Episode 81 Perjodohan Membawa Bahagia
Semuanya terdiam karena bentakan itu. Tidak ada yang berani angkat bicara lagi. Sedangkan mobil yang mereka kendara, sekarang sudah berada tepat di depan kantor polisi.
Dafa dan kedua orang tuanya di minta keluar dari mobil tersebut oleh polisi. Namun, di saat itu pula, panggilan dari rekan sesama polisi yang membawa Zara juga Salma dan Burhan masuk.
Salah satu dari dua polisi itu langsung menjawab panggilan tersebut. Kabar duka pun telah polisi itu sampaikan pada rekannya. Dan, sekarang, rekan polisi itu langsung menyampaikan kabar tersebut pada Dafa dan kedua orang tuanya.
“Apa! Zara kecelakaan?” tanya Dafa kaget bukan kepalang.
Dafa meminta izin untuk melihat Zara ke rumah sakit. Karena menurut laporan, Zara sekarang sudah berada di rumah sakit terdekat.
Karena Dafa dan kedua orang tuanya tidak ada laporan melakukan kejahatan, mereka hanya dicurigai karena satu keluarga dengan Salma, maka setelah bermusyawarah dengan rekannya yang lain, polisi itupun mengizinkan Dafa dan kedua orang tuanya pergi ke rumah sakit. Tapi dengan syarat, mereka tetap di bawah pengawasan polisi.
Sementara Dafa dan kedua orang tuanya di antar ke rumah sakit, Salma dan Burhan malah diinterogasi di kantor polisi. Namun, Salma yang terus-terusan histeris karena anaknya kecelakaan, membuat polisi tidak bisa melakukan interogasi sama sekali. Polisi itupun menyerah dan memilih bertegang
rasa dengan mengantarkan Salma ke rumah sakit untuk melihat keadaan anaknya.
Kania dan Brian sedang berada di rumah makan taman cinta saat panggilan dari Johan masuk ke ponsel Brian. Saat itu, Brian sedang berusaha menenangkan Kania yang masih terbakar amarah atas apa yang mama tirinya lakukan. Namun, kabar itu mengubah suasana hati Kania.
“Apa! Zara kecelakaan? Kok bisa?” tanya Kania sambil bangun dari duduknya ketika mendengar apa yang Johan katakan.
“Iya, nona Kania, adik tiri nona kecelakaan. Ceritanya panjang, Nona. Akan memakan banyak waktu jika aku ceritakan lewat telepon.”
“Ya sudah kalo gitu, katakan padaku di rumah sakit mana Zara berada sekarang!”
“Di rumah sakit Citra Medical nona.”
“Baik. Aku akan segera ke sana,” ucap Kania sambil ingin beranjak.
“Sayang.” Brian menegang tangan Kania dengan lembut.
“Kamu yakin mau ke sana untuk melihat adik tiri mu?” tanya Brian lagi.
“Iy–iya. Aku yakin, Brian. Aku merasa harus ke sana untuk melihat keadaannya. Memang, apa yang mereka lakukan sangat menyakitkan. Tapi, untuk hari ini, mungkin aku harus melihat keadaannya. Sebelum aku benar-benar menganggap mereka bukan siapa-siapanya aku.”
Brian sangat memahami apa yang Kania rasakan sekarang. Hati lembut yang Kania miliki itu memang sangat mudah tersentuh. Makanya, dia selalu ditindas oleh orang lain.
“Brian, apa kamu tidak akan mengizinkan aku pergi? Apa kamu marah?” tanya Kania ketika melihat Brian hanya diam saja sambil menatap wajahnya.
Brian tersenyum sambil satu tangannya menyentuh pipi Kania dengan lembut.
“Tidak sayang, aku tidak marah. Dan tidak akan pernah marah padamu.”
“Ayo! Aku akan antar kan kamu ke rumah sakit untuk melihat adik tiri mu”
Kania tersenyum dengan perlakuan lembut dari Brian itu. Lalu kemudian, mereka meninggalkan rumah makan taman cinta untuk menuju rumah sakit.
Sampai di rumah sakit, Kania dan Brian langsung di sambut oleh Johan yang sedari tadi berada di sana. Johan langsung menceritakan apa yang telah terjadi, bagaimana kronologi kejadian tersebut sampai Zara bisa mengalami kecelakaan fatal yang akan mengubah hidupnya nanti.
“Ja–jadi, jadi Zara cacat?” tanya Kania dengan nada gelagapan karena kaget.
“Iya, nona Kania. Adik tiri nona cacat, kakinya lumpuh total. Karena kedua pahanya remuk, bahkan hampir hancur karena terlindas mobil. Tulang-tulangnya juga patah. Dan yang paling parahnya, ada saraf di bagian pinggang yang rusak. Seumur hidupnya, dia tidak akan pernah bisa berjalan lagi.”
Kania terdiam. Perasaan sedih juga kasihan menyelimuti hatinya. Tapi sayang, ia tidak bisa melakukan apa-apa. Hanya bisa turun berduka dan prihatin saja.
Kania tidak masuk ke dalam kamar rawat Zara. Ia hanya melihat Zara dari luar kamar saja. Karena di dalam, ada Salma dan Dafa juga orang tuanya. Kania tahu, jika ia masuk, maka suasana renang akan berubah gaduh. Untuk itu, ia memilih jarak aman saja.
Ketika Kania membalikkan tubuh untuk pergi, jeritan dari dalam kamar membuat ia membatalkan niatnya. Jeritan pilu dari Zara membuat Kania merasa sedih.
Zara yang baru sadar dari pingsannya, tidak terima dengan apa yang telah terjadi pada dirinya saat ini. Ia menjerit, menangis, meronta karena tidak terima dengan cobaan berat itu. Tapi sayang, dia tidak bisa merubah takdir walau ia berteriak sekeras apapun.
“Sayang.” Panggilan yang disertai dengan sentuhan itupun menyadarkan Kania dari lamunannya yang terus melihat Zara dari kaca kecil pintu kamar tersebut.
“Ayo pulang!” Brian bicara dengan nada sangat lembut.
Kania tidak menjawab. Ia hanya mengikuti apa yang Brian katakan. Merekapun beranjak meninggalkan kamar tersebut dengan diikuti oleh Johan dari belakang.
______
Satu minggu kemudian, Kania diajak Brian melihat toko emas miliknya. Tempat di mana mereka pernah datang saat mereka baru-baru menikah waktu itu.
“Sayang, hari ini aku ajak kamu ke toko emas ini, agar kamu tidak bosan di rumah. Dan jika kamu ingin, kamu bisa mengurus toko ini supaya kamu tidak merasa bosan. Itu kalau kamu mau,” ucap Brian sambil terus berjalan dengan menggandeng tangan Kania.
“Benarkah?” tanya Kania dengan wajah yang berseri-seri karena bahagia.
“Tentu saja, iya. Apa yang tidak buat kamu, Kania.”
“Tapi Brian, apa kamu yakin aku mampu mengurus toko megah dan terkenal ini?”
“Tentu saja kamu mampu. Karena kamu adalah istriku,” ucap Brian sambil tersenyum, lalu mencolek hidung Kania dengan lembut.
“Brian ih.” Kania memasang wajah kesal dengan apa yang Brian lakukan. Tapi seperti biasa, hatinya sangat bahagia dengan perlakuan-perlakuan kecil yang Brian berikan.
“Selamat datang tuan muda, nona muda,” ucap pelayan saat Kania dan Brian berada di depan pintu masuk toko tersebut.
Kania tersenyum membalas sambutan dari pelayan toko itu. Sementara Brian, ia bersikap datar saja seperti biasanya.
“Di mana manajer toko?” tanya Brian langsung tanpa basa basi.
“Saya di sini tuan muda,” ucap manajer dengan cepat. Kebetulan, ia baru turun dari lantai dua.
“Maaf tuan muda, saya sedikit terlambat lagi dalam menyambut kedatangan tuan muda. Karena saya sedang berbicara dengan orang yang ingin tuan muda temui beberapa minggu yang lalu tadi di atas.”
“Gak papa. Oh ya, apa yang ia katakan tadi?”
“Dia bisa bertemu tuan muda hari ini. Bahkan, sekarang, dia sudah berada di jalan depan simpang toko kita. Mungkin, beberapa menit lagi dia akan sampai ke sini.”