Jumat, 18 Maret 2022

Episode71 Perjodohan Membawa Bahagia

 Episode71 Perjodohan Membawa Bahagia

 

Perjodohan Membawa Bahagia

 “Tuan muda tenang saja. Serahkan semua padaku, maka aku akan menjalankan semua perintah dengan sangat baik. Asalkan … bonus bulanan milikku tuan muda lipat gandakan.”

“Dasar gila. Bisa-bisanya kamu berpikir soal bonus bulanan sekarang.”

“Itu hal wajar tuan muda. Hal yang masih tergolong manusiawi.” Johan bicara sambil senyum dengan menaikkan sedikit alisnya.

“Terserah kamu saja. Aku akan gandakan bonus bulanan bukan hanya dua kali lipat jika kamu berhasil, melainkan, tiga kali lipat.”

“Benarkah?” tanya Johan dengan tatapan mata bahagia.

“Tentu saja. Aku tidak pernah bohong sebelumnya, bukan?”
“Tapi ingat, jika kamu gagal, bukan hanya bonus bulanan mu yang tidak kamu dapatkan. Tapi gaji mu juga akan melayang.”

"Apa! Ya Tuhan … "

“Terserah kamu. Jadi, kamu harus berhasil jika ingin uang bulan ini,” ucap Brian dengan nada penuh penekanan.

“Tuan muda, kamu kejam sekali.”

“Biarkan saja,” ucap Brian sambil beranjak meninggalkan ruang kerja di mana Johan masih duduk diam di tempatnya.

Sementara itu, di rumah Burhan, Zara dan Salma sedang tertawa bahagia di kamar Zara.
“Ha ha ha … ya ampun mama, aku gak nyangka lho, kalau kita akan mendapatkan keberuntungan berkali-kali lipat seperti ini sekarang. Mama hebat. Sangat-sangat hebat,” ucap Zara sambil mengangkat jempol kanan miliknya.

“Mama. Siapa bisa lawan jalan pemikiran mama ini sih sayang,” ucap Salma membanggakan dirinya sendiri.

“Ya Tuhan, Ma. Aku gak nyangka banget lho, Ma. Kania itu gampang banget kita bodohi. Ini itu sebenarnya, entah Kania yang emang bodoh banget, atau mama yang pinter banget. Gampang banget kita kibuli. Lagipula, tanah itu juga gampang banget kita jual. Benar-benar keberuntungan yang luar biasa buat kita.”

“Aku pikir, jadi orang jahat itu bakalan susah karena banyak halangan. Taunya, senang dan selalu bahagia karena semua keberuntungan itu kayaknya selalu ada mengikuti kita ya, Ma,” ucap Zara lagi sambil terus tersenyum bahagia.

“Tentu saja, sayang. Mama pikir, kita itu memang selalu diikuti dewi keberuntungan. Buktinya saja, apa yang ingin kita lakukan, selalu gampang dan selalu di restui.”

“Iya, Ma.” Zara berucap sambil terus-terus tersenyum.

“Zara. Satu persatu rencana kita sudah selesai kita jalani. Sekarang, tinggal kamu menikah dengan Dafa saja lagi. Lalu, kamu bisa hidup bahagia bersama orang yang kamu cintai,” kata Salma sambil menatap lurus ke depan.

“Iya, Ma. Tinggal menunggu satu minggu saja lagi untuk aku dan kak Dafa bersatu. Setelah itu, mama bisa menikmati kebahagiaan mama. Dan aku juga bisa menikmati kebahagiaan aku. Karena sekarang, dendam kita sudah selesai, bukan?”

“Iya sayang. Kita sudah berhasil sekarang,” kata Salma dengan nada lega.

_____

Dua hari sebelum hari pernikahan Zara, seorang kurir datang ke vila Camar untuk mengantarkan undangan pada Kania. Tepat saat itu, Kania sedang duduk ngobrol menemani Brian di ruang keluarga.

Bu Ninik yang membuka pintu, tapi kurir itu bersikeras ingin bertemu dengan Kania. Katanya, menjalankan amanah dari sang pengirim undangan untuk langsung menyerahkan undangan tersebut pada perempuan yang bernama Kania.

Mau tidak mau, karena tidak ingin mempersulit sang kurir, Kania pun terpaksa menemui kurir itu langsung. Dengan di temani Brian yang ikut bersamanya karena rasa penasaran.

“Mbak ini, mbak Kania?” tanya kurir itu penuh selidik.

“Ya, mas. Ini saya, Kania. Ada apa ya? Kelihatannya ngotot banget ingin langsung bertemu dengan saya,” ucap Kania dengan nada tenang.

“Maaf mbak Kania, bukan saya keras kepala. Hanya saja, saya harus menjalankan amanah dengan sebaik-baik mungkin. Karena pesan itu adalah amanah, mbak. Sekali lagi maaf,” ucap kurir itu dengan sangat sopan.

“Sudah. Tidak perlu berbasa-basi lagi. Ada apa ingin bertemu langsung dengan istriku. Cepat! Karena istriku tidak punya banyak waktu untuk melayani kamu,” ucap Brian kesal.

“Brian. Apa yang ia katakan itu benar. Dia cuma menjalankan amanah saja kok.”

"Maaf mas … "

“Tuan muda.” Brian berucap cepat dengan nada semakin kesal. “Panggil saya tuan muda. Mas-mas. Emangnya saya ini mas-mas jual gorengan apa?”

“Ma–maaf, maaf tuan muda,” ucap kurir itu semakin merasa takut.

“Brian-Brian.” Kania berucap sambil geleng-geleng kepala dan tersenyum geli.

“Maafkan tuan muda ini ya mas kurir. Dia emang seperti itu.”

"Kania … kamu … "

“Ya aku minta maaf mas Brian,” ucap Kania memotong ucapan Brian dengan cepat.

“Kamu semakin berani sekarang, ya nona Kania. Awas saja kamu nanti.” Brian berucap sambil mendekat.

“Brian jangan macam-macam. Kamu gak lihat ada orang di sini.”

“Aku gak peduli.”

“Brian ih, jangan macam-macam kamu. Kasihan mas kurirnya nunggu kelamaan.” Kania berucap sambil menghindar dari Brian dengan cepat.

“Ayo mas, apa yang membuat mas ingin langsung bertemu saya?” Kania bicara dengan kurir agar Brian tidak semakin menjadi-jadi.

“Oh ini mbak. Saya di minta menyerahkan undangan pernikahan khusus untuk mbak Kania. Kata si pengirim, minta saya langsung serahkan pada mbak.”

Kurir itu langsung menyerahkan surat undangan pada Kania, tanpa menunggu Kania menjawab perkataanya terlebih dahulu. Kania langsung menerima surat undangan tersebut.

Karena rasa penasaran, ia langsung membuka dan melihat isi dari surat undangan itu. Ketika ia melihat nama yang tertera di dalam surat undangan itu, hatinya terasa sangat perih. Sekuat tenaga, ia menyembunyikan rasa sakit itu.

Brian yang melihat perubahan wajah yang Kania tunjukkan, segera merebut surat undangan itu dari Kania. Ia lalu melihat surat tersebut untuk mencari tahu perubahan wajah dari sang istri.

“Kamu sakit hati karena dia ingin menikah dengan adik tiri mu, Kania? Apa kamu masih menyimpan rasa cinta untuk dia?” tanya Brian dengan nada kesal.

“Entahlah. Perasaan ini sulit untuk aku jelaskan. Karena di dua sisi hatiku, selalu berlawanan.”

“Apa karena itu kamu menolak cinta tulus yang aku berikan?”

“Tidak! Aku tidak menolak cinta yang kamu berikan, Brian. Hanya saja, aku merasa, kalau cinta yang kamu berikan masih butuh bukti untuk membuat aku yakin dengan rasa yang cinta itu,” ucap Kania sambil beranjak masuk ke dalam.

“Lalu, apakah kamu juga masih butuh bukti untuk melupakan rasa cintamu pada si pengkhianat yang akan menikah sebentar lagi?” tanya Brian semakin kesal saja.

Kania menghentikan langkahnya. Perlahan, benak dan hatinya secara bersamaan membenarkan apa yang Brian ucapkan barusan. Dia tidak butuh bukti lagi untuk melupakan Dafa. Karena Dafa dan Zara memang pantas bersama. Sama-sama penjahat memang seharusnya menjadi satu keluarga. Dan dirinya memang sudah seharusnya mengakui dan membenarkan, kalau jauh di lubuk hati yang paling dalam, dia memang menyukai bahkan mencintai Brian sejak pertama kali melihat tatapan mata yang tersembunyi di balik topeng hitam.

 

Episode Selanjutnya
episode sebelumnya