sekarang, dokter?” tanya Johan.
“Maaf, sebaiknya biarkan pasien istirahat dahulu. Karena pasien terlihat sangat syok sekarang. Ia butuh banyak waktu sendiri agar bisa menenangkan dirinya.”
Johan dan Rian saling tatap. Mereka ingin melihat Sintya namun tak berani membantah apa yang dokter katakan. Pada akhirnya, mereka hanya bisa pasrah dan mengikuti apa yang dokter katakan saja.
“Baiklah kalau gitu, Dok. Terima kasih banyak,” ucap Johan sambil melirik Rian.
“Sama-sama. Permisi.”
“Iya.” Rian dan Johan menjawab serentak.
Dokter tersebut beranjak dari tempatnya. Selang beberapa menit kemudian, seorang suster datang menghampiri kamar Sintya dengan membawa pena dan kertas. Suster itupun di cegat oleh Rian, sedangkan Johan sedang berusaha menghubungi Brian untuk mengabarkan apa yang sedang terjadi di rumah sakit tersebut.
“Maaf suster, suster mau ke mana?” tanya Rian penasaran dengan wajah penuh selidik.
“Ke dalam, Pak. Ada apa?”
“Katanya … pasien tidak bisa di ganggu, Sus. Kok suster boleh masuk.”
“Pak, saya datang atas perintah dokter. Jadi, mohon jangan halangi saya,” ucap suster itu terlihat kesal.
“Oh, maaf. Saya tidak menghalangi suster. Hanya ingin memberitahu saja apa yang dokter katakan pada kami. Takutnya, dokter salah ngomong sama kami tadi.”
Suster itu hanya geleng-geleng kepala saja. Dengan tatapan kesal, ia melewati Rian yang berada di samping.
“Ya ampun, apakah salah apa yang aku katakan? Suster itu sepertinya tidak mengerti kalau aku ini sedang menaruh rasa curiga pada mereka semua.”
Mendengar kata-kata yang Rian ucapkan, Johan yang sedang bicara lewat telpon dengan Brian menoleh. “Ada apa, pak Satpam?” tanya Johan penasaran.
“Tidak ada apa-apa mas Johan. Nanti saja saya bicarakan. Setelah mas Johan selesai bicara dengan tuan muda.”
“Oh, baiklah. Sebentar lagi aku akan selesai bicara.”
Johan melanjutkan obrolannya dengan Brian, sedangkan Rian duduk di kursi tunggu untuk menunggu Johan selesai bicara. Sementara itu, di dalam kamar rawat Sintya, suster langsung menyerahkan kertas dan pena yang Sintya minta.
“Kamu bisa pergi sekarang juga,” ucap Sintya dengan nada angkuh seperti biasa.
Suster itu langsung meninggalkan Sintya dengan membawa rasa kesal dalam hati. Sintya tidak perduli dengan apa yang suster itu rasakan. Ia malahan, segera menulis sesuatu di atas kertas yang baru saja ia terima.
Saat polisi sampai ke rumah sakit, Sintya sudah menyelesaikan apa yang ia tulis. Kemudian, ia beranjak dari ranjang yang sedari tadi ia duduki.
Sintya berjalan menuju jendela kamar tersebut. Kamar itu berada di lantai tiga dan tepat berada di posisi belakang rumah sakit. Sintya membuka jendela kamar itu, lalu melihat ke bawah.
“Kak Brian, mungkin inilah yang kamu inginkan dari aku. Pergi jauh meninggalkan kamu untuk selama-lamanya,” ucap Sintya sambil menangis dengan memegang dadanya. Dada itu terasa sangat perih ketika ia mengingat sikap Brian padanya selama ini.
Sintya menyeka air matanya. Kemudian ia tersenyum. “Aku yang salah. Sejak awal, akulah yang salah. Selamat tinggal kak Brian. Semoga kamu merasa bahagia dan puas dengan kepergian aku,” ucap Sintya sambil berusaha memanjat jendela tersebut.
Ketika Sintya berhasil memanjat jendela, pintu kamar langsung terbuka. Johan dan Rian masuk ke dalam. Betapa kagetnya mereka ketika melihat Sintya yang berada di ambang jendela dengan posisi yang sudah bersiap-siap untuk melompat.
“Nona Sintya!” Johan berteriak memanggil nama Sintya dengan cemas.