Episode79 Perjodohan Membawa Bahagia
“Kamu akan selamanya tersimpan dalam hatiku, Kania,” ucap Dafa lirik sambil memeluk Kania.
Melihat istrinya dipeluk oleh Dafa, Brian tidak tinggal diam. Brian langsung melepaskan pelukan itu, kemudian mendorong Dafa menjauh hingga terjatuh ke lantai.
“Kurang ajar! Berani-beraninya kamu menyentuh istriku!” Brian menghardik Dafa dengan kesal.
“Sayang, kamu gak papa?” tanya Brian sambil memperhatikan Kania dengan seksama.
“Aku gak papa, Sayang. Aku baik-baik aja,” ucap Kania sambil menyentuh pipi Brian dengan satu tangannya.
Mendapat sentuhan lembut dari Kania, Brian tersenyum. Api cemburu yang tadinya berkobar, kini tiba-tiba padam bak tersiram hujan yang sangat deras.
“Ya udah kalo gitu. Sepertinya, kita harus segera meninggalkan tempat ini. Aku lihat, tempat ini sungguh tidak aman buat kamu,” ucap Brian sambil menggenggam tangan Kania dengan lembut.
“Iya. Ayo!” ucap Kania sambil tersenyum.
Mereka berniat kembali meninggalkan tempat itu. Tapi, lagi-lagi, Dafa bikin ulah untuk yang kedua kalinya.
“Tunggu!” Suara itu kembali menghentikan langkah Kania dan Brian.
“Jangan senang dulu kamu, tuan muda Aditama. Kamu dinikahi bukan karena cinta. Aku yakin, Kania tidak sepenuhnya mencintai kamu. Dia sanggup bersamamu itu hanya karena kamu kaya dan tampan saja.”
Mendengar ucapan itu, hati Kania tidak tahan lagi. Ia tidak bisa mengabaikan ucapan Dafa barusan. Dengan cepat, Kania membalik tubuhnya, lalu berjalan cepat mendekati Dafa.
Dan … plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Dafa dengan cantik.
“Kak Kania!” Zara berteriak keras sambil menghampiri Dafa.
“Oh, kamu juga ingin aku tampar sama seperti suamimu ini?” tanya Kania sambil mengayun tangannya.
“Kania! Hentikan!” Salma yang sudah benar-benar tidak kuat menahan amarah, kini tidak bisa diam lagi. Ia berjalan cepat menghampiri pelaminan di mana Kania hampir saja menampar Zara.
“Jangan keterlaluan kamu Kania. Kamu pikir, kamu siapa berani menyentuh putriku, hah! Kamu dan mama mu itu sama saja ternyata. Sama-sama biang masalah, dan sama-sama perempuan murahan perebut kebahagiaan kami.”
“Seharusnya, kamu itu ikut mama mu, Kania. Mati bersama di saat kecelakaan itu terjadi. Agar hari ini tidak terjadi sama sekali.”
Semua telinga yang berada di sana mendengar dengan jelas apa yang Salma katakan. Salma tidak menghiraukan semua itu. Ia malah terus melanjutkan cacian yang ingin ia katakan pada Kania.
“Seharusnya, kecelakaan itu membuat kamu mati. Agar tidak ada yang mengganggu hidup aku dan anakku lagi. Tapi sayangnya, kamu malah hidup, entah bagaimana mama mu menyelamatkan kamu waktu itu, aku juga tidak tahu.”
Seketika, mata Kania berlinangan dengan embun yang perlahan jatuh. Ia ingat bagaimana kecelakaan itu terjadi, dan mamanya, mamanya yang sibuk berusaha menghentikan mobil panik bukan kepalang. Tapi, yang namanya mama, manusia istimewa yang telah melahirkan kita ke dunia ini. Sepanik apapun dia, tetap saja, anaknya yang paling utaman.
Ketika tahu mobil tidak bisa dihentikan lagi, akhirnya, sang mama membuka sabuk pengaman dan dengan cepat, melindungi Kania dengan berada di depan mobil sebagai tameng. Itu sebabnya, kenapa Kania bisa selamat dari kecelakaan maut itu sedangkan mamanya tewas seketika.
“Tidak. Kamu pembunuh mamaku. Kamu telah membunuh mamaku Salma!” Kania berteriak histeris sambil berniat mencekik wanita paruh baya yang ada di hadapannya sekarang.
Tapi, Brian tidak ingin istrinya melakukan hal itu. Dengan cepat, ia menahan istrinya, lalu menarik tubuh Kania ke dalam pelukannya.
“Lepaskan aku Brian! Biarkan aku membunuh pembunuh ini,” ucap Kania dengan kesal sambil berusaha melepaskan diri.
Saat itulah, Johan dan Beberapa anak buah Brian samapi ke hotel tersebut. Mereka juga sudah berada di tengah-tengah kegaduhan itu.
“Tuan muda.” Johan memanggil Brian dengan sopan.
“Maafkan kami yang datang terlambat.”
“Tidak masalah. Selesaikan masalah di sini. Aku akan membawa istriku meninggalkan tempat ini sekarang juga.”
“Baik tuan muda. Akan aku lakukan sesuai keinginan tuan muda.”
“Kania ayo pergi!”
“Tidak Brian! Aku tidak ingin pergi. Aku ingin menghukum pembunuh ini,” kata Kania sambil memberontak.
“Sayang, dengarkan aku. Jangan kotori tangan mu untuk membalas yang bersalah. Karena mereka tidak pantas kamu sentuh dengan tangan mulus mu ini. Ingat! Sekarang kamu adalah nyonya muda Aditama. Kamu bisa melakukan itu tanpa harus mengotori tanganmu sendiri,” kata Brian berusaha menenangkan Kania dengan menyentuh kedua pipi Kania dengan lembut.
"Tapi Brian …
Tidak ingin banyak bicara dan tidak ingin berlama-lama di tempat ini lagi, Brian langsung saja mengangkat Kania dan menggendongnya dengan romantis bak mempelai laki-laki menggendong istri barunya. Semua tamu yang ada di sana ikut merasakan suasana romantis itu.
Sementara itu, Salma yang baru menyadari apa yang ia lakukan, kini sedang resah dan takut. Wajahnya terlihat sangat amat tegang sekarang.
Burhan menghampiri Salma, lalu memegang tangan Salma dengan erat.
“Katakan! Apa yang telah kamu lakukan pada mamanya Kania! Apakah benar kamu yang merencanakan kecelakaan itu!”
"Ka–kamu … kamu … ngomong apa sih, Mas? Apa … "
“Katakan Salma! Katakan yang sebenarnya! Apa yang telah kamu lakukan, hah!” Burhan membentak Salma dengan nada tinggi.
Salma kaget dengan bentakan itu. Matanya membulat, dan rasanya, sesuatu mulai jatuh sekarang. Karena, sejak ia berkenalan, kemudian jatuh cinta dan pada akhirnya menikah dengan Burhan, ini yang pertama kalinya Burhan membentak dia.
“Kamu … kamu bentak aku, Mas?” tanya Salma dengan perasaan tak percaya.
“Ya, aku bentak kamu. Dan mungkin, aku akan memukulmu sebentar lagi, jika kamu masih tidak mau menjawab apa yang aku tanyakan padamu.”
“Ha … ha … ha … kamu ingin pukul aku. Pukul mas! Ayo pukul!” Salma menantang dengan nada tinggi dan air mata yang berderai.
“Ya, aku yang membunuh istri pertamamu. Aku yang merencanakan kecelakaan itu agar dia pergi untuk selama-lamanya. Tapi … itu semua karena kamu, Mas Burhan. Karena kamu.”
“Dasar perempuan gila! Kenapa aku yang kamu jadikan alasan untuk kejahatan yang kamu lakukan itu, hah!”
“Karena kamu telah menikahinya. Kamu meninggalkan aku dan calon anak kita yang aku kandung. Karena kamu telah membunuh anakku. Maka kamu berhak mendapatkan semua itu, mas Burhan.”
Mendengar ucapan Salma barusan, Burhan terbelalak kaget. Ia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang Salma ucapkan barusan. Kata-kata membunuh itu sama sekali tidak bisa ia pahami walau dia mencoba mencerna ulang kata-kata itu berulang kali.
“Apa maksud kamu, Salma? Aku membunuh anakmu? Anak mana yang aku bunuh, hah!”