Jumat, 18 Maret 2022

Episode 66 Perjodohan Membawa Bahagia

Episode 66 Perjodohan Membawa Bahagia

 

 

Perjodohan Membawa Bahagia

“Nona Sintya!” Johan berteriak memanggil nama Sintya dengan cemas.

“Apa yang akan kamu lakukan, Nona! Tolong turun sekarang!” ucap Rian berusaha membujuk.

“Kalian. Untuk apa kalian datang ke kamarku? Apa karena perintah dari kak Brian, ham?” tanya Sintya sambil tersenyum.

“Tidak. Kami datang bukan karena perintah dari tuan muda. Tapi, kami datang atas keinginan kami sendiri. Karena kami merasa cemas dengan keadaan nona Sintya. Kami ingin melihat bagaimana keadaan nona Sintya tadinya.”
“Nona, tolong turun. Kita bicarakan baik-baik,” kata Johan lagi dengan nada memohon penuh harap.

Bukannya mendengarkan apa yang Johan katakan, Sintya malah tersenyum ke arah Johan yang sedang memasang wajah cemas.
“Sudah ku duga, kalau kak Brian sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaanku sekarang. Jangankan perasaan, keadaanku saja dia tidak perduli,” kata Sintya dengan nada pilu.

“Sampaikan pada kak Brian ucapan maaf dariku. Aku tidak bisa bertahan di sini lagi.”

“Nona jangan gegabah. Ayo turun dan bicara baik-baik,” kata Johan berusaha membujuk.

“He … bicara baik-baik. Dengan siapa? Dengan kamu? Atau … dengan kak Brian?”
“Tidak. Aku rasa tidak ada yang bisa dibicarakan lagi. Aku sudah hancur seperti ini, maka tidak ada alasan lagi untuk aku tetap bertahan. Sampaikan saja maaf ku pada kak Brian. Semoga dia bahagia bersama pilihan hatinya.”

“Nona Sintya. Saya yakin kalau tuan muda masih bisa diajak bicara baik-baik. Karena dia punya hati yang lembut, kok nona. Nona tenang saja. Saya akan bantu nona bicara nantinya,” ucap Rian berusaha membujuk.

Sintya tertawa mendengarkan kata-kata yang Rian ucapkan barusan. “Kamu hanya seorang kacung. Mana kamu tahu bagaimana sifat keras kepala kak Brian. Jangankan kamu yang bicara, papanya saja tidak mau ia dengarkan. Cih! Percuma!”

Rian kesal. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Ia terpaksa menahan rasa kesal itu dengan menggenggam tangannya erat-erat.

‘Ya sudah kalo gitu, mati saja kamu sana. Hidup juga bikin susah,’ ucap Rian dalam hati.

"Nona, saya mohon nona turun. Masih banyak yang bisa nona lakukan untuk menebus kesalahan nona dan mengembalikan kepercayaan tuan muda pada nona. Juga, masih banyak orang yang sayang pada nona. Nona tidak sendiri. Pikirkan bagaimana mama nona jika nona tiba-tiba mengakhiri hidup. Nona … "

Perkataan Johan tiba-tiba tertahan akibat kedatangan beberapa polisi dengan menodongkan senjata mereka masuk ke dalam kamar tersebut. “Jangan bergerak! Angkat tangan kalian!” kata polisi itu dengan nada tegas.

Melihat ke datangan polisi, Sintya kaget dan tergelincir dari pijakannya. Tangannya yang tidak bisa menggapai sanding jendela itu pun tidak bisa menahan tubuh untuk tidak jatuh ke bawah.

"Aaaaaaaaa … " Sintya terjatuh dengan jeritan yang memilukan.

“Nona Sintya!” Teriak Johan dan Rian serentak sambil berlari menuju jendela.

Sayang, saat mereka melihat ke bawah, tubuh Sintya sudah tergeletak di bawah sana dengan darah segar yang mengalir. Meskipun ia jatuh di atas tumpukan rumput, tapi jatuh dari lantai tiga, bukan sesuatu yang bisa dianggap main-main.

Mereka pun bergegas meninggalkan kamar tersebut untuk melihat tubuh Sintya yang jatuh di belakang rumah sakit. Seketika, rumah sakit itu gempar akibat kejadian itu. Semuanya panik, semuanya yang bisa melihat, pergi melihat. Keadaan sangat sibuk gara-gara Sintya.

Saat dokter memeriksa keadaan Sintya, denyut nadinya masih ada. Namun sayang, jatuh dari ketinggian lantai tiga, tidak bisa membuat Sintya bertahan lama. Beberapa saat kemudian, Sintya dinyatakan meninggal oleh tim medis.

Kabar itu sampai pada Brian, saat Brian sedang berada di kamar bersama Kania. Senja menjelang malam, ia sedang duduk di atas ranjang sambil mendengarkan Kania bercerita tentang apa yang terjadi hari ini.

“Apa! Sintya meninggal?” tanya Brian ketika Johan mengabarinya soal Sintya.

Kania yang mendengarkan apa yang Brian ucapkan, ikut terlonjak kaget. Ia membulatkan matanya lebar-lebar sambil menutup mulut.

“Baiklah. Saya ke sana sekarang juga,” ucap Brian pada Johan.

Sambungan telpon terputus. Kania segera bertanya apa yang sebenarnya terjadi pada Sintya.

“Sintya meninggal akibat loncat dari lantai tiga rumah sakit. Aku akan ke sana sekarang.”

“Aku ikut,” ucap Kania sambil bangun dari duduknya.

“Jangan Kania. Kamu tunggu di rumah saja bersama bu Ninik dan pak Hadi.”

“Tapi Brian. Aku ingin ikut.”

“Kania, kamu sudah kecapean seharian ini. Sebaiknya, kamu tunggu di rumah saja. Aku akan ceritakan padamu setelah aku pulang nanti. Lagipula, hari sudah malam. Aku mungkin akan pulang larut. Kasihan kamu nantinya.”

"Tapi Brian … "

“Dengarkan aku ya …” Brian berucap sambil memegang pipi Kania dengan lembut.
“Aku tidak akan tenang jika kamu ikut aku. Soalnya, hari akan semakin malam sedangkan kamu baru saja melewati hari yang sangat melelahkan. Kamu harus istirahat sekarang agar aku tenang. Atau … aku tidak akan pergi ke rumah sakit sama sekali.”

“Baiklah-baiklah. Aku akan tinggal di rumah saja. Aku minta kamu hati-hati di luar sana. Jangan buat aku cemas. Cepat pulang setelah kamu menyelesaikan semuanya.”

“Tentu saja.”
“Baik-baik di rumah. Aku akan minta bu Ninik menemani kamu di kamar nanti sampai aku pulang.”

“Terserah kamu saja. Aku juga masih butuh teman sebenarnya.”

“Kamu butuh teman, apa butuh aku?” tanya Brian dengan nada menggoda.

"Brian. Kamu apa-apaan sih? Apa tidak ada rasa bersalah sedikitpun atas kabar yang kita dapatkan barusan. Kamu sepertinya tidak merasa berduka sedikitpun atas kabar itu. Kamu ini bagaimana sih? Dia itukan … "

“Ssttt. Jangan teruskan lagi,” ucap Brian sambil menempelkan jari telunjuknya ke bibir Kania.
“Jika kamu tanya aku merasa bersalah atau tidak, jawabannya sudah pasti tidak. Karena aku merasa tidak punya salah pada dia. Tapi, jika kamu tanya aku sedih atau nggak, jujur, aku merasa sedih. Karena bagaimanapun, dia adalah adik sepupuku. Walau cuma adik sepupu tiri.”

“Tapi … jika aku ingat lagi bagaimana sikap dan prilakunya padamu, juga pada orang-orang yang aku sayangi. Rasa sedih itu tiba-tiba hilang. Karena aku pikir, mungkin dia pantas mendapatkan semua ini. Karena ini adalah karma buat dia. Karma karena telah melukai orang-orang yang tidak punya salah padanya.”

“Akibat keserakahan dan ambisi yang ada dalam hatinya, ia tiba-tiba menjadi sangat tega dan jahat. Mungkin, inilah hukuman yang Tuhan berikan untuk dia. Untuk orang jahat,” kata Brian sambil menatap nanar lurus ke depan.

Kania diam saja. Ia tidak ingin menyela atau membantah apa yang Brian ucapkan. Karena sesungguhnya, ia tahu betul apa yang Brian rasakan sekarang. Jauh di lubuk hati Brian yang paling dalam. Ia pasti merasa sedih, terluka, dan kehilangan. Karena walau bagaimanapun, Sintya juga adalah saudaranya.

  

Episode Selanjutnya
episode sebelumnya