Jumat, 18 Maret 2022

Episode 68 Perjodohan Membawa Bahagia

 Episode 68 Perjodohan Membawa Bahagia

 

Perjodohan Membawa Bahagia

Setelah menerima perintah itu, Johan langsung menjalankan tugas sesuai yang Brian perintahkan. Malam itu juga, polisi menerima dan memproses permohonan yang Johan ajukan.

Setelah kabar duka itu sampai ke telinga Davidson, malam itu juga, Davidson memutuskan untuk berangkat pulang ke tanah air dengan jet pribadi miliknya. Tentunya, dengan mama Sintya yang juga ikut bersama dia pulang untuk melihat jasad sang anak.

Tangis sedih menghiasi perjalan mereka pulang ke tanah air. Hal yang tidak mereka sangka-sangka, kini telah terjadi dan menimpa mereka saat ini.

Sementara itu, Brian pulang ke rumah bersama Rian. Sedangkan Johan, terpaksa tinggal di rumah sakit karena beberapa alasan.

Saat Brian sampai ke rumah, ia menemukan Kania sudah terlelap di kamar tamu dengan di temani bu Ninik. Melihat Kania yang sudah terlelap dengan nyenyak bersama bu Ninik di sampingnya, Brian tidak ingin mengganggu. Ia membiarkan Kania tetap terlelap, bermain di alam mimpi.

Brian memilih kamar sebelah untuk ia berbaring mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Ia ingin segera tertidur agar apa yang ada dalam pikirannya saat ini bisa ia lupakan walau hanya sejenak saja. Tapi sayangnya, ia tidak bisa memaksa mata untuk tidur. Yang ada, mata itu enggan untuk terpejam karena beban pikiran yang sedang memberatkan benaknya.

Berjam-jam sudah berlalu. Matanya masih tidak mau tidur. Ia mencoba menghubungi Johan yang berada di rumah sakit untuk menanyakan keadaan di sana. Panggilan itu tidak Johan jawab, walau Brian sudah mencoba beberapa kali.

“Ya Tuhan … apakah dia tidur di sana? Atau … apa mungkin terjadi masalah yang sedang ia usaha selesaikan?” tanya Brian mencoba menebak.

Jam menunjukkan pukul tiga pagi saat Johan menghubungi Brian kembali. Dengan cepat, Brian menjawab panggilan tersebut karena sekarang, dia memang sedang sibuk mengutak-atik ponselnya.

“Ya Jo, ada apa?” tanya Brian dengan dada sedikit berdebar-debar.

"Maaf kan saya tuan muda, karena menghubungi tuan muda jam segini. Saya cuma mau bilang … "

“Anak kurang ajar! Tidak punya perasaan sama sekali kamu! Ke rumah sakit sekarang!”

Suara keras menggelengar membuat Brian kaget bukan kepalang. Ia sangat mengenali suara yang sedang berteriak melalui ponselnya barusan.

“Ya Ampun, ternyata sudah sampai.” Brian berucap sambil mengusap kasar wajahnya.

“Tidak bisakah ia menunggu besok pagi saja datangnya?” Brian bertanya pada dirinya sendiri.

Ia lalu bangun dari duduknya, kemudian menuju kamar mandi untuk sekedar mencuci muka. Brian menatap wajahnya beberapa saat.
Bunyi ponsel kembali terdengar, membuat Brian bergegas menyelesaikan apa yang ingin ia kerjakan.

Panggilan dari Johan kembali masuk ke ponsel Brian. Dengan rasa malas, Brian menjawab panggilan tersebut.
“Ya Jo, ada apa lagi?”

“Kenapa kamu belum datang, hah!” Itu bukan suara Johan melainkan suara papanya.

Brian menarik panas panjang sebelum menjawab. Kemudian melepas napas itu perlahan. “Baiklah, aku ke sana sekarang.”

Panggilan langsung terputus secara sepihak tanpa ada kata penutup sama sekali. Brian pun beranjak meninggalkan kamar tersebut. Sebelum pergi, ia sempatkan dirinya untuk melihat Kania yang sedang berada di kamar tamu.

Kania masih tertidur nyenyak di sana sekarang. Brian tersenyum melihat wajah polos tanpa beban itu sedang menikmati tidurnya indahnya.
Setelah mengecup pelan kening Kania, Brian langsung meninggalkan kamar tersebut.

______

Mobil yang Brian kendarai bersama pak Hadi akhirnya sampai di rumah sakit. Brian langsung keluar dari mobil tersebut dan bergegas menuju kamar di mana jasad Sintya berada.

Baru juga melihat wajah Brian, papanya langsung saja menghadiahkan sebuah pukulan pada Brain tanpa bicara terlebih dahulu. Brian yang tidak tahu akan mendapatkan pukulan tersebut, terhuyung akibat kerasnya dari pukulan itu.

“Tuan muda!” Johan kaget bukan kepalang. Ia segera menghampiri Brian dan membantu Brian untuk terap tegak.

“Anak kurang ajar kamu Brian! Bagaimana bisa adik sepupumu bunuh diri, hah!” Papanya terlihat sangat sedih, marah, dan kesal.

Brian tidak menjawab. Ia hanya diam sambil memegang sudut bibirnya yang terasa sangat perih.

Tantenya segera datang dengan wajah penuh air mata. “Apa yang terjadi pada adikmu Brian? Kenapa bisa seperti ini?”

Brian menatap tajam wajah tantenya. Ia menepis tangan Estri yang ingin menyentuh dirinya. “Ini semua karena kamu! Kamu yang telah menyebabkan semua ini terjadi!” Brian berucap dengan nada tinggi karena saat ini, ia begitu emosi ketika melihat wajah tersiksa yang tantenya perlihatkan.

“Brian! Apa kamu sudah gila! Di mana sopan santun mu sebagai keponakan, hah!” Davidson yang kesal semakin dibuat emosi dengan sikap Brian barusan.

“Johan. Berikan salinan surat itu pada tuan Davidson. Biar dia baca dengan seksama dan dia pahami apa yang sebenarnya terjadi selama ini,” ucap Brian pada Johan tanpa menjawab perkataan papanya.

“Baik tuan muda,” ucap Johan sambil merogoh saku celananya.

“Surat apa? Ada apa sebenarnya?” tanya Estri penasaran.

Johan langsung menyerahkan salinan surat yang Sintya tulis pada Davidson tanpa memperdulikan Estri sedikitpun.
“Ini surat yang nona Sintya tulis dan tanda tangani sendiri sebelum nona Sintya bunuh diri, tuan besar.”

Davidson menerima dengan perasaan penasaran. Lalu, ia buka surat itu, dan baca isi surat itu secara seksama. Mata Davidson melebar ketika ia membaca kata demi kata yang tertulis di atas kertas putih tanpa garis tersebut.

Davidson menggenggam erat tangannya ketika ia selesai membaca semua kata yang ada di kertas tersebut. Ia kesal dan sangat menyesali apa yang telah terjadi selama belasan tahun ini.

"Estri! Kamu … "

"Ada apa sih, Mas? Kenapa kamu berteriak padaku hah! Apa … "

“Lihat dan baca ini!” kata Davidson sambil menyerah kertas tersebut dengan kasar.

Estri menerima surat itu dengan perasaan campur aduk. Ia pun segera mencari tahu apa yang sebenarnya ada dalam surat itu. Mata Estri melotot ketika melihat pesan-pesan yang tertulis di atas kertas tersebut.

“Tidak! Ini tidak benar! Kalian pasti sedang mengarang cerita, bukan? Aku yakin, kalau kalian pasti sedang mengarang cerita untuk membuat aku menjadi bersalah,” ucap Estri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Mas David. Mereka bohong, masa kamu percaya dengan kebohongan yang mereka buat. Aku yakin, kalau mereka sudah mengarang tulisan ini untuk melindungi diri mereka,” ucap Estri berusaha meyakinkan Davidson.

“He … tante-tante. Kamu terlihat sedang sangat ketakutan sekarang. Kenapa? Apa kamu merasa kalau kami memang sedang mengarang cerita?”

“Tante Estri. Tante tiri ku. Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh ke bawah juga. Jadi, untuk apa kami mengarang cerita?”

“Selama belasan tahun kamu menyembunyikan sebuah kebenaran. Menutup rapar-rapat kebohongan dari kami semua. Menjadi duri dalam daging buat keluarga kami. Kau sungguh kejam. Tapi … bukan itu kekejaman kamu yang sesungguhnya, tante.”

 

Episode Selanjutnya
episode sebelumnya