Episode 69 Perjodohan Membawa Bahagia
“Tapi bukan itu kekejaman kamu yang sesungguhnya, tante. Yang ingin aku katakan adalah, kau kejam pada putrimu sendiri. Pada putri angkat mu yang tidak tahu apa-apa. Yang paling sadisnya, kau kejam pada putri kandungmu yang jelas-jelas darah daging mu sendiri. Demi ambisi gila mu yang sungguh murahan.”
“Diam kamu keponakan yang tidak tahu diri. Anakku tidak akan meninggal jika kamu tidak keras kepala.” Akhirnya, Estri menampakkan amarah yang bercampur dengan kesedihan yang berusaha ia tahan sejak awal melihat Brian.
“Sintya akan ada di sini jika kamu bersedia menikahinya. Karena kamu yang tidak tahu diri, dia meninggal sekarang. Untuk Ratna, kamu tidak tahu apa-apa tentang dia. Dia hanyalah anak angkat yang dipunggut di jalanan oleh suamiku yang tidak tahu diri itu. Dia pantas dimusnahkan karena dia, putriku menderita karena persaingan dalam merebut kasih sayang,” ucap Entri tanpa sadar telah mengakui kejahatan yang telah ia lakukan.
"Sedangkan untuk mamamu, Brian. Dia pantas mendapatkan semua itu karena dia telah merebut orang terkaya yang seharusnya menjadi suamiku. Siapa dia? Apa hebatnya dia? Kenapa papa malah memilih dia untuk dinikahkan dengan orang terkaya itu. Apa karena dia adalah putri kandung sedangkan aku putri tiri, sampai dia yang harus mendapat semua kebahagiaan. Karena itulah, aku rusak keluarganya secara perlahan dan pada akhirnya, aku lenyap kan dia sekalian. Ha … ha … ha … "
Estri tertawa terbahak-bahak. Membuat Davidson kehilangan kendali atas kesabarannya yang semakin lama semakin menipis.
“Kamu! Kamu ****** gila! Kurang ajar!” kata Davidson dengan nada tinggi karena tidak kuat lagi menahan emosi.
"Kamu telah merusak keluargaku! Kamu telah membuat hubungan aku dengan istriku hancur sampai dia meninggal aku masih merasa kesal padanya. Kamu juga telah membuat hubungan aku dengan anakku retak. Kamu … "
Davidson menggenggam erat tangannya, lalu bersiap untuk memukul Estri. Tapi, Brian datang dengan cepat mencegah niat papanya untuk melakukan hal itu.
“Tahan, Pa. Tidak ada gunanya memukul dia.”
“Jangan tahan papa, Brian. Papa ingin memberikan pelajaran pada perempuan ****** ini agar dia merasakan apa yang kita rasakan selama belasan tahun ini.”
"Kalian pantas mendapatkan penderitaan ini karena kalian adalah orang-orang bodoh. Terutama kamu mas David. Kamu adalah laki-laki bodoh yang bisa-bisanya memilih adik tiri ku untuk kamu jadikan istri. Jika kamu pilih aku, maka aku tidak akan menjadi seperti ini. Kalian pantas aku rusak dan hancurkan. Ha … ha … ha … "
“Kamu!” Davidson semakin emosi sekarang. Brian tetap menahan papanya agar tidak melakukan hal yang tidak diinginkan.
“Tapi … tapi karena kalian, putriku … putriku sayang sekarang tidak ada di sini lagi. Dia pergi meninggalkan aku,” kata Estri kini menangis sambil memegang dadanya. Lalu, tubuhnya merosot jatuh terduduk di atas lantai rumah sakit.
Perlahan, ingatan tentang Sintya mengisi benak Estri. Semua perlakuan yang telah ia berikan, pemaksaan dia sejak kecil, bagaimana ia mengisi benak Sintya agar mau mengikuti apa yang ia inginkan, dan … hasutan-hasutan yang telah ia katakan pada anaknya. Semua itu berputar bagai rekaman yang mengulang dengan jelas dalam benak Estri. Yang menimbulkan perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri.
“Tidak! Semua yang terjadi pada Sintya bukan karena aku. Ini bukan salahku!” ucap Estri sambil memegang kepalanya.
“Ya … ini bukan salah aku. Bukan salah aku,” ucap Estri sambil bangun dari jatuhnya kemudian berjalan menuju kamar di mana jasat Sintya masih ada di sana.
“Estri! Mau ke mana kamu, hah!” Teriak papa Brian dengan suara keras.
Rumah sakit itu bak pasar sekarang. Beberapa kali peringatan datang dari pihak rumah sakit, tidak mereka hiraukan. Mereka terus sibuk dengan perdebatan-perdebatan yang mereka lakukan dari subuh hingga hari menjelang pagi.
Saat polisi datang, perdebatan itu masih terjadi. Polisi telah menetapkan Estri sebagai tersangka dan membawa Estri ke kantor polisi dengan paksa.
Tekanan batin Estri makin terganggu saat polisi membawanya pergi dari rumah sakit. Ia memberontak, menjerit, menangis, meminta di bebaskan. Karena ia ingin menebus kesalahan pada anaknya. Setidaknya, itu yang terus ia ucapkan. Karena saat ini, rasa bersalah telah sepenuhnya menguasai hati dan pikiran Estri.
Sementara Estri di bawa ke kantor polisi untuk diintrogasi, Brian dan papanya mengurus jasat Sintya yang rencananya akan segera di makamkan sesegera mungkin.
______
Siang itu, pemakaman Sintya di lakukan di tempat pemakaman umum yang berada tak jauh dari rumah sakit. Tentunya, tanpa ada Estri sebagai mama. Karena saat ini, kejiwaan Estri semakin terganggu. Ia sedang di amankan di rumah sakit jiwa terdekat oleh pihak kepolisian.
Estri di bawa ke rumah sakit jiwa karena dia terus-terusan mengamuk dan mengatakan, kalau dia tidak salah, dan bukan dia penyebab anaknya bunuh diri. Ia memukul semua orang yang bisa ia lihat, termasuk polisi yang ada di dekatnya secara brutal. Demi keamanan bersama, Estri langsung di masukkan ke rumah sakit jiwa.
Setelah pemakaman selesai, mereka semua langsung meninggalkan tempat pemakaman umum tersebut. Saat akan masuk ke mobil, Davidson memanggil nama Kania dengan nada bersalah.
“Kania.”
Mendengar namanya di panggil, Kania langsung menoleh untuk melihat ke arah suara itu berasal. Beberapa langkah darinya, Davidson sedang berdiri tegak sambil menatap Kania dengan tatapan yang tidak Kania pahami apa maksud dan tujuan dari tatapan tersebut.
“Iy–iya. Ada … ada apa?” tanya Kania agak gugup.
“Bisakah aku ikut dengan mobil kalian?”
Kania merasa bingung untuk menjawab pertanyaan yang papa mertuanya lontarkan. Ia menoleh ke arah Brian yang sudah duduk manis di dalam mobil.
“Brian.” Kania memanggil seakan menanyakan tanggapan dari Brian atas pertanyaan dari papa mertuanya.
Brian yang memahami maksud dari panggilan Kania, langsung berucap. “Terserah kamu saja. Aku ikut kamu aja.”
“Jika kalian tidak setuju, tidak mengapa. Aku tidak keberatan.”
“Nggak kok. Kami gak keberatan,” ucap Kania cepat.
Davidson tersenyum. Ia langsung masuk ke dalam mobil. Duduk di samping pak sopir dengan senang hati. Mobil pun beranjak meninggalkan tempat tersebut menuju vila Camar.
Perjalanan itu berlangsung dengan tenang tanpa ada pembicaraan sedikitpun dari masing-masing penumpangnya. Hingga pada akhirnya, Davidson membuka obrolan untuk memecah kesunyian.
“Kania. Bagaimana keadaan keluargamu sekarang? Apa orang tuamu baik-baik saja?”
"Mereka … mereka … " Kania enggan untuk menjawab.
“Mereka baik-baik saja. Bahkan sangat baik,” ucap Brian menyambut perkataan Kania yang sepertinya sangat berat untuk Kania ucapkan.
“Sayangnya, mereka sangat tidak menginginkan keberadaan Kania. Karena papa tahu, istriku ini adalah anak tiri di rumah itu. Jadi, sebaiknya papa tidak perlu menanyakan keadaan keluarga yang tidak menginginkan keberadaan dia,” ucap Brian lagi dengan nada kesal.