Episode74 Perjodohan Membawa Bahagia
“Pe–pesan gaun seri terbaru? Untuk aku?” tanya Kania dengan nada tak percaya.
Brian menganggukkan kepala sambil tersenyum. Kania semakin merasa tidak enak hati sekaligus senang. Karena sekarang, ia selalu saja merepotkan Brian dalam masalah apapun.
“Kenapa kamu harus pesan gaun seri terbaru, Brian? Bukankah di mini butik almarhumah mama mu banyak baju-baju bagus? Kenapa kamu tidak membiarkan aku pakai baju itu saja?”
“Sayang, bukan aku gak suka kamu pakai baju desain almarhumah mama ku. Hanya saja, baju itu tidak terkenal. Aku tidak ingin kamu dihina dan diremehkan lagi nantinya.”
“Aku siapkan kamu baju khusus dari desainer ternama dan dikenal oleh semua kalangan kelas atas, biar mereka tahu, kalau kamu bukan Kania yang dulu lagi. Yang bisa mereka hina dan rendahkan.”
“Brian.” Kania tidak mampu berkata-kata. Hatinya dipenuhi dengan perasaan haru. Ingin rasanya ia menangis karena rasa bahagia, tapi sayangnya, air mata bahagia itu tidak mau jatuh.
“Bajunya sudah ada di ruang kerjaku. Apa kamu ingin melihat? Jika ia, aku panggilkan pelayan untuk mengantar baju itu ke kamar kita sekarang juga.”
“Tidak perlu, Brian. Aku rasa, tidak perlu meminta pelayan yang mengantarkan baju itu ke sini. Sebaiknya, biar aku saja yang melihat baju itu ke ruang kerjamu sekarang juga.”
“Kalau begitu, ayo aku antar!”
“Baiklah, tuan pangeran,” ucap Kania sambil tersenyum manis.
Merekapun beranjak menuju ruang kerja Brian yang berada di lantai dasar.
Sampai di sana, Brian dan Kania langsung saja masuk. Benar saja, di atas meja kerja Brian ada sebuah kotak hitam yang berbentuk persegi empat. Brian segera mengambil kotak itu, kemudian langsung menyerahkan kotak itu pada Kania.
“Ini dia gaunnya.”
Kania menerima kotak itu sambil melihat Brian. Kemudian, ia membuka penutup kotak tersebut dengan rasa penasaran yang menyelimuti hati.
Mata Kania membulat tak percaya saat gaun itu ia keluarkan. Itu adalah gaun tercantik yang pernah ia lihat selama ini. Gaun itu berwarna hijau tua, persis seperti warna kesukaan Kania. Gaun itu juga seperti gaun pernikahan yang dikenakan oleh para artis papan atas. Sangat mewah.
"B–Brian … ini … "
“Bagaimana? Apa gaun ini cantik?”
“Ya, gaun ini cantik. Bahkan, sangat cantik sekali. Ini luar biasa indahnya,” ucap Kania dengan mata yang masih terus menatap gaun itu.
“Apa kamu suka, Kania?” tanya Brian dengan suara berbisik di telinga Kania.
“Tentu saja aku suka. Sangat suka malahan.”
“Kalau begitu, aku harus meminta desainer itu menciptakan gaun yang lebih indah dan lebih mewah lagi dari yang ini, untuk pesta pernikahan kita nanti.”
Kania tertegun seketika. Ia mematung saat kata-kata yang Brian ucapkan menyentuh telinganya. Kini, dengan tatapan tak mengerti, ia menoleh ke samping, di mana Brian berada.
“Apa maksud kamu, Brian?”
“Tidak ada maksud apa-apa. Seperti yang diimpikan oleh semua anak manusia, yaitu, menikah dengan acara yang luar biasa meriahnya. Seperti itu juga aku. Dan aku yakin, kamu juga punya impian menikah dengan acara yang mewah, bukan?”
“Maka kita akan melaksanakan itu tak lama lagi.”
“Kamu … kamu ingin melakukan pesta pernikahan? Kamu yakin, Brian?”
“Ya ampun, Kania ku sayang. Tentu saja suamimu ini yakin. Bahkan sangat yakin malahan. Apa kamu lupa, kita hanya menikah saja kemarin. Kita sama sekali belum mengadakan pesta pernikahan sedikitpun.”
"Tapi Brian, kita sudah lama menikah. Apa … "
“Jika kita ingin, tidak akan ada masalah dengan lama atau tidak. Bukankah kita belum merasakan manisnya bulan madu.”
Kania tidak menjawab. Sebagai manusia normal, tentunya ia membayangkan manisnya bulan madu saat Brian menyingung soal itu. Kania merona malu saat ia memikirkan soal itu, hal itu membangkitkan rasa usil di hati Brian.
“Hayo … pasti kamu sedang bicara dalam hati sekarang, bukan?” Brian bicara sambil menepuk pelan bahu Kania. Membuat Kania terlonjak kaget dengan apa yang Brian lakukan.
“Brian … apa-apaan sih? Aku gak sedang bicara dalam hati kali ini ya. Tebakan kamu salah untuk kali ini,” kata Kania berucap dengan nada kesal sambil berusaha menyembunyikan perasaan malu.
“Kalau kamu tidak bicara dalam hati, itu tandanya, kamu sedang membayangkan apa yang aku katakan.”
“Brian ih … apa yang aku pikir, atau apa yang aku bayangkan, itu bukan urusan kamu. Minggir gih, aku mau lewat.”
Brian hanya senyum-senyum saja saat melihat Kania berlalu. Ia tahu, kalau sekarang, Kania sedang berusaha menghindar karena ingin menyembunyikan rasa malu.
Kania mengunci pintu kamar karena ia memang ingin sendiri sekarang. Bukan hanya itu, ia juga ingin segera mencoba gaun yang Brian berikan padanya.
Brian mengerti kenapa pintu kamar Kania kunci dari dalam. Ia tidak memaksa Kania untuk membuka pintu tersebut. Ia hanya berpesan agar Kania tidak berlama-lama melakukan hal itu. Karena sekarang, ia masih bel mandi.
“Kania, jangan lama-lama pintunya kamu kunci. Aku belum mandi ini. Oh ya, kamu gak perlu dandan ya. Soalnya, aku udah minta perias datang ke rumah untuk merias kamu.”
Kania tidak menjawab, bukan berarti dia tidak mendengarkan apa yang Brian katakan. Ia mendengar semua ucapan Brian dengan sangat jelas. Ia hanya tidak ingin membuka pintu kamar itu sekarang, karena hatinya sangat amat bahagia. Rasanya, ia ingin berlonjak-lonjak akibat rasa bahagia itu. Dan Kania melakukannya di kamar sendirian.
Brian menunggu Kania siap di rias di ruang tamu dengan menyibukkan diri mengutak-atik laptop di pangkuannya. Seperti kebiasaan Brian sebelumnya, selalu sibuk dengan laptop, kebiasaan itu masih tetap ada, tidak hilang. Hanya saja, sekarang sedikit berkurang setelah ia jatuh cinta pada Kania.
Derap hak tinggi yang Kania kenakan, menyadarkan Brian kalau ia harus segera menyingkirkan laptop yang ada di pangkuannya saat ini. Karena sekarang, tuan putri yang ia tunggu sudah muncul.
Baru juga Brian ingin bangun dari duduknya untuk menyimpan laptop, tubuhnya terpaku ketika melihat Kania yang berjalan dengan anggun menuruni anak tangga. Tatapan kagum tidak bisa ia sembunyikan saat melihat Kania yang begitu cantik dengan balutan gaun mewah nan indah.
Bukan hanya Brian yang mengagumi Kania sekarang. Para pembantu yang berada di sana, ikut menghentikan pekerjaan mereka hanya untuk mengangumi nona mereka.
“Ya Tuhan ya Tuhan … nona Kania cantik sekali,” ucap salah satu di anatar mereka.
“Ya … nona kita cantik banget. Sangat serasi dengan tuan muda,” ucap yang lain pula membenarkan.
“Tentu saja. Mereka adalah pasangan yang sempurna.”
Brian hanya tersenyum ketika pujian itu ia dengar. Meskipun pujian itu lebih mirip bisikan, tapi Brian masih bisa mendengar ucapan para pekerjanya dengan sangat baik.