Jumat, 18 Maret 2022

Episode 84 Perjodohan Membawa Bahagia

 Episode 84 Perjodohan Membawa Bahagia

 

Perjodohan Membawa Bahagia

Brian memahami apa yang Kania rasakan. Dengan rasa bahagia, ia mengikuti apa yang Kania katakan. Merekapun beranjak meninggalkan toko tersebut untuk pulang ke rumah.

Sampai di gerbang masuk vila Camar, Kania dikagetkan dengan kehadiran seseorang yang tentunya sangat ia kenali sosok itu dengan dangat baik. “Papa,” ucap Kania dengan rasa tak percaya ketika melihat sosok papanya berada di gerbang vila.

Awalnya, Brian tidak mengizinkan Kania turun. Tapi, ketika Burhan memaksa dengan cara memohon-mohon dengan segenap jiwa dan raganya. Akhirnya, Kania luluh juga.

Tidak ingin melihat Kania kecewa, Brian terpaksa menuruti apa yang Burhan inginkan. Ia pun mengizinkan Kania untuk turun dan bicara empat mata dengan Burhan.

Ketika melihat Kania turun dari mobil, Burhan langsung menghampiri dan memeluk tubuh Kania dengan erat. Tidak lupa, air mata mengucur deras membasahi pipi, tanda penyesalan sudah menyelimuti hatinya saat ini.

"Anak ku … " Hanya kata itu yang mampu ia ucapkan sebagai tanda penyesalan yang mungkin sudah tidak ada artinya lagi.

“Aku orang tua paling buruk yang pernah hidup di atas muka bumi ini. Aku tidak pantas mendapat maaf dari kamu, Nak. Untuk itu, aku tidak akan mengucapkan kata maaf padamu, karena aku tahu, aku tidak berhak menerima kata maaf itu.”

Kania hanya terdiam mematung saat papanya merangkul tubuhnya dengan deraian air mata. Tidak berniat membalas, atau menolak pelukan itu. Karena hatinya saat ini, terdapat dua bagian yang saling berlawanan.

Satu sisi hatinya merasa sangat bahagia karena diakui sebagai anak dan mendapat pelukan hangat dari sang papa yang selama ini tidak pernah melakukan hal itu sekalipun selama ia hidup di atas muka bumi ini. Sedangkan sisi yang lain, ia benci dan merasa marah dengan sang papa. Sayangnya, hati lembut itu lebih banyak merasakan kebahagiaan dari pada rasa benci.

Brian menghampiri Burhan yang masih memeluk Kania. Ia tersenyum mengejek ke arah Burhan.

“Cih, sudah seperti ini, baru sadar dan mengharap maaf. Benar-benar kasihan sekali anda tuan Burhan.”

“Benar apa yang orang katakan, penyesalan itu datangnya belakangan. Jadi, seharusnya anda bijak sedari kemarin-kemarin. Bukan sekarang, setelah nasi menjadi bubur.”

“Aku akan makan bubur itu, tuan muda. Meskipun itu sudah bubur, aku akan tetap makan dengan senang hati.” Burhan berucap sambil melepaskan Kania dari pelukannya.

Burhan mengambil tangan Kania untuk ia genggam. “Kania, aku adalah papa paling bodoh yang ada di atas dunia ini. Aku telah menyia-nyiakan anak kandungku sendiri. Aku tidak pantas untuk kamu maafkan, Nak. Tapi … izinkan papamu menebus kesalahan ini, meskipun kesalahan yang telah aku buat tidak bisa ditebus dengan cara apapun. Tapi setidaknya, aku sedikit merasa lega.”

“Kania, izinkan papa tinggal dan merawat kebun peninggalan mendiang nenekmu yang ada di desa. Dengan begitu, papa bisa merasakan sedikit rasa tenang dengan mengabdikan diri di sana.”

Kania masih diam membisu. Ia tidak menjawab perkataan papanya sepatah katapun sejak tadi. Membuat hati Burhan yang sedih, semakin sedih.

“Aku tahu kamu tidak akan mau bicara padaku, Kania. Karena kesalahan yang aku buat, kamu pasti sangat membenci aku. Kamu pasti memberikan semua kebencian itu untukku. Tapi anakku, aku mohon. Bicaralah! Bicaralah walau hanya satu kata, iya. Dengan begitu aku tahu, kalau kamu mengizinkan aku ke sana.”

Kania menarik napas panjang. Burhan yang masih tidak mendapatkan jawaban dari anaknya, kini tidak bisa menahan diri lagi. Tubuhnya merosot jatuh ke bawah. Burhan ingin berlutut pada Kania.

Melihat papanya yang turun untuk berlutut, Kania dengan cepat mencegah niat papanya itu. “Jangan, Pa! Apa yang papa lakukan? Jangan!”

“Papa tahu kamu tidak akan memaafkan papa walau papa sudah berlutut padamu, Kania. Tapi setidaknya, papa merasa senang sekarang. Karena kamu mau bicara pada papa.”

“Papa tidak perlu minta maaf padaku, Pa. Karena yang sama-sama kita ketahui adalah, aku ini bukan anak papa. Jadi, untuk apa papa minta maaf padaku?”

“Kania … papa salah, Nak.”

“Tidak, papa tidak salah. Aku memang bukan anak papa. Jadi sebaiknya, papa tidak perlu menemui aku lagi. Apa papa lupa? Bukankah kita sekarang tidak ada hubungan lagi?”

Burhan tertunduk dengan air mata yang tak bisa ia tahan. “Aku tahu kamu benci aku atas apa yang telah aku lakukan padamu selama hidupmu, Kania. Untuk itu, aku tidak akan minta maaf. Tapi, aku mohon, izinkan aku mengabdi di desa untuk mencari sedikit saja rasa lega untuk hati yang dipenuhi rasa bersalah ini.”

“Terserah!” ucap Kania dengan nada tak perduli.

“Terima kasih, Kania. Papa pergi dulu,” kata Burhan sambil beranjak meninggalkan gerbang vila Camar.

Kania menatap punggung itu. Punggung yang berjalan semakin menjauh menghilang di balik mobil yang tak lama juga lenyap dari pandangan. Kania yang berusaha kuat beberapa saat yang lalu, kini terjatuh ke dalam pelukan Brian yang sedari tadi sudah berada di sampingnya.

“Brian. Aku adalah anak yang paking jahat di muka bumi ini,” ucap Kania sambil menangis di dalam pelukan Brian.

"Kania … "

"Aku adalah manusia paling kejam, Brian. Aku anak durhaka yang memberikan pelajaran pada papaku sendiri. Aku … "

“Sssttt. Sayang, tenang. Kamu tidak jahat. Aku tahu kalau kamu sebenarnya sangat tidak menginginkan semua ini, bukan? Hanya saja, papamu mungkin pantas mendapatkan perlakuan ini untuk menghukum dia agar sadar, apa yang ia lakukan kemarin, adalah salah.”

"Tapi, Brian … "

“Sayang, gini aja. Kita akan datang ke rumah papamu nanti untuk minta maaf. Tapi sekarang, sebaiknya, kamu istirahat dulu agar pikiranmu menjadi tenang. Bagaimana?”

Kania setuju dengan apa yang Brian tawarkan. Merekapun masuk ke dalam untuk menenangkan hati Kania.

_____

Malam harinya, Kania dan Brian mendatangi rumah sang papa. Tidak ada siapa-siapa di sana. Rumah itu sekarang kosong tanpa penghuni.

Beberapa ibu-ibu yang baru pulang dari surau melewati depan rumah papa Kania. Untuk mencari tahu ke mana sang papa, Kania segera menghampiri ibu-ibu itu untuk bertanya.

“Maaf ibu, apa kalian ada yang tahu di mana papaku?” tanya Kania dengan sopan.

“Mbak Kania?” tanya salah satu dari tiga ibu rumah tangga yang sedang membawa mukena di tangan mereka.

“Iya. Saya Kania.”

“Walah. Cantiknya mbak Kania sekarang.” Puji ibu itu dengan rasa kagum. Kania hanya tersenyum saja mendapatkan pujian hangat itu.

“Oh ya, hampir lupa menjawab apa yang mbak Kania tanyakan. Papa mbak Kania tadi sore berangkat, mbak,” kata ibu itu lagi.

“Berangkat? Ke mana, Bu?”

“Katanya … ke desa, mbak. Kalau gak salah dengar sih,” ucap ibu yang lain pula.

“Ke desa?”

“Iya.”

 

Episode Selanjutnya
episode sebelumnya