Episode78 Perjodohan Membawa Bahagia
Mata Rudi membulat ketika melihat Johan yang berada di layar ponsel Brian saat ini. Perasaan takut mulai menyelimuti hatinya sekarang.
“Tu–tuan … tuan Johan. Tuan Johan asisten pribadi tuan muda Aditama,” ucap Rudi dengan gelagapan karena takut.
Rudi sangat mengenali Johan. Bukan hanya Rudi, hampir seluruh pembisnis kelas atas kenal dengan Johan. Karena dia adalah asisten tuan muda yang paling di segani di kalangan para pembisnis kelas atas.
Nama Johan tersohor di kalangan para pembisnis karena sikapnya yang tegas dan keterampilan bisnisnya yang luar biasa. Namun, tidak banyak yang tahu kalau dibalik terkenalnya Johan, ada Brian di belakangnya.
Johan sebenarnya tidak ada apa-apa jika Brian tidak ikut campur. Tapi, Brian bukanlah laki-laki yang gila nama dan kehormatan. Ia lebih senang bersembunyi di belakang layar di bandingkan tampil di muka umum.
“Ada masalah apa ini, tuan muda?” tanya Johan kebingungan.
“Tidak ada masalah serius. Hanya saja, aku ingin kamu mengecam wajah orang itu. Dan … batalkan semua kontrak kerjasama dengan perusahaannya.”
“Baik tuan muda. Akan aku laksanakan segera.”
“Tidak! Tolong jangan lakukan itu tuan muda. Tolong.” Rudi berlutut di hadapan Brian.
Ia berlutut memohon agar Brian tidak melakukan apa yang Brian katakan barusan. Karena jika itu benar-benar terjadi, maka perusahaan yang sedang ia pimpin sama dengan bangkrut alias, tidak akan pernah bisa di selamatkan lagi.
“Kamu kenal dengan ku?” tanya Brian santai.
“Tuan muda, maafkan aku. Aku … aku hanya bercanda saja dengan tuan muda Aditama. Tolong maafkan aku. Tolong.”
“Wah, kamu baru kenal dengan aku sekarang. Setelah nasi menjadi bubur, kamu baru bilang kenal. Terlambat pak Rudi, terlambat.”
“Papa! Tidak perlu memohon seperti itu padanya. Aku yakin, jika pun perusahaan kita tidak lagi bekerja sama dengan perusahaan mereka, perusahaan kita pasti bisa bangkit juga,” kata Dafa dengan nada kesal.
Mendengar apa yang Dafa ucapkan, Rudi bangun dari berlutut. Ia melihat Dafa dengan tatapan kesal dan marah.
Rudi berjalan mendekat, lalu … plak! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Dafa sekarang. Semua kaget dengan apa yang Rudi lakukan saat ini.
“Papa!” Mama Dafa berteriak kesal.
“Anak tidak tahu diri. Semua ini terjadi karena kebodohanmu, Dafa. Kamu begitu mengecewakan aku. Aku sudah katakan padamu, jangan menikah dengan Zara. Karena Zara, adik tiri Kania. Kamu keras kepala!”
“Pak Rudi! Kenapa anda malah menyalahkan anak saya, hah!” Burhan tidak terima dengan apa yang Rudi katakan.
"Semua ini bukan salah Zara. Pernikahan ini terjadi seharusnya pak Rudi bahagia. Karena Zara masih bersedia menikah dengan Dafa yang … "
“Yang apa! Yang mantan tunangan kakak tirinya?” tanya Rudi memotong perkataan Burhan.
“Apa salahnya Zara menikah dengan Dafa. Mereka itu saling cinta. Lagipula, ini bukan salah Zara. Karena Dafa yang mengajak Zara menikah.” Burhan semakin merasa kesal.
“Mereka tidak saling cinta, pak Burhan.”
“Papa! Cukup! Aku tidak ingin mendengarkan perdebatan ini lagi. Apa kalian lupa? Hari ini hari bahagiaku. Hari pernikahan aku dan Zara. Kenapa kalian malah berdebat dan merusak semuanya?” tanya Dafa kesal dengan nada tegas memotong perkataan papanya.
Burhan berjalan mendekat ke arah Kania yang masih diam di samping Brian.
“Puas kamu sekarang, Kania? Puas kamu melihat semua ini, hah? Kamu bahagia telah menjadi perusak pernikahan adikmu sendiri?” tanya Burhan pada Kania.
“Adikku? Siapa adikku, Pa? Dia?” tanya Kania sambil menunjuk Zara yang sedang memasang wajah sedih di samping Dafa.
“Dia adikku?” tanya Kania lagi.
“Kalau begitu, siapa papaku? Papa? Laki-laki yang ada di hadapanku saat ini?”
“Tapi … sepertinya aku bukan bagian dari keluarga ini. Karena sejak aku hidup di dunia ini. Kamu, laki-laki yang aku panggil papa. Tidak pernah menganggap aku ada sebagai anakmu. Kamu bahkan enggan untuk melihat aku dengan matamu itu.”
“Maaf, sebenarnya, aku datang bukan untuk merusak hari bahagia kedua mempelai. Aku datang hanya ingin mengucapkan selamat berpisah saja. Karena setelah hari ini, kita tidak akan pernah berhubungan lagi. Anggap saja, kita tidak pernah bertemu selama ini.”
“Untuk mama Salma dan Zara. Terima kasih telah hidup dengan sandiwara selama ini. Aku telah memberikan apa yang kalian inginkan. Harta keluarga Hermansyah yang sesungguhnya telah diwariskan oleh oma padaku. Tapi, kalian sangat menginginkan harta itu. Dan aku bersedia memberikan apa yang kalian mau dengan senang hati. Tapi … kalian terlalu serakah. Kalian malah menjual harta yang almarhumah nenekku simpan untuk aku. Kalian lupa? Itu bukan milik kalian. Karena itu adalah peninggalan keluarga almarhumah mamaku. Aku dengan senang hati memberikan harta keluarga papa. Karena aku tau, kamu Zara, adalah anak papa.”
Kania bicara panjang lebar sambil menahan sesak dalam dadanya. Sekuat tenaga, ia tahan agar sesak itu tidak berubah menjadi air mata.
Merasa situasi tidak menguntungkan,Salma tetap berusaha tenang sambil memikirkan rencana jitu untuk mengalihkan perhatian semuanya. Ia berjalan mendekat untuk melakukan sandiwara lagi.
"Apa yang kamu bicarakan, anakku? Kamu … "
“Cukup, mama Salma. Mama tiri ku yang berusaha bersikap baik hati di depan semua orang. Karena sekarang, kamu tidak perlu bersandiwara lagi. Aku sudah memutuskan hubungan kita.” Kania berucap dengan cepat memotong perkataan Salma.
“Oh ya, aku ucapkan terima kasih banyak untuk perjodohan yang kalian atur untukku waktu itu. Aku sangat bersyukur dengan perjodohan yang kalian buat. Karena, jika tidak ada perjodohan itu, mungkin aku sekarang adalah orang yang paling malang di bawah tekanan kalian semua.”
“Untuk kamu Zara, semoga kamu tidak mendapat karma atas apa yang kamu lakukan padaku. Kamu rebut semua yang aku punya dengan dalih, aku dan mama ku telah merebut kebahagiaan kalian. Karena papa tidak sepenuhnya bisa kalian miliki karena keberadaan aku dan mamaku.”
Mendengar apa yang Kania ucapkan, para tamu sibuk berbisik-bisik bicara satu sama yang lain. Hari bahagia Zara benar-benar hancur karena itu. Salma tidak tahan lagi dengan apa yang Kania lakukan. Emosi yang sedari tadi ia tahan, kini sepertinya sudah siap ia muntah kan. Bak gunung merapi yang tidak bisa menahan lavanya lagi.
“Sayang, apa kamu sudah selesai?” tanya Brian sambil menggenggam erat tangan Kania. Kania menoleh untuk melihat wajah Brian.
“Kalau sudah. Ayo kita pergi!”
“Iya, sudah. Ayo!”
Kania dan Brian beranjak ingin meninggalkan tempat tersebut. Tapi sepertinya, niat itu harus gagal karena Dafa dengan cepat menahan tangan Kania. Lalu, tanpa bisa Kania tahan, Dafa menarik tubuh mungil nan cantik itu ke dalam pelukannya. Ia memeluk erat tubuh itu penuh dengan perasaan.