Episode72 Perjodohan Membawa Bahagia
Kania berbalik lalu memeluk Brian dengan erat. Brian awalnya tidak ingin membalas pelukan itu karena merasa kesal akibat rasa cemburu yang menyelimuti hatinya. Tapi, ia tidak bisa memerintah hatinya untuk tidak ikut campur. Hatinya begitu menginginkan tangannya memeluk tubuh Kania. Membalas pelukan yang Kania berikan.
“Maafkan aku Brian. Sejujurnya, aku tidak punya rasa cinta lagi untuk pengkhianat itu. Tapi … aku hanya merasa kesal saat memikirkan dia. Dia telah melukai hati tulus ku. Aku merasa sangat kesal karena dia menikahi adik tiri ku dan bahkan, dia menyerahkan cincin yang dihadiahkan untuk hubungan kami oleh seseorang.”
“Cincin? Apakah cincin tunangan yang membuat kamu menangis sesenggukan malam itu?” tanya Brian memastikan.
“Iya.”
Kania pun menceritakan asal usul terciptanya cincin itu. Sementara Brian mendengarkan dengan seksama dan terus membelai rambut Kania dengan lembut.
“Ya sudah kalo gitu, nanti aku akan belikan cincin yang lebih indah dari yang orang itu berikan.”
"Brian ih … " Kania berucap sambil melepaskan diri dari dekapan Brian.
“Bukan itu yang aku maksudkan,” ucap Kania sambil memperlihatkan wajah kesalnya.
“Sudah-sudah. Aku hanya bercanda saja. Aku tahu kamu tidak menginginkan cincin atau perhiasan. Aku memahami apa yang kamu rasakan. Jadi … tolong perbaiki wajah itu. Jangan perlihatkan wajah kesal itu padaku. Karena aku akan merasa, aku tidak becus dalam urusan menjaga hatimu.”
“Brian!” Kania berteriak sambil mencubit pinggang Brian dengan manja. Cubitan itu membuat Brian berteriak karena geli.
“Agghhh … ampun-ampun.”
“Rasakan itu. Itu hukuman untuk suami yang suka usil pada istrinya.”
“Ampun … aku menyerah.”
Mereka terus bercanda sampai akhirnya, Brian kembali menarik Kania ke dalam pelukannya.
“Akhirnya, kamu mengakui juga kalau aku ini suamimu. Mulai dari detik ini, aku tidak mengizinkan kamu memikirkan laki-laki lain. Apalagi sedih dan kecewa karena laki-laki lain.”
“Aku usahakan tidak. Tapi … aku tidak janji tuan muda,” ucap Kania dengan nada menggoda. Tangannya kembali mencubit dan menggelitik pinggang Brian.
"Kamu … "
Kemesraan keduanya membuat bahagia para pekerja, terutama bu Ninik dan pak Hadi. Mereka ikut merasakan mekarnya bunga cinta dan ikut kecipratan manisnya madu dari bunga cinta yang mekar.
“Ya ampun, bahagianya melihat tuan muda dan nona Kania seperti ini,” ucap bu Ninik sambil memeluk tangannya.
“Lebih bahagia jika kita sendiri yang mengalami hal itu, bu Ninik.” Pak Hadi berucap dengan nada penuh berharap.
Bu Ninik sontak langsung menoleh ke samping, di mana pak Hadi sedang berdiri.
“Maksud pak Hadi?” tanya Bu Ninik agak bingung.
“Ya … maksud saya, lebih bahagia lagi jika kita yang memerankan posisi mereka saat ini.”
“Pak Hadi ingin melakukan hal yang mereka lakukan? Sama siapa? Katakan pada saya, biar saya yang jadi saksinya nanti.”
“Sama orang yang sedang berbicara dengan saya saat ini.”
Ucapan itu tiba-tiba membuat bu Ninik kaget sekaligus malu. Wajahnya merona akibat kata-kata itu.
“Cie … ada yang ingin nyamain tuan muda dan nona Kiara nih kayaknya,” ucap salah satu pembantu yang mendengarkan perkataan pak Hadi.
Tempat itupun gempar akibat kata-kata yang pembantu itu ucapkan. Bukan hanya sesama pekerja yang di tarik untuk berpindah pusat perhatian, Kania dan Brian juga.
“Apa yang kamu bicarakan barusan?” tanya Brian penasaran pada pembantu yang baru saja bicara.
“Ma–maaf tyan muda. Saya hanya iseng. Saya tidak bermaksud merusak suasana bahagia tuan muda dan nona Kania,” ucap pembantu itu agak takut.
“Tidak. Aku tidak mempermasalahkan soal aku dan Kania. Aku hanya ingin mendengar maksud dari ucapan kamu barusan. Tertuju pada siapa ucapan itu?”
Pembantu itu langsung menjelaskan apa yang ia katakan sebelumnya. Pak Hadi dan Bu Ninik tidak bicara sepatah katapun. Mereka berdua hanya tertunduk malu saja.
“Benarkah pak Hadi suka sama bu Ninik?” tanya Brian memastikan.
“Maaf tuan muda. Iya, saya suka dia,” ucap pak Hadi malu-malu.
“Kenapa minta maaf, pak Hadi. Kalian suka, itu bagus,” ucap Kania bersemangat dengan nada bahagia.
“Pak Hadi apa-apaan sih? Kita ini sudah sama-sama tua. Masa ngomong suka-sukaan.” Bu Ninik baru bisa bicara sekarang.
“Lho, gak ada salahnya jika kalian sama-sama suka. Bukankah kalian berdua sama-sama masih sendiri.” Kania memberi semangat.
“Iya, nona Kania. Tapi, ibu inikan janda. Sedangkan pak Hadi itu masih perjaka. Mana cocok kita berdua.”
“Cocok saja. Asalkan pak Hadi nya mau, dan bu Ninik juga mau. Selesai. Gak ada masalah,” ucap Brian dengan enteng.
"Tapi … "
“Benar yang tuan muda katakan itu, bu Ninik. Yang terpenting itu kita sama-sama suka,” ucap pak Hadi memotong perkataan bu Ninik.
“Nah, itu yang aku katakan. Yang penting sama-sama suka,” kata Brian sambil senyum.
“Tuan muda tidak keberatan?” tanya bu Ninik sambil melihat mata Brian.
“Lho, kenapa tanya aku. Sudah pasti aku gak akan keberatan. Malahan aku senang kalian bisa bersatu.”
“Terima kasih tuan muda. Kalau begitu, bapak mohon restu untuk segera menikahi bu Ninik secepat mungkin.”
“Terserah pak Hadi saja. Aku tidak akan keberatan kapanpun waktu baik untuk kalian bersatu. Restu ku pasti akan aku berikan pada kalian.”
“Ya sudah. Kalian bisa lanjut ngobrol urusan kalian. Aku dan Kania sepertinya harus ke atas dulu. Jika ada hal yang ingin di bicarakan pada kami berdua, silahkan temui kami di atas.”
Selesai bicara seperti itu, Brian langsung mengajak Kania naik ke atas. Kania hanya mengikuti apa yang Brian katakan. Mereka pun beranjak menuju lantai atas.
Sampai di kamar, Brian kembali teringat akan undangan yang baru saja Kania terima.
“Kania, apa kamu ingin datang ke acara pernikahan itu atau tidak?”
“Sepertinya, aku harus datang untuk melihat acara itu agar mereka bahagia.” Kania berucap mantap.
“Baiklah kalau begitu, kita akan datang ke sana.”
“Tapi sebelum itu, ada yang ingin aku serahkan padamu terlebih dahulu.”
“Apa?” tanya Kania sambil mengerutkan dahinya.
“Ada. Tunggu sebentar!”
Brian berjalan menuju nakas samping ranjang bagian dia. Ia membuka laci nakas, lalu mengeluarkan map coklat dari laci tersebut.
“Ini untukmu,” ucap Brian sambil menyerahkan map tersebut.
“Apa ini?” tanya Kania sambil menerima map tersebut dengan perasaan penasaran.
“Buka dan lihat sendiri apa itu.”
Kania tidak berkomentar lagi sekarang, ia langsung melakukan apa yang Brian katakan. Saat map itu ia buka, mata Kania melebar saat melihat isi dari map tersebut.
“B–Brian. Ini … ini sertifikat rumah dan tanah peninggalan nenekku,” ucap Kania kaget bukan kepalang.
“Dari mana … dari mana kamu mendapatkan sertifikat ini? Kenapa sertifikat ini ada padamu?”
“Ceritanya panjang. Jadi, aku tidak bisa menceritakannya padamu, istriku sayang.”