Episode 85 Perjodohan Membawa Bahagia
Kania sudah bisa menebak kalau sang papa pasti pergi ke desa kelahiran mamanya. Seperti yang papanya katakan saat minta izin tadi siang.
Setelah mengucapkan kata terima kasih pada ibu-ibu yang sudah menjawab apa yang ia tanyakan, Kania dan Brian meninggalkan halaman rumah papanya.
________
Tiga hari kemudian, pesta pernikahan Kania pun berlangsung. Di mana pesta itu diadakan dengan sangat amat meriah di dua titik yang berbeda. Satu di pantai, dan satu lagi di hotel berbintang yang terkenal sangat elit.
“Selamat ya tuan muda. Selamat atas resepsi yang sangat meriah ini,” ucap Johan sambil tersenyum manis.
“Oh ya, bolehkah aku numpang di acara ini tuan muda?” tanya Johan dengan wajah tidak tahu malunya.
“Numpang apa? Apa yang ingin kamu lakukan di acara ku?” tanya Brian agak kesal.
“Aku ingin numpang lamaran tuan muda.”
“Lamaran?” tanya Kania dan Brian secara bersamaan.
“Ya ampun. Tuan muda, nona Kania, tolong punya perasaan sedikit. Apa kalian tidak bisa bicara dengan suara pelan, hah?”
“Bagaimana mau pelan, Jo? Kamu bikin kami kaget dengan kata-kata yang baru saja kamu ucapkan itu.”
“Ya, mau lamaran? Lamaran sama siapa kamu, hah? Pacar aja gak punya. Mana bisa lamaran.” Brian berucap kesal dengan nada mengejek.
“Wah … tuan muda meremehkan aku sepertinya. Aku tentu saja susah punya pacar tuan muda. Jika tidak, mana mau aku lamaran.”
“Tunjukkan padaku sekarang, mana pacarmu!”
“Itu … dia.” Johan mengarahkan telunjuknya pada seorang gadis yang sedang duduk di atara kursi-kursi yang berjejer di dalam hotel tersebut.
Brian dan Kania sontak langsung melihat ke arah telunjuk Johan. Saat melihat gadis yang Johan tunjuk, pikiran Brian berusaha mengingat sesuatu. Karena gadis itu terlihat tidak asing baginya.
“Dia?” tanya Brian meyakinkan kalau gadis itu yang Johan tunjuk.
“Ya, dia. Gadis yang sedang duduk dengan baju oranye itu, tuan muda.”
“Aku seperti mengenali gadis itu. Tapi … di mana aku pernah melihatnya?” tanya Brian semakin berusaha keras untuk mengingat.
“Tentu saja tuan muda pernah melihatnya. Karena dia adalah suster yang pernah menyerahkan surat dari Sintya pada tuan muda.”
Saat itulah, Brian baru mengingat kalau perempuan itu suster yang pernah menyerahkan surat wasiat yang Sintya tulis. Berkat suster itu, sebuah kebenaran pun terbongkar dari persembunyiannya.
“Kalian pacaran?” tanya Brian memastikan lagi apa yang telah terjadi. Sedangkan Kania, ia hanya diam menyimak pembicaraan Brian dan Johan saja.
“Tentu saja,” jawab Johan penuh rasa bahagia.
“Kapan?” Brian kembali bertanya dengan wajah penuh selidik.
“Belum lama sih. Sepertinya, beberapa hari sejak kejadian di rumah sakit waktu itu, aku pun langsung mengejarnya tuan muda. Aku rasa, jika aku melamarnya sekarang, tidak ada masalah, bukan?”
“Tentu saja tidak ada masalah. Tapi … jika perempuan itu setuju dan bersedia menerima lamaran mu.”
“Itu sudah pasti, tuan muda. Dia sudah pasti menerima lamaran ku. Karena dia, sudah memberikan kode-kode padaku. Aku yakin, dia sudah tidak sabar lagi menunggu aku melamarnya.”
“Ya sudah kalo gitu. Lamar saja dia secepatnya. Tapi … jangan di acara ku.”
“Tuan muda … jangan tega padaku.” Johan berucap dengan nada memelas penuh harap dan berusaha membujuk.
“Aku tidak tega. Tapi ini adalah acara bahagiaku. Masa ada kamu yang datang untuk merusak.”
“Brian. Apa-apaan sih kamu ini. Mana boleh bicara seperti itu pada Johan.” Kania angkat bicara.
“Tuh dengar tuan muda. Gak boleh.” Johan merasa bahagia karena Kania sepertinya sedang membela dia.
"Kamu … " Brian kesal pada Johan. Tapi, tidak bisa melampiaskan rasa kesalnya karena ada Kania.
“Sayang, aku hanya bercanda.”
"Johan, asisten pribadiku yang sebenarnya sangat menyebalkan. Kamu bisa melakukan apa yang ingin kamu lakukan di acara resepsi aku ini. Tapi … " Brian mendekat ke kuping Johan. “Bonus bulanan mu aku potong,” ucap Brian dengan nada penuh penekanan.
“Tidak masalah, tuan muda.” Johan berucap tanpa beban.
Brian melihat Johan dengan tatapan tak percaya. Untuk pertama kalinya, ancaman yang ia buat tak berpengaruh buat Johan.
“Aku permisi dulu tuan muda,” ucap Johan sambil tersenyum bahagia.
“Ya tuhan, apakah Johan sudah bukan Johan lagi sekarang?” tanya Brian sambil terus melihat punggung Johan yang berjalan semakin menjauh.
“Apa maksud kamu?” tanya Kania jadi bingung.
“Tidak ada. Aku rasa, dia sudah sedikit tidak waras.”
“Brian-Brian. Kamu ada-ada saja.” Kania berucap sambil menggelengkan kepalanya.
Kurang dari sepuluh menit kemudian. Johan mengambil alih pesta Brian untuk beberapa saat lamanya. Ia melamar suster Saras dengan sangat romantis.
Lamaran itu diterima oleh Saras dengan penuh kebahagiaan. Suasana bahagia pun tergambar dengan sangat jelas di wajah semuanya. Bukan hanya Johan yang telah di terima lamarannya oleh Saras. Tapi Brian dan Kania, juga semua tamu undangan yang hadir.
Setelah resepsi di hotel selesai, keesokan harinya, mereka melanjutkan resepsi di pantai dengan suasana yang tak kalah mewahnya. Ada banyak tamu yang hadir di sana. Jio dan Ana yang sedang hamil tua juga ada di sana.
Ana dan Jio mengucapkan selamat pada Brian dan Kania. Meskipun ini hanya acara resepsi saja, tapi, mereka masih bisa di bilang sebagai pengantin baru saat ini. Karena mereka sama sekali belum pernah menjadi pengantin sebelumnya. Juga … belum pernah meneguk manisnya bulan madu selama mereka menikah.
Kania begitu bahagia ketika melihat kehadiran Ana dan Jio. Mereka ngobrol sambil disertai canda tawa yang memperlihatkan kebahagiaan dengan sangat jelas. Hal itu menciptakan rasa sakit pada hati seseorang. Tamu yang tidak diundang, hadir di sana. Menyaksikan kebahagiaan Kania dengan perasaan sakit.
“Kania. Kamu terlihat begitu bahagia saat ini. Kania, harusnya aku yang ada di sampingmu, bukan dia.” Dafa berucap dengan mata yang terus menatap Kania dengan tatapan tidak rela.
‘Bodoh! Aku yang bodoh! Bisa-bisanya aku terjebak dan termakan kata-kata Zara yang licik dan jahat itu,’ kata Dafa dalam hati sambil menggenggam erat tangannya.
‘Ya, ini semua salah dia. Zara yang licik! Kamu telah merusak apa yang seharusnya aku miliki. Kamu harus menerima akibatnya nanti.’ Dafa berkata lagi dengan perasaan sangat emosi.
Tidak sanggup berada di sana lebih lama lagi, Dafa segera beranjak membawa perasaan sedih bercampur kecewanya pada Kania meninggalkan tempat tersebut. Tujuannya tidak lain adalah rumah. Tempat di mana dia akan melampiaskan rasa kecewa yang ada dalam hatinya saat ini.